Ruang Dosen

POV: Bermuda

Ternyata memasuki ruang dosen jauh lebih mudah dan lebih sulit dari yang kubayangkan.

Pertama, ruang dosen jurusan Teknik Informatika terletak di lantai 2 gedung perpustakaan. Kabar baiknya, semua orang bebas memasuki gedung perpustakaan. Kedua, ruang dosen sedang sepi karena sekarang sudah lewat 15 menit sejak jam makan siang.

Masalahnya, aku tidak tau yang mana meja si Sejati. Ada sekitar lima belas kubikal di ruangan luas ini. Semua meja terlihat nyaris sama. Hanya penataan meja dan hiasan-hiasan di atas meja yang berbeda.

Apa aku harus mengecek satu per satu?

Mataku melirik jam tangan. Masih ada 60 menit sebelum kelas setelah makan siang dimulai. Jika semua dosen kembali ke ruangan 15 menit sebelum kelas, aku masih memiliki 45 menit.

Masih ada cukup waktu.

Hal pertama yang kulakukan adalah melirik langit-langit dan sudut ruangan.

Anehnya (dan syukurnya), tidak ada kamera pengawas di ruangan ini.

Aman.

Aku menelisik setiap meja. Meja sebelah kanan didominasi warna merah muda, dilihat dari yang kuketahui tentang Sejati sampai saat ini, ia lebih menyukai warna gelap. Bukan.

Aku menoleh ke meja sebelah kiri. Terdapat tas berukuran sedang yang diletakkan di atas meja. Aku menajamkan mataku dan melihat lapisan mirip aluminium di dalam tas. Yak, tas bekal. Melihat dari gaya hidupnya, aku yakin Sejati tidak akan membawa bekal makan siang. Bukan.

Kakiku terus melangkah. Mataku kembali mengamati meja di kanan-kiri.

Foto keluarga di atas meja. Tidak ada wajah Sejati. Bukan.

Beberapa meja lebih mudah diamati karena terdapat nama dosen di atas meja—bukan papan nama tentunya, tapi aku bisa melihat tumpukan berkas di sana.

Tersisa empat kubikal lagi. Mungkin aku harus melihat di tempat paling ujung—

Yak.

Mataku segera tertarik pada jas hitam yang disampirkan di sandaran kursi. Sejati pernah mengenakan jas ini. Artinya, hari ini dia ada di area kampus. Aku tersenyum puas.

Ini pasti meja milik Sejati.

Cepat-cepat aku memasuki ruang kubikalnya.

Uh-Oh.

Mejanya bersih.

Jangan dikira aku akan menyerah. Masih ada kemungkinan lain. Di laci atau di kolong meja. Aku akan mencari dimanapun untuk mengetahui informasi milik Sejati.

Ada banyak hal yang harus aku tau tentang Sejati. Pertama, aku harus tau identitas dirinya. Mungkin bisa melalui kartu identitas yang tergeletak di laci atau di dalam saku jasnya—sial, tidak ada apa-apa.

Kedua, mungkin aku bisa mencari tau tentang hubungan Sejati dan Perusahaan NEON yang memberinya cek 8,9M. Mungkin nama perusahaan itu ada di salah satu berkasnya yang menumpuk di kolong meja ini. Mungkin aku bisa—

Tunggu.

Aku merasakan kehadiran sosok lain di belakangku. Punggungku rasanya tidak nyaman. Tubuhku masih di dekat kolong meja, tanganku juga masih di tumpukan berkas.

Baiklah. Ruangan masih sepi. Aku masih memiliki 20 menit sebelum ruangan kembali ramai oleh para dosen.

Bagusnya, aku hanya bertumpu pada satu lututku. Aku bisa bangun kapanpun dan berbalik untuk menyerang siapapun di belakangku. Terlebih sekarang aku hanya mengenakan jaket jeans dengan dalaman kaos 1 helai. Tanganku dapat dengan mudah meraih pisau lipat yang selalu kuselipkan di ikat pinggang.

Jika orang ini ada tepat di belakangku, berarti aku harus segera bangkit dan berbalik. Mungkin aku harus geser beberapa senti untuk jaga-jaga bila ternyata ia menyerangku.

Sedetik kemudian, aku sudah berdiri. Sambil berbalik, tanganku menyentuh pisau lipat di pinggangku, siap menariknya—

Lho?

“Lo siapa?”

Mahasiswa itu.

Aku segera melepas pisau lipatku, kembali menyelipkannya di ikat pinggang.

Wajah di depanku tidak asing. Dia adalah mahasiswa yang sering diajak bicara oleh Sejati. Mungkin kaki tangan? Mungkin orang terdekat? Mungkin tangan kanan?

“Gue liat tadi lo nyari sesuatu di bawah sini.” Dia menunjuk kolong meja dengan matanya—yang omong-omong, sangat dingin. “Lo ada perlu apa? Ini meja dosen gue, dia tadi lagi makan siang sama gue.”

Sial.

Ternyata dia sudah melihatku dari tadi. Terus kenapa dia hanya diam?

“Lo jurusan apa?” Dia memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki, “culun banget. Maba ya?”

Siaaaaaal.

Aku nyaris mendecak.

Culun?

Berhubung dia sudah menyebut culun. Aku akan jujur. Dia lebih pantas mendapat sebutan culun daripada aku. Lihat rambut kusutnya yang sudah mencapai telinga. Kantung mata hitam dan tebal. Celana jeans longgar yang nyaris menyapu tanah, kaos hitam yang warnanya sudah pudar, tas punggung yang sudah robek dan sepatu converse hitam putih yang warna putihnya sudah berganti coklat dan diinjak bagian belakang.

Ralat, dia terlihat culun, miskin, dan pemalas.

Mendadak mahasiswa culun, miskin, dan pemalas ini menyipitkan matanya padaku. Tangannya segera menyilang di depan dada, “lo yang kemarin ngefoto gue pake flash itu kan?”

Uh-Oh.

Aku lupa aku pernah tertangkap basah olehnya.

“Jangan masang tampang blo'on gitu!” Dia maju selangkah—membuatku ikut mundur.

Sial.

Nasibku sial.

Aku tidak bisa langsung membunuh atau mengancamnya untuk tutup mulut. Mataku mengerjap beberapa kali.

Oke, tenang.

Aku sudah sering berada di situasi mendesak. Aku sudah biasa memilih jalan pintas yang paling aman. Menghadapi anak ingusan seperti orang ini tentunya tidak seberapa.

Tiga per empat detik kemudian, aku mulai terpikirkan sebuah ide gila.

Aku bisa memanfaatkan mahasiswa culun, miskin, dan pemalas ini. Dia dekat dengan Sejati, aku bisa menggunakannya untuk mendapat informasi. Bahkan bisa saja aku ikut mendekati Sejati.

Aku hanya perlu berada di dekatnya untuk menjangkau Sejati.

“Gue...” Suara dehaman dari leherku mulai terdengar, rasanya terlalu berat mengucapkan apa yang kupikirkan, “gue lagi nyari HP. Tadi jatuh di sekitar sini.”

Seperti dugaanku, mahasiswa culun ini langsung mengernyitkan dahinya.

Cepat-cepat aku menambahkan, “tadi gue disuruh nganterin tugas temen di mejanya Pak Endro.” Aku menyebut asal nama salah satu dosen yang sempat kulihat di meja sebelumnya. “Bisa tolong telfonin HP gue?”

Dia semakin mengernyit.

“Tolong banget, bentar lagi gue ada kelas, gawat kalo HP gue ilang.” Aku memasang wajah sememelas mungkin. Sungguh bualan yang sangat tidak masuk akal.

Tidak ada respon dari mulutnya namun tangannya bergerak merogoh saku celananya. “Sebutin nomornya.”

Cih. Ternyata dia bukan hanya culun, miskin, dan pemalas. Dia juga bodoh.

Aku segera menyebutkan nomorku.

Dia melirikku tajam. “Abis ini lo harus jelasin kenapa lo ngefoto gue sembarangan kayak kem—”

Suara nada dering ponselku terdengar dari dalam tas. Aku berpura-pura terkejut lalu mengambil ponselku.

“Itu ada di tas lo!” Dia menunjuk ranselku dengan tidak sabar. “Lo bohongin gue ya? Awas aja gue lapor—”

“Iya.” Jawabku cepat—sebelum dia mengomel lebih panjang, “gue cuma pengen minta nomor lo aja.”

Dia terdiam. Bahkan tangannya yang menunjukku ikut mematung.

“Maaf gue keliatan nggak sopan, kemarin gue cuma pengen dapet foto lo karena lo keliatan...” Aku menelan ludahku, bahkan sepertinya mulutku terlalu sulit berbohong untuk hal yang satu ini, “lo keliatan cakep banget.” Seluruh rongga mulutku terasa kebas.

“Gue Erde. Anak baru.” Aku melanjutkan ucapanku, tanganku segera menjabat tangannya yang masih menunjukku. “Kalo lo siapa?” Kupaksakan wajahku terlihat seramah mungkin.

Dia masih tidak menjawab. Wajahnya terlihat tiga kali lipat lebih bodoh dari sebelumnya.

“Nama lo siapa?” Aku mengulangi pertanyaanku.

Masih tidak ada jawaban.

Dasar bolot.

Aku masih memaksakan senyumku. Ruangan dengan pendingin ini mendadak terasa lebih panas, aku ingin melempar tinjuku pada wajah mahasiswa bolot ini agar dia cepat menjawab ucapanku dan aku bisa cepat-cepat kabur dari ruangan ini.

“Nama lo...?” Aku mengulangi sekali lagi pertanyaanku.

“Ha...”

“Ha...?”

“Haya.”

Aku mengangguk. “Oke, Haya, makasih ya.” Cepat-cepat aku melepas jabat tangan kami.

“Tadi lo bilang...” Haya masih tampak terkejut. “Katanya lo mau nganterin... Pak Endro...”

Uh-Oh. Aku paham.

“Oh. Iya. Gue nanya temen gue tentang lo dan dia bilang gue harus ngumpulin tugasnya dulu di meja Pak Endro baru dia bakal kasih tau nama lo.” Aku nyaris menggigit lidahku karena tempo ucapanku yang mendadak menjadi lebih cepat dari biasanya. Jantungku berdebar. Aku tidak biasa berbohong sepanjang ini.

“Nama temen lo—”

“Gue duluan ya. Ada kelas.” Buru-buru aku berjalan melewati Haya—mumpung tampangnya masih bolot. Aku takut dia akan segera sadar dan melempar banyak pertanyaan.

Kakiku melangkah cepat.

“Haya, entar bales chat gue ya!” Seruku dari jauh dengan senyum lebar—menyembunyikan rasa gugupku karena melihat sosok Sejati muncul dari pintu ruang dosen.