Pinggir Pantai

POV: BERMUDA. cw // mention of death ; trauma ; crime

“Haku Dharmakala.”

Haya menyodorkan tangan, terlihat sedang mengajak berkenalan.

Mataku membalasnya heran. Maksudnya?

“Nama yang dikasih bonyok ke gue,” ia menurunkan tangan, mengembalikannya ke dalam saku jaket. Mata coklatnya diarahkan pada langit kuning kemerahan di hadapan kami. “Haku Dharmakala.” Nada suaranya melembut.

Aku meliriknya sekilas. Kenapa manusia licik ini tiba-tiba membahas orang tuanya? Sengaja agar aku merasa tidak enak sudah meremehkan dukanya semasa kecil?

“Oh... gue cuma tau nama lo Haya.”

“Lengkapnya Himalaya.” Koreksinya, “Haya nama panggilan gue di kampus.”

Yep. Lagi-lagi sesuatu yang tidak aku tahu.

Kami kembali memandangi matahari yang sedang merosot ke laut. Rasa kesal dan marah atas perdebatan semalam perlahan surut.

Menjadi sosok kakak untuk Fuji tentunya melatih kekuatan sekaligus kelunakkanku sebagai manusia. Hal-hal menyakitkan yang diucapkan Haya semalam bagai sinar matahari yang akhirnya menghilang sebelum hari baru menjemput.

“Sebelum gue dipanggil Haya, orang-orang manggil gue Hima.” Lelaki berambut agak gondrong itu menatapku, hembusan angin membuat anak rambutnya beterbangan seiring ujung jaketnya yang terhempas ketika tangannya dikeluarkan dari saku.

“Lo nggak kenal gue di masa Haku Dharmakala atau Hima, lo kenal gue sebagai Haya...HOKU...” Ia terdiam sejenak. Matanya terpaku pada ujung kaki seolah sedang menghitung hamparan pasir yang kami duduki. “Bisa aja gue juga gitu, gue nggak kenal lo sebelum Erde, Rudi, atau Bermuda.”

“Dari dulu nama gue emang Erde...” Sambarku, “sejak pergi dari panti.”

“Pas masih di panti?” Ia memiringkan wajahnya, “Erde juga?”

Aku menggigit bibir, enggan menjawab.

Kenapa tiba-tiba bertanya?

Sikapnya yang menumpul setelah semalam menajam membuatku tidak nyaman—seolah Haya sudah mengetahui masa laluku dan memutuskan bahwa aku patut dikasihani.

“Kita nggak sekenal itu, makanya kemungkinan besar kita bakal nyakitin satu sama lain.” Haya menarik wajahnya menjauh lalu menatapku.

Dua alisku naik. “Ya... harusnya kita nggak nyelesaiin perbedaan pendapat dengan saling nyakitin, sih. Harusnya kita cari jalan tengah.” Mataku meliriknya, “namanya juga kerja sama.”

Haya terkekeh. “Kerja sama....” Matanya menerawang jauh. “Dari dulu gue lebih suka ngerjain apa-apa sendiri. Gue nggak terlatih kerja kelompok, gue takut deket-deket sama orang lain... takut mereka tau kalo gue... beda sama mereka.”

Pengakuan itu membuat dahiku mengernyit. “Lo nggak kayak HOKU yang gue kenal.”

Matanya kini menuntut penjelasan.

HOKU yang gue kenal, justru bakal bangga karena dia beda dari orang lain. Ngrasa paling pinter karena menurut dia, semua orang di dunia ini bego.” Lanjutku.

“Itu kan HOKU. Gue lagi jadi Haku!” Protesnya tidak terima. “HOKU itu beda, dia nggak takut apa pun karena semua yang ada di layar bisa dikendaliin sama tangannya.”

Aku terkekeh. Padahal tangan HOKU adalah tangan milik Haku juga.

“Tapi Haku Dharmakala... beda.” Pandangan Haya dilempar jauh. “Kalo lo cari tau dikit aja... lo bakal tau Haku Dharmakala itu anak dari Chisen Dharmakala, hakim koruptor yang mobilnya masuk jurang—itu semua di luar kendali Haku.”

Uh-Oh.

“Selama jadi Haku, gue hidup berkecukupan. Tapi pas jadi Himalaya, gue hidup serba nggak ada.” Haya terkekeh, “lo tau kan gimana susahnya sekolah tanpa surat-surat kelahiran?”

Aku mengamini dalam hati. Tidak perlu ditanya bagaimana sulitnya mendaftar sekolah tanpa surat-surat resmi dari negara. Kalau enggan memenuhi berbagai persyaratan yang memusingkan itu, sebagai wali dari Fuji, aku harus menyiapkan uang yang tidak sedikit.

Sama denganku, Haya menceritakan bagaimana ia susah payah mengganti identitas agar orang lain tidak mengetahui asal-usulnya.

“Dulu pas gue udah jadi Himalaya, gue tetep takut orang-orang bakal tau tentang keluarga gue, latar belakang gue, atau rumah gue yang kelewat biasa, sepi—nggak kayak rumah mereka. Gue takut bakal dikatain karena nggak punya mainan atau nggak pernah nyobain makanan di mall,” ia terkekeh pelan, “bahkan gue selalu nutupin sepatu gue... karena sepatu gue paling biasa di antara temen-temen...” kalimatnya terhenti, matanya tertuju pada ujung kaki, “yah...” helaan napasnya terdengar, “gitu lah.”

Aku menelan ludahku. “Maaf.”

“Kenapa minta maaf?”

Mengatakan hidup orang lain enak pada orang yang benar-benar hidup enak tentunya adalah pujian, namun mengatakan hidup orang lain enak pada orang yang hidup penuh sesak adalah hinaan.

Untuk sesaat aku menimang untuk menyampaikannya atau tidak.

Baiklah. Aku mengalah.

“Gue sembarangan banget bilang hidup lo lebih enak cuma karena lo punya apa yang gue nggak punya—sekolah, ijazah, orang tua.” Jawabku akhirnya.

“Padahal kalo gue nggak punya itu semua, gue juga nggak tahu rasanya kehilangan itu semua.” Aku sengaja memberi jeda, berusaha mencari kata yang tepat agar ujung dari percakapan ini bukan perdebatan.

“Pas keluar dari panti, gue mulai liat gimana anak-anak dimanja sama orang tuanya, mereka cuma perlu nangis buat dapetin apa yang mereka mau, bahkan ada anak-anak yang nggak perlu ngapa-ngapain dan orang tuanya bakal langsung ngasih mereka sesuatu... anak kedua saya suka makan ini, saya pesen satu ya.” Aku menirukan seorang ibu-ibu yang dulu pernah menjadi pelanggan di toserba tempatku bekerja.

Setelah memastikan Haya tersenyum, aku melanjutkan ceritaku.

“Dulu gue mikir orang tua itu sumber kebahagiaan buat anak-anak.” Aku menghela napas. “Dan gue baru tau juga kalo... pas gue dipukulin di panti, ada anak seumuran gue yang dijaga mati-matian sama orang tuanya biar nggak jatuh pas belajar naik sepeda.”

Ingatanku tentang rasa iri yang kupendam saat masih remaja terkupas satu per satu.

“Pas gue nahan laper karena harus ngejar setoran, ada anak yang makan siangnya disiapin dan disuapin orang tuanya. Anak-anak kecil yang gue liat dulu, punya orang-orang yang mastiin mereka nggak akan nangis atau hidup kekurangan.”

Ringisanku terdengar. Ternyata masih ada sisa iri di sudut jantungku.

“Liat anak lain seumuran gue yang lagi main sama temen-temennya atau ketawa bareng keluarganya bikin gue yang masih umur belasan sadar kalo...” Aku menoleh pada Haya. “Gue kemudaan buat ngerasain itu semua.”

Suara deburan ombak sempat menjeda kalimatku.

“Fuji nggak pernah bilang,” Lanjutku. “Tapi gue yakin dia juga kesusahan di sekolah. Dia mungkin pernah minder, diejek, ngrasa beda—tapi dia diem aja.”

Angin laut meniup rongga dadaku.

Terasa ringan.

Mungkin karena aku tahu, Haya mengerti apa yang kurasakan.

Terasa lebih mudah menyusun setiap kalimat yang akan kuucap.

Mungkin karena aku tahu, Haya memahamiku.

Dan setelah berkeluh kesah tentang masa lalu yang lebih baik kulupakan itu, mendadak topik pembicaraan kami sudah kembali ke masa kini.

“Liat anak-anak di panti kemarin bikin gue seneng karena mereka nggak perlu ngalamin apa yang udah gue alamin pas gue seumuran mereka.”

“Kita belum tau apa yang mereka sembunyiin.” Tambahku cepat, takut tiba-tiba Haya mendebatku dengan mengatai aku hobi berasumsi sendiri. “Tapi apa pun itu, gue bakal mastiin anak-anak di sini tetep hidup nyaman.”

Dengan yakin, senyumku mengembang pada Haya

Aku nyaris mematahkan tangan Haya yang tiba-tiba menepuk ujung kepalaku. “Mereka nggak bakal ngerasain apa yang lo atau gue rasain dulu.”

“Emang harus gitu.” Anggukku setuju.

“Gue nggak semarah itu, tahu...” Haya mengganti posisi duduknya, bersila. “Lo nggak harus minta maaf ke gue.” Kemudian wajah tengilnya dicondongkan, “gue juga kelewatan. Harusnya tanpa minta maaf, kita impas.”

Aku terkekeh. Sepertinya Haya juga merasakan apa yang kurasakan setelah mendengar ceritanya—rasa bersalah. Dia hanya enggan meminta maaf balik padaku.

Kemudian suara yang tersisa tinggal debur ombak, hembusan angin, dan deru motor dari kejauhan.

Kami sama-sama terdiam untuk beberapa waktu.

“Seberapa pengen lo ngancurin Manggala?”

Keheningan pertama dipecah oleh Haya.

Hah?

“Gue?” Aku menunjuk diri sendiri.

Haya mengangguk.

Aku bergumam. “Jujur...”

“Jujur...?” Satu alis Haya naik.

Tanganku naik mengusap tengkuk. Tidak yakin.

“Nggak tau.” Aku akhirnya menggeleng.

“Gue lebih ke... takut?” Aku meragukan kata sifat yang kuucapkan, “—setiap denger mereka.” Lanjutku. “Gue takut kalo ketemu mereka, bukan gue yang ngancurin mereka, tapi justru mereka yang ngancurin gue.”

“Gue takut usaha gue sama Fuji buat lari dari mereka jadi sia-sia karena kita ngejar sekarang ngejar mereka.” Jemariku turun, memainkan ribuan pasir dalam genggaman. “Gue nggak pernah bener-bener yakin bisa ngancurin mereka.”

“Lo bener...” Aku terkekeh—mendadak teringat ucapan Haya semalam. “Gue emang pengecut.”

“Lo tau...” Haya tersenyum padaku dengan kedua tangan memeluk lutut, “gue takut banget pas Maru ngarahin pistolnya ke gue, pas nyamar jadi suami lo kemarin.” Tawa kecilnya terdengar. “Tapi pas udah di depan komputer, gue ngrasa gue bisa hancurin Manggala. Gue ngerasa... gue harus hancurin mereka semua.”

“Gue pengen orang yang bunuh bokap gue ngrasain juga apa yang dirasain keluarga gue.”

Mata kami kembali bertemu, ia seperti sedang bersumpah di hadapanku.

“Mau lo... bunuh...?”

“Mati aja nggak cukup buat ngerasain apa yang keluarga gue rasain.”

Aku menelan ludahku.

Tentu. Tentu mati terlalu mudah untuk mereka.

“Intinya, gue juga pengecut—kita berdua pengecut yang benci Manggala.” Haya mengoreksi cepat. “Tapi kita bukan cuma Haya sama Erde, kita HOKU sama RED. Kita udah berkali-kali kerja buat orang lain, tingkat kesuksesan kita 100%. Sekarang kalo kita emang mau kerja sama buat ngancurin mereka, gue yakin kita tetep bakal sukses 100%.” Haya mengendikkan bahunya.

Kemudian mata kecoklatan itu menatapku—secepat kilat, rasa hangat merasuki tubuhku.

Kehangatan itu menjalar hingga tenggorokanku seperti dihantam bola panas.

Aku tercekat.

Darahku mengalir deras. Pembuluhku seolah membesar dan jantungku berdetak cepat. Rongga dadaku nyaris meledak.

Alih-alih meledakkan jantungku, sesuatu yang eksplosif itu menggelitik perutku, tawaku lebih dulu menyembur.

Menggelikan.

“Kenapa?” Haya menatapku heran.

Pastilah dia heran.

Aku juga heran, tidak paham.

Ledakan ini datang mendadak. Seperti menemukan sebuah cahaya dalam lorong gelap yang selama ini kukira tak berujung. Seolah sebuah lentera baru saja disodorkan padaku oleh pejalan lain yang kutemui di tengah perjalanan. Seperti langkah kaki yang kudengar selain langkah kakiku sendiri.

Perasaan bahwa aku tidak akan berjalan sendirian ini menghantam tepat di inti jantung.

Aneh.

Mungkin, kata kita yang diucapkan Haya, baru saja menjadi pemantik yang menyalakan tubuhku.

“Gue tau gue pengecut, banyak takutnya,” bahkan senyumku tidak dapat terbendung, “tapi pas denger elo ngaku lo pengecut, gue jadi nggak takut... gue justru pengen bilang kalo kita berdua bukan pengecut, tapi Manggala yang pengcut.”

Haya tertawa. “Kenapa mendadak bilang gitu? Sesama pengecut harus saling nguatin?”

Tawa itu menular pada bibirku. “Bukan, bukan.” Gelengku cepat. “Menang dari orang yang jauh lebih lemah dari kita bukan sesuatu yang pantes dibanggain. Gue pernah adu panco sama kakek-kakek terus menang, bukannya bangga gue malah malu karena...” dahiku mengernyit mengingat betapa cupu-nya aku saat itu, “ngapain gue nantangin dia panco?”

Lelaki di sampingku tampak memahami arah pembicaraanku, anggukannya mengamini cerita dariku. “Pas awal kuliah, gue juga pernah main game 5v5, tim gue kalah, terus gue marah-marah sama temen setim gue, abis itu gue buru dia sampe ketauan kalo ternyata dia masih bocah umur 13 tahun. Bukannya pengen makin marah gue langsung nggak jadi marah karena dia masih kecil banget.” Ia terkekeh, “itu 'kan yang lo maksud?”

Aku mengangguk. “Itu respon normal orang biasa pas tau lawan mereka nggak sepadan. Tapi Manggala beda—buat mereka, lawan tetep lawan. Cuma ada menang sama kalah. Justru itu sifat pengecut.”

Kami tersenyum puas setelah merasa cukup menghakimi Manggala.

Saat masih mengenyam Sekolah Menengah Pertama, Fuji pernah bilang, fungsi jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh. Ledakan dari Haya sepertinya meningkatkan fungsi jantungku, tidak hanya darah yang disalurkan ke seluruh tubuh, rasanya keberanian dan semangatku ikut mengaliri tiap tubuhku hingga rasanya aku bisa berenang mengitari lautan tanpa takut tenggelam.

Mataku mengamati Haya dari samping.

Benar.

Jika kami bersama, keberhasilan adalah kepastian.

Senyumku, sekali lagi, mengembang.

“Apa rencana lo nanti?”

Aku langsung terbatuk saat tiba-tiba Haya menoleh, menangkap basah pandanganku yang masih terkunci di wajahnya.

“Nanti malem?” Aku berdeham.

“Nanti kalo semua ini udah selesai.”

Oh.

“Gue belum pernah mikir sampe situ.”

Namun karena Haya bertanya, kini aku memikirkannya.

Setelah semua pelarian ini selesai dan tidak ada pihak mana pun yang harus kami hindari, apa yang akan kulakukan?

Menarik.

“Gue pengen liat Fuji kuliah, wisuda, kerja, ngelakuin apa yang dia mau.” Bahkan mengucapkannya membuat ujung bibirku melengkung.

“Lo kayak bapaknya.” Haya mendengus, mengejekku. “Itu 'kan buat Fuji, kalo buat lo sendiri apa?”

“Gue sendiri?”

“Iya,” Haya mengangguk, “apa yang pengen lo lakuin? Lo pengen Fuji liat lo ngapain?”

Lucu. Aku menepuk lengan Haya, tertawa. “Gue nggak tau mau ngapain.” Kekehku pelan. “Kerja... mungkin? Biar Fuji bisa kuliah?”

“Kerja?” Haya merubah posisi duduknya, meluruskan kedua kaki dan membiarkan kedua tangannya menopang tubuh, wajahnya sedikit didongakkan menatap langit, “kalo kerja mah... semua orang juga kerja.”

“Gue kurang tau apa yang pengen gue lakuin.” Aku memeluk lutut, mencegah angin malam terlalu membelai kulit—dingin. “Tapi ada yang nggak pengen gue lakuin.”

“Apa?” Seketika Haya kembali bersila, wajahnya didekatkan padaku, matanya membulat seperti anak kucing yang hendak diberi makan.

“Lari.” Aku menoleh padanya. “Gue nggak mau ngejar atau dikejar... sama siapapun.”

“Yah...” Seperti anak kucing yang tidak berselera dengan makanan yang diberi, Haya kembali pada posisi duduk semula—menarik wajahnya dariku. “Nggak ada kegiatan spesifik mau ngapain?”

Nggak, menjadi jawabanku dalam hati.

Sulit mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang ingin kulakukan. Aku berharap bisa terus merasakan ledakan di rongga dadaku dengan pantat menempel sedekat mungkin pada bumi—seperti sekarang.

“Duduk...”

Ucapku akhirnya.

“Diem...”

Bibirku tersenyum.

“Liatin...” Mataku mengerjap beberapa kali, mengitar pada pemandangan di sekitarku, “ombak... orang jualan ikan bakar... anak main pasir...” wajahku menengadah, “langit...” lalu turun dan mendapati satu-satunya pemandangan yang belum kusebut di sampingku,

”... gue...?”

Telunjuk Haya menunjuk dirinya sendiri.

Dan ledakan itu datang lagi, kini dengan cepat membuat tawaku lebih dulu berhamburan.

Perasaan ini terasa aneh, seperti sebuah balon yang terus dipompa dan tak mau meletus.

“Jenguk lo di penjara karena lo mau bunuh orang Manggala, 'kan?”

“Ngaco!” Pukulan Haya mendarat di pundakku. “Gue bilang, mati nggak cukup buat mereka!” Ia mendengus kesal. “Lagian, di antara kita berdua, lo yang kemungkinan besar bakal masuk penjara! Nggak ngerti hukum, emosian, nggak bisa baca situasi lagi!” Tiba-tiba tangannya mencubit pipiku keras—amat keras. “Gue nggak bakal heran kalo muka lo nampang di berita karena nganiaya polisi!”

“Sembarangan!” Aku menepis tangan Haya.

“Besok gue pastiin lo dapet sel yang ngadep laut biar tetep bisa duduk sambil liat ombak, ikan bakar, sama pasir!” Matanya memicing kesal.

Meskipun ikut kesal mendengarnya, aku tertawa. Haya benar-benar mirip anak kucing yang marah karena camilannya diambil.

Setelah itu, telingaku sibuk mendengar Haya yang berandai-andai jika besok aku menjadi penghuni sementara di penjara.

Suara Haya menjadi latar musik yang menyenangkan di pinggir pantai. Dengan lautan biru di depan mata dan langit kemerahan yang cenderung meremang seiring berjalannya waktu—mengisyaratkan kegelapan akan datang dalam beberapa detik.

“Lo denger 'kan cerita Maru kemarin?”

Aku terkesiap. Tiba-tiba ocehanya sudah berganti menjadi pertanyaan normal.

“Yang...?”

“Mata pisau. Eksekutor Manggala.”

Aku mengangguk. “Mereka... yang bunuh orang tua lo, 'kan?” Tanyaku hati-hati.

“Bisa jadi.” Dua alis Haya naik sekilas.

“Kita bakal pastiin nggak ada anak-anak yang dimanfaatin sama Manggala dan nggak ada anak-anak yang kehilangan orang tuanya karena Manggala.” Haya menatapku mantap. “Dengan gitu, nggak ada lagi masa lalu dan masa depan yang hancur karena Manggala.” Ia terdiam sejenak, “lo mau 'kan lanjutin ini semua?”

Aku mengangguk. Tentu!


Tepat sebelum kegelapan menyelimuti kami, aku mengulurkan tanganku pada Haya. “Oh iya, Erlan.”

Si anak kucing—Haya—kini terlihat kebingungan.

“Nama gue di panti R-8, panggilannya Erlan.” Aku tersenyum, mataku menunjuk tanganku sebagai isyarat perkenalan kami.

“Erlan!” Seperti anak kucing yang bertemu induknya, Haya menyerbu tanganku dan menjabatnya erat. Binar matanya melembut perlahan. “Makasih udah pergi dari panti dan bawa Erde ke sini.”

Haya menepuk pelan ujung kepalaku.

Dan itu.

Itu adalah ledakan ketigaku hari ini.