Romansa

Hai, aku Naim, pacar Regan.

Pacar.

Pacar.

Hehe.

Aku akan menceritakan tentang pacarku, Regan.

Tapi nanti ya, setelah aku mendengar cerita pacarku hari ini.

Regan sedang merebahkan badannya dengan lenganku sebagai bantal, katanya ini ritual wajib saat ia menginap.

Kami sedang bercerita sambil memandang langit-langit. Ia menceritakan keluh kesah belajar setelah tiga bulan tak belajar sama sekali.

“Padahal dulu aku bisa belajar semaleman, kok ini baru dua jam belajar udah capek ya? entar kalau aku nggak lolos SBM gimana?”

Aku tersenyum. Akhir-akhir ini Regan mulai sedikit manusiawi. Ia mulai tidur kurang dari tengah malam, mulai malas belajar, capek belajar, dan sekarang mulai insecure.

Aku memiringkan tubuhku, menghadap Regan yang sedang memandang langit-langit.

“Kan tesnya masih tiga bulan lagi, apa sih yang dikhawatirin juara umum SMA Neo ini?”

Regan ikut memiringkan tubuhnya, “Banyak. Ini fakultas kedokteran lho, gimana kalau aku nggak lolos?”

Tanganku naik mengusap kepalanya, jemariku bertemu dengan rambutnya yang lembut, “Masih ada ujian mandiri, masih ada tahun depan, nggak ada kata terlambat buat belajar, kan kamu yang bilang gitu pas mutusin buat gap year tahun kemarin?”

Mata Regan mengerjap. Pandangnya menatapku lurus, sepertinya ia sedang memikirkan banyak hal. Sorot matanya persis seperti saat aku bertanya ia mau pesan apa di restoran yang baru kami coba.

“Apa aku milih jurusan lain aja ya? yang persaingannya nggak seketat FK?”

Aku ikut mengerjapkan mataku, “Tapi, Yang—”

“Mana aku liat-liat kayaknya kuliah kedokteran capek banget ya? kamu ujian blok terus, ujian apa tu? os—osce?”

“Enggak juga, Sayang. Tenang aja, psikologi ujiannya sama aja kok sama jurusan lain, UTS-UAS biasa.”

Regan menatapku tak puas, “Tapi ini bukan tentang psikologi.”

Aku menaikkan satu alis, “Kan tadi lagi ngomongin psikologi?”

“Aku lagi ngomongin kamu.” Matanya menatapku khawatir.

Tak lama ia memajukan badannya, tangannya yang kecil melingkar diantara pinggangku.

Hidungnya yang mancung menyentuh bagian dadaku. Rambutnya ikut menyapa, memberikan rasa geli sekaligus nyaman. Tangannya begitu erat mendekap, kakinya juga ikut menelusup di sela-sela kakiku. Regan menyalurkan seluruh energinya, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Aku menahan nafas.

Ia terlalu tak terduga, afeksinya tanpa batas dan aku tak pernah siap.

Aduh, seluruh badanku lemas.

Maaf, tapi kami baru berpacaran dua bulan. Aku belum terbiasa dengan Regan yang clingy. Dulu, ruh-ku seperti terpental keluar saat Regan tiba-tiba memelukku dari belakang. Kadang seluruh wajahku mendadak mati rasa saat bibirnya tiba-tiba mendarat walau hanya sekilas.

Aku tak dapat menahan tulang pipiku yang tiba-tiba naik.

“Kenapa tiba-tiba meluk-meluk gini?” Ucapku sambil mengulum senyum.

Aku membalas peluknya.

Sebenarnya—kalau bisa—aku ingin memeluk Regan sangaaaat erat, kadang aku terlalu gemas dan ingin mendekapnya dalam agar aku bisa melindunginya dari seluruh dunia.

“Kasian, kamu capek ya pasti ujian terus?” Ucapnya.

Aku tertawa, “Semua jurusan juga ujian kali, Yang. Bukan cuma jurusanku doang.”

Regan mendongak, membuatku ikut menunduk menatapnya,

“Terus kenapa? mereka kan bukan pacarku, apa semua orang harus aku kasianin?”

Oh, privilege menjadi pacar Regan.

“Senengnya jadi member VVIP di hidupmu, apalagi nih benefit jadi member VVIP?”

Regan tertawa, “Hmmm... bisa peluk aku dari malem sampai pagi, hmm... terus apa ya...” Wajahnya pura-pura berpikir.

Regan sadar tidak ya kalau mukanya sekarang terlalu menggemaskan sampai aku harus menahan diri agar tidak memeluknya terlalu kuat?

“Oh, gratis diskusi seumur hidup!”

Sekarang aku yang tertawa, tanganku memeluknya erat, “Oke kalau gitu subcription-nya aku perpanjang!”

“Tapi ada pembaruan syarat dan ketentuan!”

Aku kembali tertawa, “Apa tuh?”

“Nggak boleh ngeyel! kalau makan harus selalu abis! wajib makan sayur! hmm terus—”

“Banyak banget?”

“Langsung oke-in aja, siniiii.” Regan memanyunkan bibirnya.

Aduh kalau persetujuannya menggunakan kecup, mau syarat dan ketentuannya sepanjang apapun pasti aku akan setuju.

Aku mengecup sekilas bibir Regan, “Ada lagi nggak yang perlu di-oke-in?”

Regan menggeleng, “Nggak ada.”

Aku memanyunkan bibirku dan menghela nafas kecewa, “Yah, mau cium lagi.”

“Boleh, sini. Ini benefit member VVIP juga, kok.”

Regan memajukan wajahnya, mengecup singkat bibirku.

Malam ini kami terus saling mengecup dan melanjutkan diskusi malam kami hingga Regan tertidur.


Aku menatap Regan yang tertidur pulas. Hembus nafasnya yang halus menyentuh kulit lenganku. Terasa hangat dan dekat.

Dengan hati-hati, aku memiringkan badan, menghadap dan menatap Regan lebih dekat.

Lelaki ini adalah pemilik gravitasi terkuat di alam semesta. Aku menyadarinya sejak dua tahun lalu, saat ia berkata ingin menolong Musa, saat ia dekat lagi dengan Musa. Beberapa teman yang lain sempat kecewa, tapi aku tidak. Aku tetap menemani Regan, mengorbit di sekitarnya tanpa peduli bagaimana hubungannya dengan Musa (peduli sih, kadang jealous dikit, tapi gimana lagi?).

Rasanya masih tak percaya lelaki seindah ini adalah pacarku. Kalian liat bibirnya yang mungil, hidungnya yang mancung dan garis wajah yang lembut. Pantas Hiro dan Musa ketar-ketir saat bertemu Regan, lelaki ini terlalu sempurna untuk dilewatkan (belum lagi caranya memandang dunia sebagai ladang ilmu yang harus terus digali, aduh makin sayang).

Aku bangga dengan Regan.

Aku bangga dengan juara umum SMA Neo yang memilih untuk mengambil rehat untuk ikut terapi bersama Mamanya.

Aku bangga menjadi saksi perjuangannya untuk menerima masa lalu.

Aku bangga menjadi tangan yang ia genggam saat kakinya mulai goyah.

Aku juga bangga dengan diriku sendiri.

Aku bangga pada setiap keputusan yang telah kuambil, untuk Regan.

Sejak melihat celah diantara hubungan Regan dan Musa, tak pernah sekalipun aku berhenti menghitung peluang.

Aku terjebak diantara dua strategi, Loot in a burning house atau Watch the fires burning across the river.

Kalian akan pilih mana? menyerang musuh saat api berkobar, atau menunggu mereka terbakar?

Atau lebih sederhana lagi, aku harus mendekati Regan saat hubungannya rapuh, atau menunggu hubungan rentan itu hancur berantakan?

Tentu kalian sudah tau pilihan apa yang kuambil. Yep, akhirnya aku memasuki hubungan yang sudah rentan itu, menyiram minyak di atasnya—Musa mungkin akan marah atau melindasku dengan motor jika tau Mama memberi Regan penawaran dan aku yang menghasut Regan untuk menerimanya.

Tapi siapa yang peduli? sekarang Regan ada di pelukanku. Toh, kadar kasihku untuk Regan juga tinggi. Tak pernah sekalipun Regan menangis selama menjalin hubungan denganku dan oh—yang terpenting—Regan duluan yang memintaku menjadi pacarnya.

Sesuatu yang mungkin mengejutkan. Aku pun terkejut saat tiba-tiba Regan berada di depan kamar kosku lalu terdiam lima belas detik. Detik ke enam belas ia berkata, Naim, lo... sayang sama gue?, tentu aku mengangguk dengan ragu, detik berikutnya—ehem, aku tak akan melupakan kalimat ini,

Maaf karena baru sadar tentang perasaan lo. Maaf gue selama ini cuma bisa nyakitin... mulai sekarang gue janji nggak akan nyakitin lo lagi...

Naim... mau nggak... jadi pacar gue?

Aku masih ingat jelas bagaimana rasanya saat kalimat itu memasuki kedua telingaku lalu terus bergerak hingga diproses di kepala. Tak lama setelahnya, aku mendengar suara kembang api dan tubuhku seperti melayang di ruang angkasa. Rasanya tak nyata namun keberadaan Regan di depanku membuat imaji fana dan realita saling mengambil takhta.

Hebatnya, itu semua nyata.

Banyak ragu merasuki kepalaku namun aku menepisnya. Hiro dengan lantang mengatakan aku adalah pelampiasan tapi aku menamparnya (benar-benar menampar).

Aku bisa melihatnya. Regan menyayangiku, walau mungkin tak lebih besar dari rasaku (rasaku hanya bisa diadu dengan Mama).

Lamunanku mulai buyar saat merasa ada yang bergerak di tanganku.

Lenganku mendadak terasa geli, Regan mengerjapkan matanya, membuat bulu matanya mengusap lembut kulitku.

“Kebangun?” Tanyaku.

Ia mengangguk pelan, “Kamu belum tidur?” Matanya menyipit, belum siap menerima cahaya lampu kamar yang masih terang.

“Belum ngantuk.”

“Tidur dong, Yang. Nggak capek apa abis ngerjain UB 100 soal?”

Aku terkejut saat Regan mengangkat kepalanya dari lenganku dan memilih untuk merebah di bantal. Tangannya kemudian merentang, “Sini.”

Aku tersenyum, merasa penuh buncah, ada kembang api meledak di jantungku.

Aku membenamkan wajahku dalam dekap Regan, memeluk tubuh kecilnya dan mengistirahatkan lelahku hari ini.

Regan mengusap rambutku perlahan, memberi sensasi tenang di kepalaku, menghilangkan seluruh cemas dan ragu (inilah sebabnya kita harus rajin menyisir rambut, gerakan memijit di kepala dapat melancarkan peredaran darah di kulit kepala).

Aroma tubuh Regan memasuki penciumanku. Manis—cenderung musky—dan sedikit aroma segar yang menenangkan. Kalau ini bukan sekadar karena lancarnya peredaran darah, ketenangan ini datang karena aku memeluk pacarku tersayang.