Reflection

POV: MAHAMERU cw / tw // gun ; pistol ; knife ; pisau ; fight scene ; berantem ;

Apa, sih, yang lebih menyakitkan dari dikhianati teman sendiri?

Aku yakin ada banyak jawaban tapi sampai sekarang hal tersakit yang pernah kurasakan adalah dikhianati oleh Haya.

Oh, c'mon, Haya adalah orang terakhir yang akan kucurigai jika korekku hilang di meja Warung Aa'. Bagaimana bisa dia merencanakan pengkhianatan?

Dua tahun bukan waktu yang singkat. Awalnya kami hanya teman makan di Warung Aa', kemudian kami bermain game bersama, kemudian kami saling menyimpan kontak satu sama lain. Haya adalah satu-satunya temanku selama aku berstatus mahasiswa di kampusku yang sekarang.

Memang, sih, aku sendiri yang memutuskan tidak mau berteman dengan siapapun karena tidak mau pekerjaanku terganggu. Namun ada kalanya aku salah dalam menentukan mana yang aku mau dan tidak mau saat merasakannya sendiri. Contohnya adalah pertemananaku dengan Haya.

Mempunyai teman ternyata tidak buruk juga. Kami dua orang asing dengan dunia masing-masing. Duduk di meja yang sama. Bertukar opini tentang hal yang tabu dan tidak kami tahu. Menyenangkan karena kami sama-sama tidak terlalu peduli dengan urusan pribadi.

Aku suka berteman dengan Haya. Tidak ada hal berat yang perlu kupikirkan dan aku hanya perlu menjadi Mahameru tanpa kepura-puraan.

Yeah, bodohnya aku berpikir bahwa Haya adalah pengecualian. Hanya karena kami sama-sama tertutup dan tidak kepo, seharusnya aku tidak langsung mempercayainya.

Aku masih mengingat darahku mendidih saat menangkap keberadaan Bermuda (slash Rudi) sore tadi.

Lelaki berambut cepak itu sedang mengikutiku. Dia cukup pintar dengan menyuruh orang lain mengikutiku sebelumnya—sosok tinggi dengan rambut yang sedikit lebih panjang. Namun dia tidak cukup pintar untuk tidak bergabung dengan sosok yang lebih tinggi itu. Dia seharusnya sadar, aku pernah bertemu sekaligus berduel dengannya. Aku hapal tinggi, perawakan, panjang kaki, bahkan ritme napasnya.

Terlebih lagi, dia membuntutiku di wilayahku sendiri! Salah satu penghinaan terbesar yang pernah kuterima. Setiap jalan, manusia, rumah, bangunan, hingga tempat sampah di sekitar kantorku adalah milik kami. Tidak ada satu nyamuk pun yang bergerak tanpa seizin kami, berani-beraninya lelaki tidak tahu diri itu menginjakkan kaki di tempat kami, membawa satu orang asing lain pula!

Dari awal aku sudah yakin dia memang mencurigakan. Sembarangan memasuki kamarku, membawa pisau di balik bajunya, dan—yang paling utama—pisau itu diarahkan pada leherku. Lalu saat aku tahu nama aslinya bukan Rudi, aku yakin Haya juga terlibat dalam semua keanehan ini—kalau tidak, untuk apa dia menyembunyikan nama asli Bermuda di depanku?

Kecurigaanku diperkuat saat sore tadi tiba-tiba ponselku bergetar hebat dan kantorku mendapat telepon dari divisi IT organisasi kami, mereka ingin berbicara langsung denganku.

“Mahameru, ada spyware di HP-mu. Coba cek email yang baru aja dikirim. Buka lewat komputer, jangan HP.”

Holy crap.

Email itu berisi sebuah file yang terindikasi melakukan pemantauan di ponselku, lengkap dengan lokasi file tersebut.

Ini aplikasi yang dipasang Haya di ponselku.

Oh, c'mon. Jangan Haya.

Di detik itu juga, aku teringat bagaimana kami bertemu. Setiap adegan terulang kembali di kepalaku.

Kalau Haya memang benar komplotan Bermuda, itu artinya semua yang dilakukannya padaku hanyalah strategi.

He tricked me.

Apalagi yang bisa kurasakan selain marah?

Aku yakin aku terlihat bodoh di depan Haya. Aku yakin dia menertawaiku habis-habisan karena gampang didekati. Memalukan.

Ada banyak musuh kami, aku tidak heran kalau ada pihak tertentu yang mengincar kami. Yang membuatku heran adalah, aku tidak menyangka mereka berani sedekat ini.

Apalagi Haya.

Terutama Haya.

Benarkah semua yang dilakukan Haya selama ini hanya wujud strategi-nya?

Yeah. Mungkin Haya tidak menganggap pertemanan kami. Bisa saja di matanya aku hanyalah target, tapi Haya adalah satu-satunya teman yang kumiliki.

Oh, crap. Makin dipikirkan aku makin terlihat menyedihkan.

Setidaknya aku menghabiskan sepuluh menit untuk merutuki Haya.

Manusia Sialan.

Sore itu juga aku merancang sebuah rencana memancing sederhana. Aku hanya perlu mengutarakan niatku untuk mengunjungi rumah Bermuda. Jika Haya yang datang, itu artinya Haya memang bekerja untuk Bermuda—karena dia tidak tahu alamat rumah Bermuda tapi dia tetap datang untuk membuntutiku. Jika Bermuda yang datang, itu artinya dia menangkap pesanku sebagai ajakan untuk berduel. Jika tidak ada yang datang, setidaknya mereka tahu kalau rencana mereka sudah terbongkar olehku, aku bisa memburu mereka dengan bebas.

Tapi holy moly, aku tidak tahu keduanya akan datang. Tidak terprediksi. Rencana pancingan itu gagal.

Awalnya aku sedikit lega karena hanya Haya yang datang. Dia terlihat ketakutan melihat pistol yang kubawa—tapi ketakutan itu tidak sepadan dengan amarah yang kurasakan. Setidaknya ketakutan yang dirasakannya harus menghantuinya seumur hidup atau minimal dia merasa ngeri tiap mendengar namaku agar perasaan kami setara.

Tapi baru di tembakan pertama—itupun ke udara. Kini leherku justru menjadi korban dari pisau Bermuda, untuk yang kedua kalinya pula!

Harus kuakui, Bermuda cukup luar biasa. Aku bahkan tidak menyadari kedatangannya—kapan dia sampai dan mengendap. Tidak mungkin dia datang ke tempat ini tanpa menggunakan kendaraan, tapi aku tidak mendengar kendaraannya sama sekali. Telingaku juga tidak sempat mendeteksi keberadaannya.

Setengah kepalaku yakin Bermuda bukan orang biasa. Pegerakan senyap mungkin bisa diakali dan dibuat-buat, tapi caranya menodong leherku dengan pisau hanya dapat dilakukan oleh tangan yang sudah berpengalaman. Tidak ada keraguan pada genggamannya.

Ini bukan pertama kalinya nyawaku berada di ujung senjata. Setidaknya, lebih dari seratus orang pernah mengarahkan mata pisaunya padaku.

Hebatnya, tangan Bermuda tidak bergetar. Sama sekali. Tidak ada keraguan setitik pun.

Bermuda tidak takut membunuh.

Impressive. Organisasi kami memiliki satu sesi latihan khusus untuk melawan rasa takut membunuh.

“Buang.” Ucapnya rendah. Suaranya sedingin angin malam yang berhembus mengenai dedaunan.

Satu detik berlalu. Tubuhku tidak bergeming. Aku masih menodongkan pistolku pada Haya yang terduduk di tanah. Seiring bergesernya jarum di jam tanganku, aku dapat merasakan rasa ngilu yang menembus kulit leherku. Bermuda jelas tidak ragu menebas leherku.

Mau tidak mau, aku membuang pistolku. Setidaknya, aku tidak boleh mati konyol di sini.

Benda dingin yang sebelumnya telah mengenai kulitku itu segera terangkat. Perlahan, Bermuda berjalan memutar—masih dengan ujung pisau yang teracung sempurna padaku. Matanya menatapku tajam.

Bermuda memang tidak takut membunuh, tapi dia jelas tidak berpengalaman mengintimidasi orang lain. Seharusnya dia menancapkan pisaunya lebih dalam agar aku tidak bisa melarikan diri. Namun alih-alih berjaga di belakangku, dia justru melangkah ke depanku. Sekarang, siapa yang dapat menjamin aku tidak akan memutar tubuhku lalu lari secepat mungkin?

Sambil terus beradu mata dengannya, aku memanfaatkan kelonggaran ini untuk bertanya. “Siapa yang nyuruh lo?”

Dahinya mengernyit, “nyuruh?

“Siapa yang nyuruh lo buat mata-matain tempat gue?” Ulangku. Mataku mengikuti Bermuda yang masih berjalan perlahan hingga dia berada tepat di antara aku dan Haya.

Oh, my... dia melindungi Haya?

“Lo nyuruh Haya?” Aku menaikkan satu alisku. Kepalaku sedikit miring—berusaha menatap Haya yang masih berwajah pucat. “Jadi bocah ini deketin gue emang sengaja buat nyari celah di gue?”

Haya menggeleng cepat. “Nggak. Sumpah. Nggak.”

Pandanganku pada Haya terputus begitu Bermuda menggeser tubuhnya, matanya dan mata pisau di tangannya menatapku sama-sama tajam. “Ini semua rencana gue.”

Apa?

Jadi Haya tidak merencanakan ini semua? Dia hanya diperintah oleh Bermuda?

Aku ingin menanyakannya tapi setengah kepalaku melarang pertanyaan aneh itu terucap.

“Gue perlu sesuatu.” Suara Bermuda kembali menyadarkan kepalaku. Dia terlihat merogoh saku dengan tangan kirinya. “Lo kenal Sejati?”

Oh, fuck. Bermuda tidak boleh berurusan dengan Sejati. Aku harus membalik keadaan agar bisa menginterogasi Bermuda atau Haya atau keduanya.

Kakiku melangkah maju. Bermuda melotot.

Tanganku bergerak cepat memukul tangan kanan Bermuda dari luar dengan gerakan memotong hingga tangannya terdorong ke dalam. Dengan gerakan yang tidak kalah cepat, Bermuda mengarahkan pisaunya kembali ke arahku. Aku menunduk—berkelit. Sebelum tangan kiri Bermuda sempat ikut campur, aku memukul pergelangan tangan Bermuda pada arah berlawanan dengan kedua tanganku—untuk menjatuhkan pisaunya. Berhasil.

Tanpa aba-aba, aku memukul dada Bermuda dengan telapak tangan. Itu gerakan cepat. Sasaranku tepat. Lelaki dengan rambut cepak ini mengaduh. Dia tidak sempat menghindar. Aku berencana mengakhiri duel ini dengan memberikan satu bantingan lalu mengunci seluruh tubuhnya. Namun ujung mataku menangkap gerakan tiba-tiba, bukan dari Bermuda.

Haya.

DOR!

“Lepasin Erde!” Teriaknya lantang. Suara dan tubuhnya bergetar. Aku yakin ini pertama kalinya Haya memegang pistol.

Tunggu.

Erde?

Siapa Erde?

“Mu—mundur!”

Haya mengacungkan pistol padaku. Aku menurut. Walau aku tidak yakin dia bisa menembak dengan kondisi sepayah itu, tapi dengan jarak sedekat ini aku yakin tembakannya tidak akan meleset. Dua tanganku terangkat, kakiku perlahan menjauhi Bermuda.

Kini Haya berjalan pelan—dengan tubuh yang bergetar—memunggungi Bermuda. Sementara Bermuda justru memandang Haya ngeri. Dari raut wajahnya, aku dapat menebak dia akan merebut pistol itu dalam waktu—

Nah, benar, 'kan.

Kini pistol itu berpindah di tangan Bermuda. Lelaki itu menyuruh Haya mundur dengan matanya.

Sesaat kemudian, aku kembali bertatap mata dengan Bermuda. Tangannya yang memegang pistol terlihat baik-baik saja. Padahal, gerakan pukulan dua tangan yang kuberikan tadi cukup mematikan, minimal pergelangan tangannya akan terasa ngilu dan bengkak. Namun sepertinya pergelangan tangannya baik-baik saja.

“Lo kenal Sejati, ya 'kan?” Tatapan Bermuda lebih tajam dari sebelumnya, napasnya memburu.

Aku menarik napas cepat. “Kenapa lo nanyain Sejati?”

“Ini.” Dia menunjukkan sebuah kertas lecek berwarna hijau. “Lo pernah liat ini?”

Holy moly.

Cek?

Bagaimana bisa Bermuda memiliki cek itu?

“Lo tau?”

Tentu saja aku tahu.

Maksudnya, semua orang di organisasi kami tahu. Itu adalah cara kami menerima upah.

“Kenapa?” Tanyaku, hati-hati.

“Gue mau nyairin ini.”

Damn.

Jangan bilang semua ini kulewati hanya karena Bermuda ingin mencairkan cek tidak seberapa itu?

“Itu doang?”

Dua alisnya terangkat. “Itu doang?

Aku mengernyit. Kenapa dia mengulangi ucapanku?

Dengan sisa kesabaran, aku memperjelas pertanyaanku. “Lo cuma butuh duit aja?”

Bermuda mengangguk. “Gue cuma perlu duitnya.”

Seriously?

“Lo cuma perlu duitnya aja?” Kini aku yang mengulangi ucapannya. Tanganku berkacak pinggang—yang membuat Bermuda semakin memantapkan acungan pistol di tangannya padaku. “Terus kenapa lo sampe harus cari tau tentang tempat gue?” Protesku tidak terima. “Kenapa Haya harus nyadap gue?!”

“Haya nggak tau apa-apa!” Bermuda menjawab cepat. Matanya berkilat di antara kegelapan malam. “Gue yang minta Haya buat ngerjain semuanya!” Ucapannya terhenti sejenak. “Dia nggak tau apa-apa. Gue manfaatin dia buat deketin Sejati biar bisa dapet duit dari ini. Kebetulan aja lo kenal sama Sejati. Gue nggak tau kalian ternyata saling kenal!”

Lengang.

Ucapan Bermuda membuatku (sedikit) lega dan bingung. Setidaknya aku tidak dibodohi Haya tapi aku tidak paham situasi tidak masuk akal apa yang sedang kuhadapi.

Bermuda menggunakan Haya untuk mencari tahu tentang Sejati? Apa jangan-jangan karena Sejati adalah dosen Haya? Lalu entah bagaimana dia akhirnya mengetahui kalau aku kenal dengan Sejati? Dan entah bagaimana (lagi), dia bisa mengetahui pekerjaanku.

Terlalu banyak jembatan yang harus tersambung di antara fakta-fakta itu. Tapi yang paling utama...

Semua rute memusingkan itu... hanya untuk uang?

Damn...

Aku menarik napas dalam-dalam.

Jadi ini semua hanya tentang uang?

Sedangkal itu?

“Gue nggak bakal nanya apa-apa tentang kalian,” Bermuda kembali bersuara, dia kembali menunjukkan cek berwarna hijau di tangannya, “gue cuma mau ini.”

Aku menggigit bibirku. Masih tidak percaya. “Seriously? Nyairin ini aja?”

Bermuda mengangguk.

Sebenarnya, aku tahu uang memiliki kekuatan yang cukup besar. Organisasiku terbiasa menyelesaikan segalanya dengan uang. Karena berada di kantor yang memang mengelola uang, aku sudah muak melihat kertas yang dipuja-puja banyak orang itu. Sepertinya aku terlalu muak hingga melupakan kertas itu masih memiliki kekuatan. Bahkan untuk orang berdarah dingin seperti Bermuda.

Perutku tergelitik.

Baiklah. Anggap saja ini uang tutup mulut untuknya.

“Nggak perlu Sejati.” Aku menggeleng, “gue juga bisa.” Tanganku berusaha meraih cek di tangan Bermuda tapi lelaki itu mengacungkan pistol ke arah tanganku. Cepat-cepat aku menarik kembali tanganku. “Cuma mau nyairin ini aja, 'kan?”

Awalnya Bermuda mengernyit, sorot matanya menelisik raut wajahku. Dia mengangguk. “Gue bakal pergi abis dapet duit ini. Gue nggak peduli sama tempat kerja lo atau apapun yang kalian lakuin.”

“Nggak semua orang tau kantor gue nyediain jasa nagih utang.” Aku melirik Haya yang masih bersembunyi di belakang Bermuda. “Haya udah tau tentang ini.”

Tidak ada jawaban.

Terdengar jangkrik yang mengerik di sekitar kami. Malam semakin larut. Angin dingin berhembus menerbangkan ujung baju. Luka di leherku yang masih terbuka kini terasa perih.

“Haya bakal diem.” Bermuda akhirnya angkat suara. “Dia juga nggak peduli.”

Sepintas, mataku menangkap raut protes dari wajah Haya. Sepertinya dia tidak sependapat dengan Bermuda.

“Gue bakal bantu.” Jawabku cepat, “tapi habis ini lo harus mastiin nggak bakal balik ke sana lagi.” Aku melihat Bermuda menaikkan dua alisnya, dia setuju. “jangan ikut campur... tentang apapun.” Lanjutku—yang juga langsung mendapat persetujuan darinya.

“Abis ini lo nggak akan liat gue lagi.” Dia memastikan. Sorot matanya mantap, menunjukkan mulutnya bisa dipercaya.

Baiklah.

Daripada masalah ini semakin berlarut-larut, lebih baik diselesaikan dengan cara seperti ini.

Aku melirik Haya sekilas, “kita bisa bahas lagi nanti, biar Haya—”

“Langsung bahas sama gue aja.” Potong Bermuda cepat. “Haya nggak tau apa-apa.”

Tapi—seperti sebelumnya—Haya melirik Erde tidak terima. “Lho, kan gue—”

“Ini urusan gue sama Maru.” Bermuda sedikit menolehkan kepalanya pada Haya. “Urusan lo cuma sama gue. Lo nggak ada urusan sama Maru.”

“Masa nggak ada?” Haya menatapku. “Dia pasti udah nggak mau temenan sama gue abis ini.”

“Mending enggak, sih.” Jawabku cepat. Memang baiknya kami tidak berteman lagi setelah kejadian ini. Entah Haya akan pura-pura melupakan atau terus membahas, aku tidak nyaman dengan keduanya.

Jawabanku berhasil menutup rasa tidak terima Haya. Dia diam.

“Gue ada urusan.” Aku menatap Bermuda. “Bahas besok lagi aja.”

Dan pergulatan malam itu berakhir dengan cara yang tidak pernah kuduga. Tidak ada pertumpahan darah. Bahkan satu-satunya darah yang menetes adalah darahku.

Kami sempat ribut kecil karena Bermuda dan Haya sama-sama ngotot untuk menyita pistolku. Aku harus meyakinkan mereka selama kurang lebih tiga menit bahwa pistol ini adalah pistol yang sudah kubawa sejak bertahun-tahun sebelumnya. Aku tidak akan membuang pelurunya sembarangan—atau tiba-tiba menembak mereka di tempat padahal kami sudah mencapai kesepakatan.

“Yuk.” Bermuda melirik Haya yang terlihat masih berusaha mengendalikan dirinya. Aku yakin tidak mudah bagi Haya untuk tetap bersikap biasa setelah nyawanya nyaris melayang dan tangannya menarik pelatuk untuk pertama kalinya.

Namun jawaban Haya tidak terduga. Aku sendiri sampai harus menoleh untuk memastikan Haya tidak sedang berhalusinasi karena trauma.

“Gue mau pulang sama Maru.” Katanya.

Tidak ada reaksi apa-apa dari Bermuda. Sepertinya hanya aku yang terkejut. Bermuda menoleh padaku, “lo bawa apa?”

“Motor.”

“Gue juga bawa motor.” Dia menambahi. “Tapi gue parkir agak jauh, jadi—”

“Duluan aja.”

Orang yang memotong kalimat Bermuda barusan adalah Haya.

“Bareng lah, ngapain—”

“Duluan aja.” Haya sekali lagi memotong. “Gue mau ngobrol bentar sama Maru.”

“Lo gila?” Bermuda memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap Haya. “Kepala lo hampir dibolongin sama dia?” Tangannya menunjukku. “Lo mau gue ninggalin kalian berdua—”

“Cuma nyaris aja 'kan nggak dibolongin beneran?”

Oh, crap.

Situasi macam apa ini?

Haya membuka mulutnya, “gini-gini Maru pernah temenan sama gu—”

“Nggak bakal gue apa-apain,” kini aku yang memotong. Aku tidak mau waktuku terbuang sia-sia untuk menunggu pertengkaran keduanya. “Tenang aja.”


Sorry.”

Suara Haya terdengar di belakangku.

Aku mengangguk. “Santai.”

Kami terus menyusuri taman terbengkalai ini. Kakiku lincah menghindari tumbuhan-tumbuhan berduri di sekitar kami. Mataku sudah terbiasa pada kegelapan, seberkas cahaya dari lampu senter Haya mempermudah langkahku.

Tepat di samping taman—di antara perbatasan taman dan hutan—terdapat sebuah tangga yang tertutup oleh tumbuhan merambat. Aku berjalan pelan menuruni lima anak tangga lalu segera berbelok. Di balik tangga terdapat sebuah pintu tua—yang juga dipenuhi tumbuhan merambat. Tapi kami tidak akan memasukinya. Aku memarkir motorku tepat di bawah tangga.

“Abis ini lo beneran harus diem.” Aku memulai percakapan, tanganku sibuk menyibak kain hitam yang sengaja kugunakan untuk menutupi motorku. “Apa yang sampe di gue, cukup di gue aja.”

Haya tidak berkomentar selama beberapa detik. Hingga akhirnya motorku telah siap, ia baru menjawab. “Elo sih nggak pernah cerita apa-apa ke gue.”

Aku menaikkan satu alisku. “Lo nggak tau apa-apa, man. Nggak ada yang bisa gue ceritain.”

“Sekarang gue tau sesuatu.” Walau penerangan yang kudapat hanyalah lampu senter dari ponsel Haya yang mengarah ke motorku, aku masih dapat melihat wajahnya yang bersungut-sungut ditimpa cahaya bulan. “Harusnya ada yang bisa lo ceritain 'kan?”

“Mana bisa gue percaya sama lo.” Tolakku cepat. Aku mendorong motorku hingga mencapai bagian tanah yang cukup datar.

“Yang bener aja?” Dia berjalan mengekori. “Gue nggak bilang ke siapa-siapa tentang kerjaan lo.”

Kepalaku menoleh cepat. “You better not.

Setelah berhasil mencapai tanah datar, aku menaiki motorku, menyalakan mesinnya. “Naik.”

Haya berdeham. “Lo beneran nggak bakal buang gue di tengah jalan 'kan?”

Aku memakai helmku. Menoleh jengah pada lelaki menyebalkan ini. “Lo sendiri yang minta pulang bareng gue. Mau naik nggak? Atau mau jalan kaki?”

Dengan satu gertakan itu. Haya menaiki motorku. Tidak butuh waktu lama, kami telah membelah hutan dan mencapai jalan raya.

Aku melihat motor Bermuda yang terus mengikuti kami dari jalan raya. Terlihat jelas dia menunggu di jalan masuk hutan. Namun aku mengabaikannya, aku juga tidak memberi tahu Haya.

“Gue mau tanya sesuatu.” Seru Haya dari belakang.

“Apa?”

Aku cukup penasaran dengan hal yang ingin dibicarakan Haya, kelihatannya dia tidak mau Bermuda tahu soal ini.

“Lo pernah bunuh orang?”

Laju motorku melambat.

Oh, yeah. Terima kasih banyak atas pertanyaannya, Haya. Aku yakin aku tidak perlu menjawabnya. Alih-alih menjawab ya atau tidak, aku balik bertanya, “kenapa emang?”

“Ya...” Haya memberi jeda satu detik, “lo keliatan kayak orang yang peduli sama nyawa orang lain. Lo marah pas ada berita orang meninggal karena peluru nyasar. Lo juga selalu nyelametin gue pas di-ganking, katanya lo nggak bakal biarin hero gue mati konyol.”

Aku semakin melambatkan motorku, berusaha mendengar penjelasan Haya.

“Menurut gue, kalo lo emang pencitraan doang...” Dia sedikit meringis, “dua tahun kelamaan nggak sih? Kayak nggak mungkin aja gitu, lo betah acting di depan gue seolah-olah lo peduli sama nyawa orang lain padahal lo... bunuhin orang?”

Make sense.

Dugaanku, Haya tahu kantorku tidak memberikan jasa debt collector biasa. Mungkin dia tahu track record kantorku yang menggunakan segala cara untuk menagih utang.

Well, seandainya aku dapat dengan bebas mengatakan pada Haya bahwa kecaman yang kuberikan adalah wujud kemarahanku pada diri sendiri. Seandainya Haya tahu, tidak ada yang dapat mengungguli kebencianku pada diri sendiri. Seandainya Haya tahu, aku lebih memilih menyekap seseorang seumur hidup daripada harus mencabut nyawanya. Seandainya Haya tahu, aku tidak punya pilihan....

Yeah. Semakin dipikirkan, aku terlihat semakin menyedihkan.

Tidak bermaksud menjustifikasi kesalahan yang kulakukan. Tapi kadang ada orang di dunia ini yang tetap melakukan sesuatu meski dia tahu tindakannya salah. Bukan karena dia tidak tahu mana yang benar atau salah, bisa saja itu memang pilihan hidupnya atau—sepertiku—itulah satu-satunya pilihan yang dia miliki.

Kalau saja kami sedang membahas tindakan orang lain di meja Warung Aa', mungkin aku dapat dengan mantap mengutarakan pikiranku. Tapi dengan keadaan sekacau ini, aku hanya akan terdengar seperti orang yang mencari pembenaran sendiri (memang).

“Lo bisa aja bunuh gue.” Dia melanjutkan ucapannya, “gue ngiranya gue bakal langsung mati tadi. Tapi —”

“Karena baru gue yang tau.” Aku memotong cepat, takut terbawa suasana kalau Haya terus mengoceh, “makanya gue nyuruh lo diem. Apa yang udah sampe di gue, cukup di gue aja. Lo jangan bilang apa-apa lagi ke siapapun.”

Sekali nama lo disebut, gue nggak bisa ngapa-ngapain selain nurut. Lanjutku dalam hati.

“Lo tau sesuatu tentang Panti Asuhan Kasih Abadi?”

Oh, crap.

CKITTT!

Aku menepi. Kepalaku menoleh pada Haya.

“Jangan bunuh gue.” Wajahnya pias.

Tanganku cekatan membuka helm. “Lo tau dari mana?”

“Lo tau?”

“Turun.” Sergahku cepat.

“Nggak.” Dia menggeleng kuat.

“Turun.” Aku kembali memakai helmku. “Gue nggak mau ngomongin ini.”

“Tapi gue—”

“Gue masih sabar.” Niatku menggunakan helm sirna, kepalaku kembali menoleh pada Haya. “Turun. Lari. Sekarang.” Aku menekan setiap kata yang kukeluarkan.

“Gue nggak bakal bilang sama siapa-siapa.”

Oh, yeah. Seolah aku tidak tahu hubungannya dengan Bermuda.

“Gue nggak punya siapa-siapa. Nggak ada yang bisa gue ceritain tentang ini. Gue nanya karena gue emang harus tau.”

Aku menghela napas kasar. “Kenapa?”

“Lo tau panti asuhan ini?”

“Kenapa lo harus tau?”

“Panti itu jual orang?”

Aku melotot.

Tidak. Gawat.

Sepertinya aku terlalu meremehkan Haya dan Bermuda. Bagaimana kalau ini semua—sekali lagi—adalah strategi mereka?

Belum sempat aku menjawab, Haya telah mengeluarkan pertanyaan lain. “Apa konsekuensinya kalo kabur dari sana?”

Oh?

“Lo kenal orang yang kabur dari sana?”

Sejenak, Haya tidak menjawab. Kami sama-sama terdiam.

Jalanan sepi. Bahkan aku tidak melihat motor Bermuda yang awalnya mengikuti kami.

“Gue nanya.”

“Ada 20 orang yang pernah kabur dari panti.” Aku menaruh helmku di atas tangki bensin. “You met one of them? Siapa?”

“Kenapa lo bisa tau?” Aku dapat merasakan Haya memajukan tubuhnya hingga wajahnya nyaris sejajar dengan lenganku. “Lo ngurusin panti juga?”

Aku mengibaskan lenganku—sengaja menyenggol wajahnya agar dia memundurkan tubuhnya. “Kenapa lo pengen tau soal panti?” Seruku kesal.

Haya meringis. “Sakit!”

Mampus.

“Bisa nggak lo jawab gue dulu baru nanya balik?!” Haya berseru kesal. Tangannya mengusap pipi.

Aku mendecak. “Lo duluan yang jawab. Gue juga bakal jawab.”

“Ini cuma di antara kita berdua aja.” Haya memastikan.

Aku mengangguk. Well, informasi yang akan kuterima sebenarnya cukup penting. Panti Asuhan yang dimaksud Haya bukan bagianku—seperti yang sudah diketahui sebelumnya, aku hanya bertugas di bagian keuangan—terutama penagihan utang. Tapi panti asuhan adalah objek penting untuk organisasi kami.

“Informasi apapun yang gue kasih ke lo sekarang... keep di elo aja.” Haya menelan ludahnya. “Kalo sampe nyebar, gue bakal ancurin kantor lo.”

What the fuck?

“Ma—maksudnya,” Haya kelabakan saat melihat aku menoleh dan nyaris turun dari motor, “i—ini beneran di antara kita aja.”

Aku kembali menghadap depan. Mengangguk. “Lo bisa pegang omongan gue.”

Lengang.

Aku menatap wajah Haya dari kaca spion. Sepertinya dia sedang menimbang beberapa hal. Aku tidak berkomentar, sengaja memberinya waktu.

“Bener. Gue tau panti itu jual orang karena...” Suara Haya memecah keheningan di antara kami. “... dikasih tau orang yang pernah kabur dari panti.”

“Siapa?”

“Gue nggak bisa ngasih tau!” Seru Haya cepat. “Gue cuma pengen tau karena...” Dia terdiam, berdeham. “Gue pengen tau apa aja yang udah dia lewatin.”

“Bermuda?” Tembakku tak kalah cepat.

“Gue cuma pengen tau.”

“Lo naksir dia?”

“Gue cuma pengen tau!” Suara Haya meninggi.

“Beneran Bermuda?”

“Katanya lo bakal jawab kalo gue udah jawab?”

Sudah tertebak.

Pasti Bermuda.

Oh, God. Kabur dari panti asuhan bukan hal yang mudah. Tidak heran Bermuda tumbuh seperti itu. Dibutuhkan keberanian sebesar mencabut nyawa orang untuk membebaskan diri dari sana.

Aku menelan ludah. Panti asuhan adalah satu dari banyaknya sumber uang organisasiku yang membuatku tutup mata. Aku tidak mau melihat apapun yang terjadi di sana dan aku harus memaksa agar aku tidak acuh pada makhluk hidup di sana.

Sejarah panti itu kelam. Penuh darah dan kekejaman. Menceritakannya pada Haya hanya akan membuatku membuka mata atas itu semua. Membuka mata atas itu semua artinya aku akan memunggungi organisasiku. Memunggungi organisasiku artinya aku akan mati di langkah pertama.

Aku tidak pernah punya pilihan. Setiap keputusan yang kubuat berujung pada hidup dan mati. Orang waras manapun tidak akan memilih kematian.

Begitupun aku.