Ruang Bawah Tanah

POV: Bermuda

“Jadi, lo beneran HOKU?

Mungkin aku sudah menanyakan pertanyaan itu berkali-kali. Tapi berapa kalipun aku bertanya, aku selalu ingin memastikan lagi dan lagi.

Apa benar Haya adalah HOKU?

Haya tidak menjawab. Dia terus memasuki rumahnya hingga memasuki sebuah gudang di ujung kontrakan. Aku memasuki gudang itu dan terkejut saat Haya tiba-tiba menyingkirkan beberapa kardus lalu terlihat pegangan hitam di atas lantai kayu yang kami pijak.

Saat pintu itu dibuka, aku menyadari ada sesuatu di bawah lantai ini.

Ruang bawah tanah.

Sebuah tangga terlihat berdiri tegak dari pintu hingga lantai ruang bawah tanah. Tangga besi yang sebenarnya—menurutku—sudah agak usang dan lebih baik diganti.

Ruang bawah tanah ini berbentuk studio sederhana. Anehnya, ruangan ini terasa sangat dingin. Ada dua tirai di masing-masin ujung ruangan yang sepertinya menjadi sekat di sini. Mataku menelisik setiap sudut dan semua hal yang dapat kusisir.

Meja, kursi, dua layar komputer, sebuah kotak hitam besar dengan lampu warna-warni yang aku tidak tahu apa namanya; semuanya terletak di dekat tirai yang berdekatan dengan tangga. Satu meja lagi yang tidak diisi dengan perabot apapun, di dekat tirai lain yang—omong-omong, sangat berantakan. Lantai berdebu. Tirai menguning. Sampah makanan instan.

Setelah melihat semua ini, aku mulai yakin Haya adalah HOKU.

Walau aku merasa tidak sedekat itu dengan HOKU, tapi aku mengingat beberapa hal yang pernah disampaikannya saat kami sedang menjalankan misi. Dia menyukai onigiri tuna dan minuman energi yang kalengnya berwarna hijau. Dua sampah itu terlihat di antara beberapa sampah di atas mejanya yang kosong.

Memang, sih. HOKU tidak pernah menegaskan jenis kelaminnya, tapi kalau dilihat dari suaranya yang tinggi dan nada bicaranya yang dibuat terlihat manja dan menyebalkan, aku 100% yakin dia adalah perempuan—aku bukannya menghakimi semua perempuan memiliki ciri khas suara tinggi dan nada bicara menyebalkan, tapi siapapun yang mendengar suara HOKU pasti juga akan berpikir jenis kelaminnya perempuan.

“Nih, gue tunjukkin history transaksi kita, ya!” Seruan Haya mengagetkanku. Dia sedang duduk di depan komputernya, tangannya menggeser layar komputernya untuk dihadapkan padaku.

Dia menjelaskan satu per satu rincian transaksi yang kami lakukan bersama selama dua tahun belakangan.

Aku menghela napas pelan. Haya benar-benar HOKU.

Mataku tertuju pada bekas merah yang masih tercetak di lehernya.

Gawat.

Aku nyaris membunuh HOKU.

Tapi aku punya alasan melakukannya.

Hanya 3 orang yang mengetahui identitasku sebagai RED. Aku sendiri, Fuji, dan HOKU. Aku yakin Fuji dan HOKU tidak akan menyebarkan ke orang di sekitarnya tentangku—toh untuk apa juga. Jadi saat Haya tiba-tiba menebak bahwa aku RED, aku kalang kabut.

Bagaimana tidak? Coba bayangkan orang seperti Haya yang culun, pengecut, manja, merepotkan, banyak permintaan, dan terlihat lusuh; tiba-tiba mengetahui bahwa aku RED? Ada banyak pertanyaan yang berdesakan di kepalaku hingga aku merasa bahwa menggunakan kekerasan jauh lebih mudah—semua manusia akan jujur saat dihadapkan dengan kematian.

Dan aku lebih terkejut lagi ternyata mahasiswa culun, pengecut, manja, merepotkan, banyak permintaan, dan terlihat lusuh ini adalah HOKU. Setidaknya aku membayangkan HOKU sebagai perempuan bersih, cerdas, mandiri, memiliki highlight rambut warna terang dan selalu menjaga kebersihan rambutnya.

“Lo percaya 'kan? Gue HOKU!”

Seruan Haya membuyarkan lamunanku.

“Maaf.” Jawabku cepat. Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan alasanku tidak mempercayainya. “Lo nggak keliatan kayak HOKU.”

“Oh masa?” Salah satu ujung bibirnya naik, kepalanya dimiringkan. Entah mengapa aku merasa dia berubah total sejak memasuki kontrakan ini. Beberapa menit yang lalu dia masih terlihat seperti Haya, sekarang dia benar-benar seperti HOKU—menyebalkan. Dia memutar kursinya ke arahku, tangannya disilangkan di depan dada, “emang HOKU di pikiran lo kayak apa?”

Aku ingin menjelaskan bahwa HOKU di pikiranku adalah sosok menyebalkan sekaligus cerdas. Tapi aku tahu dia akan tersinggung jika aku mengatakan wajahnya terlihat bodoh (mungkin dia akan marah karena aku paham betul HOKU mudah tersinggung soal kecerdasan). Jadi dengan pertimbangan singkat, aku menjawab, “gue kira HOKU cewek.”

“Gue emang malsuin suara gue, sih.” Dia mengangguk perlahan, wajahnya mendongak menatapku. “Gue juga nggak nyangka elo RED. Lo nggak keliatan kayak RED.

Aku tidak menanggapinya. Lagipula aku sudah tahu aku tidak terlihat seperti RED karena aku memang merubah penampilan dan sikapku saat berada di depan Haya. Kini aku lebih memilih berjalan mengitari ruangannya, melihat-lihat.

Mataku sempat menangkap tumpukan kardus di balik salah satu tirai yang terletak di ujung ruangan. Sedang dari sela-sela tirai di ujung lain aku melihat kasur dan tempat—

“Gue mau tanya.”

Aku segera menoleh.

Haya masih duduk di kursinya, kakinya yang satu disilangkan pada kaki yang lain. “Kenapa lo deketin gue? RED nggak kelihatan kayak orang yang milih sembarang orang buat dideketin.”

Untuk beberapa saat, aku terdiam. Sebenarnya, aku cukup mempercayai HOKU untuk menceritakan tentang Sejati. Tapi orang yang duduk di depanku adalah Haya—aku masih menganggapnya Haya. Terlebih, dulu aku sengaja mendekatinya karena ingin menggunakan-nya, dia berhak marah dan tersinggung dengan jawabanku dan aku tidak siap menghadapinya.

Tapi menyembunyikan alasanku dari HOKU hanya akan menambah masalah baru.

“Karena lo deket sama Sejati.” Aku menyandarkan tubuhku di pinggiran meja. “Gue butuh informasi tentang dia.”

Ujung tangan dan kakiku mulai terasa dingin. Aku heran bagaimana Haya bisa bertahan di tempat ini. Ruang bawah tanahnya benar-benar bersuhu rendah. Di suhu ruangan sedingin ini, rasa siagaku berkurang. Kulitku akan sulit merasakan kehadiran orang lain.

“Kenapa?” Haya menatapku lurus.

Mataku balas menatap Haya lurus-lurus.

Mencurigakan.

Haya tidak tampak terkejut. Seolah dia sudah tahu Sejati yang aku maksud adalah Sejati dosennya. Aku mengamati wajahnya yang tiba-tiba lebih mengeras dari sebelumnya.

Akhirnya aku menjelaskan secara singkat tentang Sejati. Tentang aku yang mengambil salah satu isi paket yang seharusnya kukirimkan.

“Lo ambil?!” Haya menegakkan duduknya. “Lo tau lo nggak boleh buka paket apapun yang lo kirim!” Telunjuknya menghardikku.

“Gue sampe dicegat preman waktu itu. Seenggaknya gue harus tau apa isi paketnya!” Aku mengernyitkan dahiku, “bukannya udah jadi perjanjian gue harus tau apa yang gue kirim?”

Haya tidak menjawab tapi masih terlihat jelas sisa raut tersinggung di wajahnya.

Aku berdeham sebelum kembali menjelaskan bahwa satu-satunya yang kuinginkan adalah mencairkan cek itu. Aku ingin mengambil uangnya. Hanya sampai situ, aku menekankan tujuanku adalah cek milik Sejati.

Haya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Dia tidak terlihat kesal karena aku sudah menggunakan-nya. Namun raut wajahnya menunjukkan ada beberapa hal yang mengganjal di kepalanya. Dia menggigiti ujung kukunya. “Cuma karena lo butuh duit?”

Aku mengangguk.

Dia menghela napas. Tangannya menyisir rambut ke belakang. “Kenapa mau lo ambil? Itu bukan duit lo.”

“Bukan duit mereka juga.” Sergahku cepat.

Alisnya naik satu. “Maksudnya?”

“Itu duit orang lain yang mereka sembunyiin.”

Dirty money?

Gawat. Aku tidak tahu artinya. Kalau tidak salah money artinya uang, kalau dirty mungkin—

“Dana gelap?”

Sepertinya Haya berhasil membaca raut wajah bingungku. Aku segera mengangguk saat mendengar istilah itu. Kemarin Fuji sempat menyinggung sesuatu tentang penggelapan dana. “Lo tau sesuatu?” Tanyaku, mengingat misi terakhir kami adalah mencari tahu tentang kampus kami. Kalau Fuji dapat mengendus penggelapan dana ini hanya dengan membaca laporan keuangan, seharusnya HOKU juga sudah mengetahuinya.

“Nggak. Sama sekali nggak.” Dia menggeleng mantab. “Lo tau gue nggak akan sekongkol sama organisasi kayak gitu, apalagi kalo buat gelapin dana.”

Kemudian dia menatapku dengan alis saling bertaut. “Btw, lo tau dari mana?”

Aku menelan ludahku. Haya mungkin akan mengomel lagi kalau aku mengatakan bahwa aku telah menyalin paket yang seharusnya hanya kuantar. “Gosip.” Jawabku akhirnya.

“Tapi Pak Jati nggak pernah keliatan mencurigakan.” Haya tampak menyipitkan matanya—seperti sedang berpikir keras. “Dia sibuk kayak dosen biasanya. Menurut gue dia nggak ada hubungannya misal beneran ada penggelapan dana di kampus.”

“Gue udah bilang, 'kan,” aku berjalan ke arahnya. “Cek yang ada di gue itu atas nama dia. Gimana bisa dia nggak ada hubungannya?”

Haya tidak menjawab.

Dan semakin langkahku mendekat, aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang sepertinya terus terlewat dari pengawasanku. Mungkin sesuatu ini yang membuat Haya terlihat biasa saja saat tahu aku hanya menggunakannya.

“Gue emang deketin lo duluan.” Ujarku saat aku sudah kembali berdiri di dekatnya, ia mendongak dari tempatnya duduk. “Tapi lo yang duluan ngajak gue pacaran.” Aku menyandarkan tubuhku di ujung mejanya. “Kenapa? HOKU yang gue kenal nggak bakal ngajak sembarang orang buat pacaran.”

Yak.

Aku yakin ada sesuatu. Apalagi setelah melihat ujung bibir Haya yang tertarik. Raut tengilnya kembali menyapaku.

Dia terkekeh. “Kalo begini lo jadi lebih mirip RED.

“Kenapa?”

“Curigaan.” Jawabnya cepat. Dia memutar kursinya untuk menghadapku. “Sebenernya gue punya alesan yang sama kayak lo.”

Nah, kan.

“Target gue Danaraja.”

Tubuhku membeku.

Danaraja?

“Pak Danar?” Meskipun satu-satunya Danaraja yang kukenal adalah dosenku. Tapi aku perlu memastikan apakah telingaku tidak salah dengar.

“Iya.” Dia mengangguk yakin.

Sebuah rasa geli mengerling di perutku. Jadi aku dan Haya hanya menggunakan hubungan ini untuk kepentingan masing-masing?

Aku menutup mulutku yang nyaris tertawa. “Kenapa?”

“Gue ada urusan sama dia.” Haya mengendikkan bahunya. “Gue pengen cari tau dia sebenernya siapa.”

Ucapan Haya terdengar aneh. Untuk apa dia memastikan identitas Danaraja?

Lagipula, pasti mudah bagi HOKU untuk mencari tahu identitas dosen biasa seperti Danaraja. “Emang dia siapa?”

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Haya balik bertanya. “Seberapa kenal lo sama dia?”

Aku menggeleng. “Gue juga nggak kenal sama dia. Tujuan gue cuma Sejati.”

Mata Haya tiba-tiba berhenti tepat di mataku. Aku mengernyit. Dia menatapku cukup lama tanpa berkata apa-apa. Tatapannya mengingatkanku pada tatapan Fuji saat dia sedang membuat keputusan dalam diam.

Untuk beberapa saat, aku hanya dapat mendengar suara mesin dari kotak hitam besar dengan lampu warna-warni yang ada di balik meja.

“Lo inget waktu kita makan bareng Maru?”

Aku mengangguk. “Iya.”

“Itu gue lagi ngikutin Danaraja. Dia masuk ke hotel tempat kita nggak sengaja ketemu waktu itu.”

Ya ampun.

“Lo yakin?” Aku memastikan sekali lagi.

Haya mengangguk.

“Gue juga lagi ngikutin Sejati waktu itu.” Jawabku spontan. Aku menegakkan tubuhku. Kini jantungku berdebar keras. “Mereka ketemuan?”

Ada sesuatu yang mencurigakan.

Aku mengincar Sejati dan menemukan fakta bahwa terdapat sesuatu yang mencurigakan di kampus kami. Sebagai RED, aku juga mengingat bahwa kampus kami menjadi target klienku dan HOKU. Dan Haya, alias si HOKU, mengincar Danaraja—yang juga bekerja di kampus kami.

Aku tahu, pasti ada sesuatu di kampus ini.

Mataku menatap Haya antusias.

Dan aku tahu, aku dan Haya ada di pihak yang sama.