Pukul Dua Pagi, Dapur.

Dan kini, ketiganya di dapur.

Hugo-Raib dalam bentuk arwah, dan Malik dalam tubuh Raib.

Tentunya, mereka sempat berdebat apakah tubuh Raib harus ikut dibawa atau ditinggal di kamar. Akhirnya, demi keamanan tubuh Raib dan karena tak ada satu pun di antara mereka yang dapat menyentuh barang, maka tubuh Raib harus diikutsertakan.

Ruang dapur cukup luas, namun jumlah dan ukuran perabotan di dalamnya membuat area dapur terasa sempit. Ruang ini dilengkapi satu lampu yang dipasang di atas meja makan. Terangnya area dapur cukup kontras dengan koridor kamar yang lampunya sengaja dimatikan.

“Gue yakin dapur ini TKP,” Ucap Raib, ia sedang berdiri tepat di atas area badan Hugo pertama terbangun, “Hugo mulai nggak sadar di sini, dan bukunya kelempar sampai kulkas.” Ia menunjuk tempat buku Hugo pertama ditemukan.

Hugo menggeleng, “Nggak,” Ia mengikuti Raib, berdiri di sampingnya, “Bukunya nggak mungkin kelempar,” Ia menoleh cepat pada Malik, “Lo nemuin bukunya dalam keadaan ketutup, kan?”

Malik mengangguk.

“Kalau bukunya kelempar, nggak mungkin bisa ditemuin dalam posisi ketutup, lo liat kan bukunya nggak pake pengait, gimana caranya bisa ketutup kalau bukunya kelempar sejauh itu?”

“Kenapa nggak bisa?” Sergah Raib, menyilangkan tangan di depan dada.

Hugo menghela nafas, “Kalau dapur ini TKP, berarti gue berantem atau pingsan atau jatuh atau gimana pun di sini, ya kan?” Ia menunjuk lantai di bawahnya.

Malik dan Raib mengangguk.

“Kalau bukunya jatuh dalam keadaan ketutup, berarti tenaganya cuma kecil dan nggak masuk akal kalau kelempar sampai sana.” Hugo menunjuk area kulkas.

“Masuk akal misal bukunya jatuh di sini, terus ketendang sampai kulkas.” Raib menimpali.

“Berarti gue sempet ngelawan?” Hugo menaikkan satu alis, “Kalau gue sempet berantem sama orang ini dan tau gue nggak akan menang, gue pasti kabur, area sini nggak jauh dari pintu depan.” Hugo menunjuk pintu depan yang hanya berjarak beberapa langkah.

“Nggak, nggak,” Raib menggeleng tak setuju, “Mungkin lo emang sempet berantem atau ngapain deh di dapur, terus jatuh di sini,” Ia melangkah ke samping kulkas, “Lo nggak nyadar buku lo ketendang sampai bawah sana.” Ditunjuknya kolong kulkas.

Hugo terdiam. Cukup masuk akal.

“Kalau dapur ini TKP,” Raib menatap Hugo dan Malik bergantian, “Berarti kita harus mulai semuanya dari awal, Jibran sama Yahya harus balik ke daftar tersangka.”

Bahkan Malik nyaris berseru tak setuju.

Hugo melotot, “Jibran sama Yahya?! Kenapa?!”

“Jibran udah jelas karena bohong, terus kita nggak tau keberadaan Yahya—”

“Yahya nungguin gue di rumahnya,” Potong Hugo cepat, “Jibran juga mungkin ada di rumah waktu itu,” Ia melirik sekitar, berpikir cepat, berusaha menyelamatkan adiknya dari kecurigaan Raib, “Masalah kunci itu bisa kita pastiin dengan nanya langsung, jangan gegabah.”

Hugo menatap Raib lurus-lurus.

“Satu lagi,” Lanjutnya, “Orang di daftar tersangka lo masih ada dua, si Jerri, harusnya jadi tersangka utama—”

“Jerri nggak bisa—”

“Dengerin gue,” Potong Hugo cepat, “Jerri ada di kos ini. Dia bilang dia ketemu gue—”

“Justru itu!” Sergah Raib, “Kalau tempat ini TKP dan pelakunya Jerri, harusnya dia nggak bilang apa-apa!”

“Lo juga belum mastiin di mana Pak Juna hari itu. Masih banyak hal yang belum lo lakuin kenapa udah mau nambahin orang ke daftar tersangka?!” Seru Hugo penuh kekesalan, ia nyaris mengumpat kalau saja Malik tak berdeham untuk menengahi keduanya.

“Kita ke dapur untuk mencari petunjuk baru, bukan untuk berdebat, ingat?” Ujar Malik dengan nada rendah, berusaha menengahi dua arwah yang memberi tatapan tajam satu sama lain.

Perdebatan keduanya ditutup dengan helaan napas kasar untuk satu sama lain.

“Sekarang, mari kita telusuri pelan-pelan.” Malik kembali bersuara, pelan dan lembut. Ia baru mulai menyusuri area dapur setelah memastikan Raib dan Hugo tak lagi saling lirik.

Ketiganya mulai menelusuri area dapur dalam diam.

Hugo dan Raib mencari di area yang terlihat mata, Malik mencari di area tersembunyi—karena ia satu-satunya yang dapat memindah barang.

Tak banyak yang ditemukan.

Semuanya terlihat wajar.

Bahkan Hugo sampai menyejajarkan matanya dengan lantai, kalau saja ada hal lain yang terselip, namun nihil.

Di sela-sela kulkas dan rak.

Di bawah wastafel dan kompor.

Di area bawah tangga.

Di dalam rak.

Di setiap sudut.

Nihil.

Tak ada apa pun.

“Nggak ada apa-apa di sini.” Hugo menghela napas.

Raib terdiam, ia setuju dengan Hugo namun pandangannya masih mengedar.

“Kita balik sekarang, badan lo harus istirahat.” Hugo melirik Raib, kakinya melangkah meninggalkan dapur.

“Tunggu,” Malik yang masih mencari di sekitar meja makan berseru rendah, “Aku belum selesai dengan meja makan.”

Raib tak tau apa yang dicari Malik namun ia ikut mendekati area meja makan yang terlihat biasa. Bersih, dengan wadah peralatan makan berada tepat di tengah.

Hugo menghentikan langkahnya, berbalik, menunggu sambil mengamati Raib dan Malik yang masih sibuk mencari di meja makan yang luas.

Raib menelusuri kolong meja sedang Malik bagian atas meja.

“Nggak ada apa-apa, udah gue cek.” Hugo berseru pada Raib.

Raib menoleh ke belakang, “Kan double check.” Ia menatap Hugo dari bawah meja.

Raib kembali fokus pada kaki meja dan apa saja yang ada di lantai. Dahinya mengernyit saat ia menyadari matanya baru saja menangkap sesuatu yang aneh.

Ia kembali menoleh ke belakang—pandangannya sempat bertemu dengan Hugo—lalu mencari hal asing yang menarik matanya.

Raib mengamati ujung meja, lalu bergeser hingga lebih dalam. Ia mendongak. Matanya membulat.

“Malik!” Seru Raib setengah tertahan, “Coba liat ini!”

Malik yang sedang mengamati wadah perlatan makan segera mendekati Raib.

Ia menunduk, memasuki kolong dan menatap papan meja dari bawah—persis seperti yang dilakukan Raib.

“Ini...” Malik menjulurkan tangan, meraba papan meja yang terasa ganjil. Ada area berbentuk garis yang terlihat lebih gelap dari area lain. Warnanya tak terlalu kasatmata karena minimnya cahaya.

“Tunggu.” Malik keluar dari kolong meja lalu berlari ke kamar Raib.

“Ada apaan sih?” Hugo yang telah mendekati area meja makan, mulai heran melihat Malik yang berlari ke kamar.

“Itu.” Raib menunjuk area yang menarik perhatiannya dari bawah meja.

Hugo baru saja akan memasuki area kolong meja ketika suara Malik terdengar.

“Permisi,” Malik datang, kembali memasuki kolong meja, tangannya membawa senter kecil yang diambil dari meja belajar Raib.

“Kenapa nggak pakai HP aja?” Dahi Raib mengernyit.

Malik tak membalas, ia cepat-cepat menyalakan senter lalu menyorot area papan meja.

Ketiganya terdiam.

Untuk sesaat, hanya terdengar napas Malik dan samar-samar deru kendaraan dari jalan raya.

“Apaan?” Hugo yang berdiri di samping meja ikut melongok, tak sabaran.

“Ini...” Malik menyipitkan mata, “Darah... kering?”