Pernahkah Kamu Mencicipi Kematian? (Bermuda)

tw / abuse ; violence ; child labour


Ketika mendengar wanita dengan papan jalan itu berceramah tentang kematian dan menanyaiku tentang mencicipi kematian, aku menjawab dalam hati.

Yak. Pernah.

Aku tidak menjawab dengan mulut karena wanita ini sudah jelas tidak bisa dipercaya. Berdasar pengalaman, seseorang dengan senyum semanis wanita ini pastilah memiliki hati yang busuk—aku selalu curiga dengan orang-orang bersenyum manis.

Kembali pada pembahasan sebelumnya.

Aku memang sering nyaris mati. Entah mengapa Tuhan dan seluruh alam masih mengizinkanku untuk tetap bernapas.

Uh iya, aku Erde. Belakangan ini namaku Bermuda. Sebelumnya aku tidak memiliki nama.

Dan ini adalah ceritaku tentang kematian.


Aku tumbuh di panti asuhan. Semua orang memanggilku Erlan, singkatan dari R-8.

Aku tidak ingat sejak kapan aku berada di panti asuhan—yang jelas, sejak aku membuka mata (yang aku juga tidak ingat kapan), aku sudah berada di panti asuhan ini.

Panti asuhan tempatku tumbuh sangatlah luar biasa. Benar-benar di luar biasa.

Semua pengalamanku tentang kematian berkutat dari panti asuhan ini.

Panti Asuhan Kasih Abadi.

Menyebutnya saja sudah membuatku mual.

Panti ini mengajarkanku tentang timbal-balik.

Untuk mendapat sarapan, kami harus menyerahkan uang hasil mengamen di malam hari.

Untuk mendapat makan siang, kami harus menyerahkan uang hasil mengemis dari pagi sampai siang.

Untuk mendapat makan malam, kami harus menyerahkan uang hasil mengemis dari siang sampai sore.

Bertahun-tahun aku menjalani hidup sebagai pengemis dan pengamen. Aku sering berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk mengemis di lampu merah atau terminal.

Dulu aku merasa hidupku baik-baik saja. Aku mengira hidup memanglah demikian. Semua orang harus bekerja untuk mencapai apa yang dia mau. Tanpa kecuali.

Jika ada satu anak yang membawa uang sedikit, pengurus panti tidak akan memberi makan sedikitpun. Jika anak itu mulai menangis, pengurus panti akan berceramah panjang lebar di depan anak-anak lain.

“Kalian bisanya cuma nangis! Udah enak dikasih makanan sama tempat tidur, disuruh minta duit ke orang lain aja susah!”

Aku tidak berkomentar. Yang penting uang yang kubawa banyak dan aku mendapat jatah makanku.

Semuanya berjalan baik-baik saja sampai akhirnya aku sendiri hanya mendapat tiga keping koin putih di siang hari.

Aku takut. Sempat terlintas mungkin aku akan tetap diberi makan karena ini pertama kalinya aku membawa uang sedikit.

Tapi perkiraanku salah besar. Seorang anak baru saja dimarahi keras-keras karena ia hanya membawa empat keping koin.

Sudah pasti aku akan ikut dimarahi.

Aku takut.

Sepertinya seseorang berhasil merasakan ketakutanku, dia mengetuk lenganku dengan telunjuknya.

Aku menoleh.

Jadu, atau J-2, memberikan segenggam koinnya padaku. Aku tidak berpikir panjang, tanganku segera menerima koin-koin itu.

Namun beberapa saat setelahnya, Jadu tidak terlihat di ruang makan.

Saat makan malam, dia juga tidak terlihat di ruang makan.

Menurut pengalaman anak-anak lain, mereka akan disuruh menunggu di halaman belakang jika tidak mendapat makanan.

Dengan roti dan air putih di tangan, aku berjalan menuju halaman belakang. Dan benar, ada Jadu di sana. Aku merasa tidak nyaman karena Jadu tidak mendapat makanan.

Aku mengulurkan rotiku padanya, sebenarnya aku tidak terlalu lapar karena siang tadi ada seorang anak yang memberiku keripik gratis.

“Jadu, makan.” Ucapku pelan.

Jadu yang awalnya meringkuk di dekat pintu segera menoleh. Wajahnya berbinar saat melihatku, ia tersenyum sampai matanya tinggal segaris.

“Makasih, Kak Erlan.” Dia menerima roti yang kuberi lalu memakannya lahap.

Saat itu aku sempat merasa heran. Jadu terlihat kelaparan tapi mengapa dia menyerahkan uang koinnya padaku?

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki—sudah jelas dari pengurus panti—aku segera berlari, bersembunyi di balik semak-semak. Mataku sedikit mengintip dari dahan dan dedaunan.

Jadu masih memakan roti deng—

“HEH!”

Aku tersentak saat pengurus panti merebut roti yang sedang dimakan Jadu.

“KAMU LAGI DIHUKUM KENAPA MALAH MAKAN?!”

BUGH!

Tubuh Jadu terpental karena pengurus itu menendang lengannya.

“MASIH KECIL UDAH JADI PENCURI!”

PLAK!

Pipi Jadu memerah terkena tamparan pengurus panti.

Aku diam. Seluruh tubuhku kaku.

“SINI KAMU!”

Pengurus panti itu menyeret kaos lusuh yang dikenakan Jadu.

KREK!

Kaos itu robek.

Mulutku ternganga melihat bekas kuning-ungu di punggung dan lengan Jadu.


Malamnya, sebelum tidur, aku mengendap menemui Jadu.

Kami hanya tidur beralaskan karung goni jadi kami bebas tidur di manapun. Aku mengambil salah satu tempat di samping Jadu.

“Kamu nggak apa-apa?” Bisikku sepelan mungkin, tanganku menyentuh ringan lengan Jadu.

Dia meringis sejenak, matanya sembab namun bibirnya tersenyum kepadaku, “nggak apa-apa.” Dia balas berbisik pelan.


Sejak saat itu, aku sering bersama Jadu. Kami akan membagi dua hasil mengemis dan mengamen kami untuk memastikan kami mendapat makan.

Jadu bercerita banyak hal padaku. Tentang rute yang ramai saat siang dan sore hari. Dia juga memberikan saran agar orang-orang mau memberinya uang saat mengamen di malam hari.

Jadu seolah tau segalanya.

Beberapa tahun setelahnya, aku mendengar hal yang mengejutkan dari Jadu.

“Ayo kita kabur dari sini.”

Jantungku berdegup cepat. Kabur tidak pernah terlintas dalam pikiranku.

Meninggalkan panti? Lalu bagaimana kami akan makan dan tidur?

Aku menggeleng, menolak saran Jadu.

Tapi perkataan Jadu berikutnya membuat tubuhku merinding.

“Menurutmu, Kak, kita bakal seterusnya tinggal di panti? Kak Hanum kemarin udah pergi, kamu sadar nggak?”

Aku sadar. Hanum diadopsi.

“Dia dijual.”

Aku terdiam.


Ternyata selama ini Jadu selalu mengumpukan informasi apapun di panti—tidak peduli ia harus membayarnya dengan babak belur atau menahan lapar.

Kata Jadu, anak-anak yang sudah menginjak remaja di panti kami akan dijual. Entah kemana.

Jadu menakut-nakutiku dengan mengatakan kami akan dibunuh lalu organ kami diambil. Katanya, organ-organ di dalam tubuh kami bernilai ratusan juta kali lebih berharga dari kepingan koin yang kami dapatkan.

Aku tidak percaya.

Jadu akhirnya mengajakku untuk melihat sendiri.

Siang itu kami sengaja tidak bekerja.

Akibatnya, kami dihukum untuk duduk di halaman belakang saat jam makan siang.

Ternyata, halaman belakang hanya selisih satu tembok dengan ruangan para pengurus panti.

Aku menempelkan telingaku di tembok.

“Hanum gimana?”

“Lancar.”

“Next siapa, nih, Bos?”

Tidak ada jawaban.

“Kemarin ada yang nyari ginjal sama jantung.” Sebuah suara akhirnya menjawab.

Aku melirik Jadu yang terlihat fokus mendengarkan—seperti sudah terbiasa melakukan dan mendengar ini semua.

“Kasih air minum yang banyak buat mereka.” Ucap suara lain.

Aku menelan ludah.

“Kayaknya Erlan yang paling sehat, kita tunggu sebulan lagi.”

Jantungku seperti dipukul kuat-kuat.

Aku?

Berbeda dengan wajahku, Jadu sama sekali tidak terkejut. Sepertinya dia sudah tau aku akan dijual.

“Dari kemarin namamu udah disebut, Kak.” Dia menjelaskan.

Aku terkejut.

Tidak ada cara lain.

Aku harus kabur.


Tapi kabur tidak semudah yang kubayangkan.

Pengawasan kami ketat. Jika aku mengemis atau mengamen terlalu jauh, pengurus panti akan mengikutiku atau tiba-tiba merangkulku untuk dibawa pulang.

Kata Jadu, aku mendapat perhatian lebih karena menjadi incaran mereka.

Sebulan berlalu cepat. Tidak ada tidur yang kulewati dengan nyenyak.

Malam itu, saat makan malam, aku dipanggil ke ruang pengurus.

Tanganku menggenggam kuat roti yang baru dibagikan.

“Selamat malam, Erlan.”

Dia adalah kepala pengurus panti. Tubuh dan wajahnya kurus. Dari gurat wajahnya, terlihat jelas dia masih muda dan sehat. Kami memanggilnya Pak Tayu.

Pak Tayu memiliki senyum manis dan wajah yang bersih. Dulu aku selalu mempercayainya.

Tapi kali ini tidak. Terutama saat bibirnya tersenyum lalu mengucapkan kalimat terkutuk itu.

“Besok kamu diadopsi. Orang tua barumu jemput jam 7.”

Kepalaku seperti dibentur pada tembok kumuh di sekeliling.

Malam itu, atas kekuatan dari rasa takutku, aku berhasil menyelinap keluar dari panti.

Tapi baru saja melewati pos, aku sudah mendengar namaku diteriaki.

Aku lari.

Aku terus berlari.

Aku tidak peduli dengan beberapa orang yang berusaha mengejarku.

Aku tidak peduli dengan kakiku yang tidak menggunakan alas apapun.

Aku terus berlari menyusuri malam.

Kakiku mendadak melambat saat aku melihat seonggok tubuh manusia tergeletak di pasar. Aku melihat sekeliling, tidak ada siapapun kecuali angkot dan beberapa truk.

Dia seusiaku. Aku bisa melihat dari tinggi tubuh kami yang hampir sama.

Jangan-jangan dia juga kabur dari panti asuhan kami?

“Hei.”

Aku menggoyang lengan anak itu.

Uh.

Aku mengenalnya.

Dia anak keripik itu. Anak di lampu merah yang memberiku sebungkus keripik!

Anak itu membuka matanya perlahan.

Dia terlihat bingung. Aku juga bingung.

Tanganku secara tidak sadar menyodorkan roti yang kuterima untuk makan malam—ternyata aku masih menggenggam kuat roti tadi.

Dia menerimanya, mengucapkan terima kasih, lalu kabur.

Aku baru ingat. Aku juga harus kabur.

Tapi terlambat.

Saat punggung anak tadi menghilang, aku mendengar suara salah satu pengurus panti datang mendekat.

Akhirnya, aku diseret kembali ke panti.


Saat itulah aku nyaris mati.

Rasanya, aku nyaris mati.

Aku ditampar berkali-kali. Punggungku diinjak dan ditendang. Tubuhku dibanting ke tembok hingga aku tidak bisa berdiri.

Tubuhku penuh darah dan memar.

Malam itu, aku tidur di salah satu ruangan kosong yang bau kencing dan tinja.


“Kak, besok bilang kamu pengen ngajak aku diadopsi.”

Suara itu samar-samar membangunkanku.

Jadu—sepertinya dia menyelinap untuk menemuiku.

Aku tidak dapat membuka mataku.

Gelap.

Aku tidak ingat apapun.


BYUR!

Aku terbangun saat merasakan pukulan air di wajahku.

Salah satu pengurus panti baru saja menyiram wajahku dengan air seember penuh.

Pagi itu aku mandi. Pengurus panti menggosok tubuhku tanpa memperdulikan lukaku.

Sakit.

Sepertinya, aku nyaris mati—lagi.


“Kak.”

Suara Jadu memanggil saat aku tengah duduk di halaman panti.

“Ingat 'kan aku bilang apa?”

Uh.

Ternyata apa yang kudengar semalam bukan mimpi.

“Kak, bilang ke Pak Tayu kamu mau ngajak aku juga.”

Aku tidak berpikir panjang. Aku tidak mau sendirian.

Dan aku percaya pada Jadu.

Entah bagaimana rencana Jadu, tapi kami berhasil menaiki mobil orang tua angkat kami setelah aku mengatakan apa yang diminta Jadu pada Pak Tayu.

“Walaupun aku nggak sesehat kamu, tapi organku masih mahal.” Begitu kata Jadu saat kami sudah duduk di mobil.

Aku ngeri sendiri mendengarnya.


Aku mulai mengerti rencana Jadu. Dia ingin kami kabur saat mobil orang tua angkat kami berhenti untuk mengisi bensin.

Berhasil.

Umurku baru 13 tahun dan Jadu 11. Aku tidak tau bagaimana ia bisa memikirkan seluruh rencana ini. Aku hanya mengikutinya.

Sepertinya Jadu telah menyusun rencana ini dari lama.

Sepertinya dia memang ingin diadopsi. Sepertinya dia tau rute panti asuhan hingga rumah kami kelak. Sepertinya dia tau di mana saja mobil ini akan berhenti.

Sepertinya, Jadu tau segalanya.

Saat itu juga—sepertinya dia tau aku takut melepaskan tangannya, dia terus mengenggam tanganku sambil berlari selama satu jam tanpa henti.

Sejak saat itu, kami berlari menjauhi kematian.