Pernahkah Kamu Mencicipi Kematian? (Himalaya)
tw // mention of death ; minor character death ; trauma ; suicide
Hai.
Aku Himalaya. Biasa dipanggil Haya. Aku berbeda dari anak lain yang membanggakan nama pemberian orang tua mereka. Himalaya adalah nama yang kubuat sendiri—karena aku hanya memiliki diri sendiri.
Jika ditanya apa aku pernah mencicipi kematian. Aku akan menjawab, iya.
Tapi, apakah aku akan memberi tau wanita dengan papan jalan di depanku kalau aku sudah pernah mencicipi kematian? Tidak.
Aku hanya akan memberi tau kalian.
Untuk menceritakan kematian demi kematian yang kualami. Aku harus mengurutkan rentetan peristiwa yang terjadi di hidupku.
2007
Kata guru bahasa Indonesiaku saat SMA. Memberikan ulasan lebih baik dimulai dari kalimat pujian baru dilanjutkan dengan kritik, sama seperti memberikan berita pada orang lain, berita bagus lebih baik diberitakan sebelum berita buruk.
Jadi aku akan menceritakan hal baik yang terjadi di hari itu.
Pagi itu langit cerah.
Selesai.
Itulah satu-satunya hal baik yang dapat kuingat.
Semua temanku membual tentang ingatan masa kecil mereka yang menjadi samar saat dewasa. Tapi aku yakin, aku mengingat setiap masa kecilku.
Seperti yang sudah kubilang, aku selalu merasa berbeda dari anak lain.
Nah, apa yang terjadi setelah langit yang cerah?
Tentu langit masih cerah sampai sore.
Beberapa orang mengatakan bahwa kata sifat adalah hal yang subjektif. Dan hal subjektif artinya memiliki standar yang relatif.
Mungkin ada hal baik lain yang terjadi hari itu. Tapi semua hal menjadi buruk di mataku saat jarum jam menunjukkan angka 12 dan matahari sedang terik-teriknya.
Usiaku 8 tahun.
Sebagai anak yang berbeda dari anak lain, aku sedang menyusun puzzle. Hari itu adalah hari ke delapan liburan setelah aku menerima rapor.
Aku, Bunda, Ayah, dan adikku—yang masih berusia 5 tahun—akan berlibur ke pantai—sebenarnya, aku tidak terlalu suka pergi berlibur. Aku suka di rumah, membaca buku bersama Bunda atau mengajari adikku menyusun lego. Tapi aku tetap pergi berlibur karena guruku akan memintaku menceritakan pengalaman liburan di depan kelas setelah liburan ini selesai.
Bunda sedang menyiapkan bekal liburan kami dan adikku sedang merengek karena aku tidak mau diajak main petak umpet.
Ayah dalam perjalanan pulang.
Di usia 8 tahun, aku sudah tau bahwa jadwal liburku dan Ayah tidak sama. Aku akan libur saat sudah menerima rapor, sedangkan Ayah menerima puluhan lembar rapor namun hanya libur di hari Minggu. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Ayah tidak menginjak rumah selama beberapa hari walau ratusan lembar rapor diterimanya.
Aku sedang meletakkan potongan puzzle terakhir ketika suara gelas pecah terdengar dari dapur.
Bunda.
Kakiku segera berlari menuju dapur. Terlihat Bunda sedang memegang ujung meja makan, seluruh tubuhya bergetar.
Tanganku merentang untuk menghalangi Hito—adikku—yang nyaris menginjak pecahan gelas.
“Bundaaaaaa! Gelasnya pecah!” Teriakan Hito menjadi satu-satunya suara di dapur.
Di usia 8 tahun, aku sudah bisa membedakan ekspresi wajah manusia. Sedih, marah, kecewa, bahagia, terharu—aku sudah pernah melihat semuanya. Tapi wajah Bunda yang kulihat sekarang terasa asing.
Mata Bunda kosong dan bibirnya bergetar. Kakinya terlihat tidak mampu menopang tubuhnya lagi.
“Bunda... sakit?” Tanyaku.
Bunda melirikku. Mata kami bertemu selama beberapa saat. Bulatan hitam di mata Bunda terlihat kosong. Bibir Bunda berhenti bergetar, wajahnya berubah lebih tenang.
Di usia 8 tahun, aku tau air laut akan surut sebelum tsunami.
Tapi di usia 8 tahun, aku tidak tau tsunami bisa menerjang wajah manusia.
Bunda berlutut di atas pecahan kaca.
Tangisnya ikut pecah.
Dua hari kemudian, aku baru tau Ayah meninggal. Mobilnya masuk jurang.
Di usia 8 tahun, aku tau apa itu meninggal. Itu artinya kepergian yang jauh dan tidak ada kata kembali.
Aku menangis.
Mungkin Ayah pergi karena aku berbuat salah. Mungkin Ayah marah karena aku tidak melipat selimut dua hari yang lalu. Mungkin Ayah marah karena aku tidak menghabiskan nasiku. Mungkin Ayah marah karena aku tidak mau bermain petak umpet dengan Hito.
“Bunda, maaf.” Aku menangis di pelukan Bunda. “Ayah marah sama aku ya?”
Tapi Bunda semakin menangis, aku ingat Bunda terisak sambil berusaha menjelaskan kepadaku, “kamu ingat Roy?”
Aku terkejut karena Bunda menanyakan tentang Roy—kucingku—yang mati setahun lalu.
Aku mengangguk.
Tangan Bunda bergerak, berusaha mengusap air mata dari matanya yang sembab, “Ayah sekarang lagi main sama Roy.”
Di usia 8 tahun, aku akhirnya tau meninggal dan kematian adalah hal yang sama. Aku akhirnya tau manusia dan hewan akan sama-sama mengalami kematian.
Aku memahami konsep kematian sebagai perpisahan antara nyawa dan tubuh yang akhirnya mengakibatkan tubuh tidak dapat bergerak karena organ yang tidak lagi berfungsi. Kata Bunda, setelah kematian tubuh akan kembali menyatu dengan alam—mungkin tanah, mungkin air, mungkin udara.
Aku makin menangis.
Hito tidak menangis. Aku nyaris memukulnya karena melihatnya tertawa saat bermain mobil-mobilan. Tapi Bunda mencegahku, kataya, Hito belum paham. Tapi aku tetap membencinya.
Saat itu aku memahami mengapa dua hari lalu Bunda menatapku dengan kosong sebelum menangis hebat.
Kematian bukan hanya mengosongi tubuh seseorang, ia juga mengosongi jiwa orang yang ditinggalkan. Aku memahaminya. Aku juga pernah mengalami kekosongan semacam ini, saat Bunda mengatakan padaku bahwa tidak ada dunia lain di balik papan tulis walaupun aku sudah menyuruh Bunda ikut menonton ChalkZone bersamaku.
Ada saat-saat di mana aku merasa ini semua hanyalah mimpi. Mungkin sebenarnya dunia di balik papan tulis benar-benar ada dan Ayah tidak benar-benar meninggal.
Kadang ada waktu di mana aku tidak menangis dan berpikir bahwa Bunda sedang bercanda—seperti saat pengambilan rapor kemarin Bunda mengabari kalau nilaiku jelek—padahal bagus.
Kadang aku berpikir, mungkin kalau aku tertawa, Bunda akan ikut tertawa lalu Ayah akan muncul dari balik pintu kemudian kami melanjutkan acara liburan ke pantai.
Tapi malam itu rumahku ramai.
Teman-teman dan keluarga Ayah-Bunda datang dan memeluk Bunda satu per satu.
Akhirnya aku menyadari, aku tidak akan pernah melihat Ayah lagi.
Kata Ayah, harta tidak dibawa mati.
Aku ingat Ayah mengatakannya saat kami sedang menonton film di televisi tentang perburuan harta karun. Aku mendesak Ayah untuk ikut mencari harta karun di sekitar rumah kami. Tentu Ayah menolak dan memberiku berbagai petuah.
Tapi anehnya, harta Ayah dibawa mati.
Sebulan setelah pemakaman Ayah—tepat di malam hari, Bunda membangunkanku dan Hito, menyuruh kami cepat-cepat pergi dari rumah.
Aku ingat menaiki sebuah mobil yang disopiri salah satu teman Ayah. Ekspresi Bunda tidak tenang, seperti saat Bunda melihat Hito sedang memanjat pohon rambutan milik tetangga.
Kami berkendara selama nyaris tiga hari lalu berhenti di sebuah gang sempit. Kami turun lalu Bunda mengucapkan beberapa hal pada teman Ayah.
Ada dua tas besar yang dibawa Bunda, aku dan Hito berjalan mengiringi Bunda, tanganku menggenggam tangan Hito yang masih terkantuk-kantuk.
Kami berhenti di sebuah rumah yang dindingnya telah retak.
Kata Bunda, rumah putih kotor itu adalah rumah kami.
Akhirnya aku menyadari, kematian Ayah membawa pergi seluruh hidup kami.
2010
Usiaku 11 tahun. Hito 8 tahun.
Di usia 11 tahun, aku mengajari adikku tentang hal-hal yang kuketahui saat usiaku 8 tahun.
Dia sudah mulai tau Ayah meninggal dan tidak akan pernah kembali. Tapi dia tidak menangis. Bibirnya selalu tersenyum dengan giginya yang ompong di tengah. Dia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi dengan mulutnya yang tidak pernah diam.
Aku menyadari tidak hanya rumahku yang berubah, tapi juga Bunda.
Wajah Bunda terlihat lesu.
Aku jarang melihat Bunda tidur.
Saat aku membuka mata, Bunda sudah membuka mata. Saat aku dan Hito berangkat sekolah, Bunda berangkat ke pabrik. Saat aku dan Hito pulang, Bunda belum pulang. Saat sore, Bunda baru pulang. Saat aku dan Hito makan malam, Bunda mulai membuat keripik untuk dijual esok paginya. Saat aku tertidur, Bunda masih menggoreng keripik.
Hanya saja, Bunda masih tetap tersenyum lembut pada kami. Bunda juga sering mengajari banyak hal yang tidak aku pahami.
Saat itu aku dan Bunda libur, aku membantu Bunda menjajakan keripik di jalan besar dan di warung-warung.
Aku melihat seorang anak yang meminta uang pada salah satu pengemudi mobil. Anak itu diberi koin berwarna emas.
Aku mulai membandingkan pengemis itu dengan Bunda yang harus susah-susah membuat kripik semalaman untuk mendapat sekeping koin yang sama.
“Bunda, besok kita minta uang aja kayak dia.” Di tengah teriknya matahari dan jalanan yang padat, aku menunjuk anak tadi yang kini ikut menoleh ke arahku.
Bunda segera menurunkan tanganku, “apa maksudnya, Sayang?”
“Dia minta uang bisa langsung dikasih. Kenapa Bunda harus bikin ini? Mending kayak dia aja, lebih enak.” Aku mengangkat bundelan kripik yang kubawa.
Bunda tersenyum, mengusap rambutku dengan tangannya yang kasar, “Sayang, jangan bilang gitu lagi, ya. Walaupun di matamu dia keliatan enak-enak aja, tapi belum tentu aslinya gitu. Liat, kamu sekarang lagi sama Bunda, tapi dia sendirian, menurutmu hidupnya lebih enak dari kamu?”
Aku melirik anak itu sekali lagi. Walaupun aku tidak sepenuhnya memahami ucapan Bunda, tapi aku paham tentang hidupnya yang tidak enak. Terlihat jelas dari bajunya yang compang camping dan tubuhnya yang kurus kering.
Perkataan Bunda tentang kesendirian membuatku berpikir, mungkin anak ini mengalami lebih banyak kehilangan dariku. Mungkin Ayah dan Bundanya meninggal, mungkin seluruh keluarganya meninggal.
Aku sedih.
Saat keripikku tinggal satu, aku memberanikan diri untuk menemui anak itu dan memberikan satu padanya karena aku tidak bisa memberikan kepingan koin emas seperti yang lain.
Lalu aku pergi.
Di usia 11 tahun, aku menyadari tentang perubahan lain dari Bunda.
Bunda semakin sering terlihat cemas.
Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi Bunda lebih sering melamun dari biasanya. Kadang aku terbangun di tengah malam karena bau gosong tercium kuat. Keripik yang digoreng Bunda menghitam.
Sejak saat itu, aku membantu Bunda menggoreng keripik. Aku takut Bunda sedang sakit.
Sejak memahami tentang kematian, aku mulai mengerti berbagai jenis penyabab kematian. Dan sakit adalah salah satunya. Aku tidak mau Bunda sakit.
Tapi aku melupakan satu penyebab lain dari kematian.
Saat itu aku terbangun lebih pagi, tidak melihat Bunda dimanapun. Tidak ada sarapan di meja dan tidak ada keripik yang siap dijual. Aku segera membangunkan Hito dan menggoreng telur untuk sarapan kami.
Siangnya, saat pulang sekolah, aku mendapati rumahku telah ramai.
Jantungku berdenyut nyeri melihat keramaian ini. Dulu rumahku ramai karena Ayah meninggal.
Saat aku dan Hito tiba di rumah, seluruh mata memandang kami dengan tatapan kasihan.
Jantungku semakin nyeri. Aku tidak suka dikasihani. Dulu aku dikasihani karena Ayah meninggal.
“Katanya karena dikejar-kejar hutang.”
Sebuah bisikan mulai terdengar.
“Padahal anak-anaknya masih kecil.”
Bisikan lain terdengar.
“Katanya, sih, dikejar-kejar wartawan.”
“Suaminya dulu orang penting katanya.”
“Suaminya tuh Hakim yang ketauan korupsi sama main perempuan itu lho, Buk.”
Aku tidak mendengar bisikan apapun lagi. Mataku tertuju pada gerombolan polisi dan beberapa orang yang datang lalu menurunkan tubuh ibu yang tergantung di langit-langit rumah kami.
Di usia 11 tahun, Bundaku meninggal.
2012
Di usia 13 tahun, aku mulai memahami susahnya bertahan hidup.
Aku merasa ini semua adalah balasan dari Tuhan karena aku sempat merasa hidup anak pengemis itu lebih enak dari hidupku. Atau jangan-jangan anak pengemis itu menyumpahi keripikku yang terlalu asin.
Aku memahami uang adalah segalanya, namun sulit didapatkan. Aku harus bekerja.
Hito dan aku bertahan dengan bantuan dari tetangga yang masih simpati pada kami dan uang yang kudapatkan dari membantu orang di pasar.
Aku juga mulai menjual barang-barang di rumah kami ke pasar.
Satu bulan kemudian, rumahku digusur.
Aku tidak punya rumah. Aku tidak punya tetangga.
Di usia 13 tahun, aku memahami tentang kesendirian.
Aku dan Hito kini berpindah di lingkungan yang tidak kami ketahui. Kami terus berjalan hingga aku menemukan tempat yang dapat menghasilkan uang untuk kami.
Aku dan Hito tidur di emperan toko atau kadang di salah satu rumah ibadah. Saat siang, aku bekerja di pasar—Hito mengikutiku.
Uang yang kami dapatkan hanya cukup untuk makan nasi dua kali. Biasanya aku akan membeli tiga roti dengan uang itu, dua untuk Hito, satu untukku.
Kami tidak mandi berbulan-bulan.
Di usia 13 tahun, aku memahami banyak hal yang tidak akan dipahami orang lain seusiaku.
Aku belajar mengalah.
Aku belajar tidak menangis.
Aku belajar menahan lapar.
Aku belajar tersenyum.
Tapi senyumku hanya untuk Hito, karena—ternyata—dia belum benar-benar memahami tentang kematian. Dia hanya berpikir bahwa Bunda sedang pergi jauh.
Setiap aku menjelaskan tentang kepergian Bunda pada Hito, dia akan menangis. Akhirnya aku memilih untuk diam, menangis hanya akan membuat kami semakin lapar dan haus.
Di usia 13 tahun, aku hanya memikirkan bagaimana kami akan makan besok.
Ada satu waktu di mana aku kesulitan mendapatkan uang. Kadang aku berpikir untuk merebut salah satu dagangan orang lalu berlari sejauh mungkin—memberikannya pada Hito. Tapi aku tidak bisa melakukannya karena kata Ayah, merebut yang bukan haknya berarti mencuri.
Ada saat di mana pasar tempatku bekerja didatangi preman lalu para pedagang tidak membayarku.
Lalu hal lain yang kukhawatirkan akhirnya terjadi.
Hito jatuh sakit.
Aku panik.
Aku hanya tau sakitnya harus diobati. Tapi aku tidak memiliki obat. Aku juga tidak memiliki makanan.
Aku bingung.
Aku kalap.
Aku mengambil buah dari salah satu pedagang lalu lari.
Kemudian aku dikejar dan ditampar habis-habisan. Pedagang itu memarahiku hingga ludahnya bertebaran di wajahku.
Setelahnya, aku pingsan.
Mataku terbuka saat seseorang menggoyangkan lenganku. Aku terbangun dan ternyata aku masih tergeletak di pasar.
Sudah malam. Tidak ada lagi pedagang. Hanya tinggal beberapa angkot dan truk muatan yang siap berangkat.
Orang yang membangunkanku menyodorkan sebungkus roti. Aku terbelalak. Aku mengingatnya. Si anak pengemis itu!
Aku menerima roti itu, berterima kasih, lalu segera berlari menyusul Hito. Seluruh tubuhku terasa sakit dan wajahku terasa kencang, namun aku hanya memikirkan Hito.
Kakiku kebas saat tubuhku sampai di emperan toko yang sudah tutup. Hito sedang tidur.
“Hito, bangun. Makan dulu.” Aku segera duduk di samping Hito. Tanganku gemetar membuka bungkus roti yang baru kuketahui sudah kedaluwarsa kemarin.
Tiba-tiba, hujan turun. Angin kencang berhembus.
“Hito!” Aku membangunkan Hito yang masih terdiam di tempatnya.
Aku terdiam. Tubuh Hito tidak bergeming saat aku menyenggol lengannya. Wajahnya memucat.
Jariku bergetar mengecek hidung Hito.
Aku lemas.
Tubuhku bersandar pintu toko yang tertutup.
Aku tidak tau lagi cara menangis.
“Hito, rotinya kakak makan ya.”
Di usia 13 tahun, aku makan roti kedaluwarsa di samping jasad adikku.