Rumah (Kontrakan)

POV: HIMALAYA.

Saat melihat Erde menungguku di lobby, ada satu tanda tanya yang terus berdenging di kepalaku.

Apa Erde bisa dipercaya?

Ketika membicarakan tentang kepercayaan, pengkhianatan akan selalu mengikuti.

Menurut penelitian, manusia memiliki risiko 90% untuk melakukan pengkhianatan yang menguntungkan diri sendiri, terutama saat dia yakin tidak akan ketahuan.

Dalam sebuah artikel terkenal dari sekolah bisnis tersohor, tingkat kepercayaan seseorang tergantung pada situasi. Mana keuntungan yang ingin didapatkan? Jangka pendek atau jangka panjang?

Seseorang yang ingin mendapatkan keuntungan jangka pendek biasanya akan cenderung melakukan pengkhianatan.

Keuntungan jangka pendek apa yang bisa didapatkan Erde dari orang sepertiku?

Yep. Tidak ada.

Aku adalah manusia paling biasa yang ada di kampus kami. Dengan tampang menjanjikan seperti Erde, dia bisa mendapatkan sesama anak hukum atau bergeser ke anak bisnis yang tajir melintir.

Kecuali Erde tau aset digital yang kumiliki. Tapi tidak mungkin. Menelusuri kepemilikan aset digital sama susahnya dengan mencari akar kesalahan pengkodean saat melakukan pemograman.

Aku juga tidak populer. Benar-benar tidak ada keuntungan yang bisa didapatkan Erde dariku.

Dan membicarakan tentang keuntungan, aku sepenuhnya menyadari aku adalah pihak yang mengambil keuntungan dari Erde.

Jadi, apa Erde bisa dipercaya?

Yep. Mungkin bisa.

Mungkin ini yang membuatku gusar sejak kemarin. Erde adalah orang yang bisa kupercaya namun aku memanfaatkannya. Mungkin debaran jantung dan semua rasa gugup yang kurasakan adalah wujud dari rasa bersalahku.

Mungkin, setidaknya, untuk mengurangi rasa bersalahku, aku harus memandang Erde sebagai pacarku.

Mungkin seharusnya aku memperlakukan Erde dengan lebih baik—seperti hasil pencarianku tentang perfet boyfriend tadi malam.

“Erde.” Panggilku saat kami masih dalam perjalanan di atas motor, aku memajukan wajahku agar lebih dekat padanya.

“Iya, Kak?” Suaranya teredam karena helm yang digunakan.

Aku menelan ludah. Jantungku berdebar keras ketika hidungku dapat mencium aroma manis vanilla dan segarnya pepohonan dari tubuh Erd—tunggu, kenapa aku jadi membahas aroma tubuh Erde?

Jantungku berdebar karena aku akan mengucapkan hal yang—mungkin—akan terdengar tidak masuk akal.

“Sampe kapan lo mau manggil gue kak?”

Tidak ada jawaban.

Aku sudah berniat memberi penjelasan panjang (dan masuk akal) untuk menerangkan kenapa ia harus mengganti panggilan itu namun Erde lebih dulu menjawab, “maksudnya? Emang lo mau dipanggil gimana, Kak?”

“Ya, namanya juga orang pacaran.” Jantungku semakin berdebar kencang, aku mengkahwatirkan aliran darahku yang mengalir cepat, “harusnya kita manggil pake panggilan khusus gitu nggak, sih?”

Lagi-lagi tidak ada jawaban.

Tiga puluh detik kemudian, aku menyadari kami sudah nyaris sampai di rumah kontrakanku.

Aku turun dari motor. Melepas helm lalu menyerahkannya pada Erde. Mungkin sebaiknya aku—

“Kalo sayang gimana, Kak?”

Mataku membulat. Gerakan tanganku terhenti.

Apa?

“Kalo gue manggil lo pake sayang gimana?” Sepertinya Erde menganggap diamku tadi karena aku tidak mendengar ucapannya, “kalo lo keberatan kita bisa ganti—”

“Fine.” Jawabku cepat, mengangguk setuju, “boleh. Berarti gue juga bisa manggil lo sayang, nih?”

Erde yang telah membuka helmnya, balas memberi anggukan, tersenyum. “Kayaknya gue bakal agak canggung. Nggak langsung manggil sayang nggak apa-apa 'kan?”

Aku mengangguk cepat—sepertinya aku juga akan kesulitan membiasakan diri. “Kita mulai pelan-pelan aja.”

Kemudian Erde pamit.

“Eh!” Sebuah panggilan terdengar. Dan aku terkejut karena suara itu berasal dari mulutku.

Ups. Tiba-tiba aku ingin mengajak Erde berbicara lebih lama.

Maksudnya—wajar 'kan aku ingin berbincang lebih lama dengannya? Aku ingin membiasakan diri untuk memanggilnya sayang, untuk membiasakan diri ini kami harus sering berlatih, yang artinya kami harus sering menghabiskan waktu berdua untuk membicarakan apa saja. Ya 'kan?

Gerakan Erde terhenti, dia menoleh, “kenapa...” Dia terdiam sejenak, “... Sayang?”

Shit.

“Mau mampir dulu nggak?”

Jujur, hanya kalimat itu yang sempat terlewat di kepalaku. Tentu aku bisa saja mengajaknya jalan-jalan atau pergi ke suatu tempat, tapi aku merasa hal terwajar yang bisa kami lakukan sebagai pacar untuk saat ini—karena kami sedang berdiri tepat di depan rumahku—adalah melanjutkan pembicaraan di dalam rumah.

Lalu saat kami sudah di dalam rumah. Aku menyadari sesuatu.

Aku tidak mengenal pacarku sendiri.

Aku tidak tau harus mengambilkan minum apa untuk Erde. Aku tidak tau camilan apa yang harus aku siapkan. Aku tidak tau harus memulai pembicaraan dengan membicarakan apa. Aku tidak tau apa-apa tentang Erde.

Rasa bersalahku semakin membesar.

Aku baru menyadari selama ini kami tidak pernah membicarakan tentang diri kami sendiri. Erde hanya menanyakan kesibukanku dan aku hanya menanyakan tentang dosennya—Danaraja. Erde juga hanya membelikan makanan favoritku dan aku sama sekali tidak pernah menanyakan makanan favoritnya.

“Kenapa?”

Lamunanku tersadar saat Erde yang sedang duduk di sampingku tiba-tiba memundurkan tubuhnya—mungkin merasa tidak nyaman (atau salting?) karena aku terus-terusan menatapnya.

Anehnya, sedari tadi Erde hanya duduk santai. Matanya tidak berkeliling untuk melihat-lihat interior ruang tamu yang langsung tersambung dengan dapur. Dia hanya duduk diam.

“Lo mau minum sesuatu nggak? Gue punya air putih, soda, kopi, teh, susu. Lo mau minum apa?”

“Air putih aja.” Dia tersenyum. Aku segera beranjak menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil dua botol air putih dingin.

Saat aku kembali, Erde sedang memainkan ponselnya yang berdering beberapa kali.

“Kenapa? Dicariin?” Aku menaruh dua botol air di meja.

Erde menggeleng, “adek gue.”

Oh?

Erde punya adik? That's new.

Tangan Erde mengambil salah satu botol lalu membukanya. Saat aku hendak mengambil botol yang lain... yaampun.... aku hanya bisa diam saat Erde memberikan botol yang segelnya telah dibuka padaku.

Kenapa?

Sebelum aku sempat menanyakan apapun, Erde telah mengambil botol yang lain. Ia membuka dan langsung meminumnya.

Aku baru menyadari beberapa hal. Erde sering melakukan hal-hal seperti ini. Membukakan saos, mengambilkan sendok, membuka kertas pembungkus sedotan, memberikan minuman yang tutupnya sudah tidak disegel.

Dan belum sempat aku bersuara apapun, Erde sudah lebih dulu bertanya, “lo pernah ke Jepang?”

Dua alisku naik, “maksudnya?”

Erde menunjuk sesuatu di belakangku dengan dagunya, “itu ada tempelan Jepang di kulkas lo.”

Kepalaku menoleh, mengikuti arah pandang Erde. Oh My God. Bagaimana bisa Erde melihat magnet kulkas sejauh itu? Bukankah dari tadi ia hanya diam saja bermain HP? Atau jangan-jangan Erde memperhatikanku saat aku berjalan mengambil botol?

“Itu beli di olshop.” Jawabku dengan sedikit kekehan ringan.

Erde hanya memberikan senyuman—yang cukup manis—lalu menanyakan kesibukanku hari ini.

Aku menjawab seadanya, ditambah sedikit pertanyaan umpan balik agar percakapan kami lebih lama.

Tanpa kusadari, percakapan kami menjadi lebih panjang. Aku sedikit bercerita tentang mengapa aku membeli magnet kulkas bertuliskan negara Jepang dan Erde menimpali tentang keinginannya berlibur ke Swiss.

Setelah percakapan berlalu selama dua puluh menit, aku kembali menyadari bahwa kami menghindari menggunakan kata Sayang yang menjadi panggilan baru kami.

Mungkin keputusanku mengubah nama panggilan adalah gerakan yang terlalu cepat.

Tapi ternyata ada hal lain lagi yang tidak kalah cepat. Tanganku yang tiba-tiba bergerak menepuk lengan bawah Erde karena dia baru saja menceritakan kisah lucu tentang adiknya yang katanya luar biasa pintar.

Seluruh tubuhku seperti terkena sengatan listrik. Tapi aku enggan melepas tanganku dari tangan Erde.

Sebaliknya, tanganku justru turun menggenggam telapak tangan Erde.

Keputusan yang salah karena seluruh organ dalamku segera memberontak. Jantungku berdebar kencang dan aliran darahku lebih deras dari biasanya. Otakku seperti mengeras—apapun yang terjadi di dalam tempurung kepalaku, aku tau hipotalamusku sedang bekerja keras.

Setelah satu detik yang hening dan kepalaku yang berdenging. Aku merasa aliran darahku berhenti saat Erde balas menggenggam tanganku dan memberi senyum simpul.

Seperti sungai yang telah mencapai lautan. Aku merasa jantungku melambat dan pembuluh darahku tidak lagi diburu-buru waktu.

Kakiku seperti berpijak di danau yang tenang.

Aku tidak tau apa yang terjadi tapi aku mengingat hormon oksitosin adalah salah satu hormon yang dapat memberikan ketenangan saat diedarkan.

Bahayanya, aku juga mengingat, hormon oksitosin dihasilkan pada beberapa kemungkinan: saat Ibu menyusui anaknya, saat Ibu melahirkan anaknya, saat bercinta, dan—yang paling gawat—adalah saat kita bersentuhan dengan orang yang kita sayangi.


.

.


Mampir.

POV: BERMUDA cw / tw / mention of wound ; luka ; kissing ; violence

Aku sedang berciuman dengan Haya.

Serius. Ciuman adalah hal teraneh yang pernah kualami sejauh ini. Aku bisa merasakan ayam dari restoran cepat saji yang baru saja dimakan Haya sekaligus rasa manis—yang entah datang dari mana.

Ciuman juga membuat panca indraku melemah, aku menyadarinya.

Mataku selalu awas saat memasuki tempat baru. Setengah jam yang lalu aku masih menelisik setiap sudut rumah Haya—secara diam-diam. Tapi sekarang aku menutup mataku dan hanya dapat mendengar suara lumatan kami.

Ini pertama kalinya aku ciuman. Tapi aku merasa sudah pernah melakukan ini berkali-kali. Apa karena aku sering menonton film-film tengah malam di TV?

Saat Haya tiba-tiba melumat bibirku dan lidahnya terus berusaha meraih sesuatu di rongga mulutku, aku tau—aku harus membalasnya dengan cara yang sama.

Jadilah kami saling membalas lumatan.

Sial.

Ciuman tidak pernah menjadi bagian dari rencanaku untuk mendekati Haya. Awalnya—memang—aku sengaja membelikan makanan dan sering menjemputnya menemui Sejati, tapi itu semua murni karena aku ingin menelusuri Fakultas Ilmu Komputer.

Untuk sesaat, aku terbuai dengan manis dan kenyalnya bibir Haya. Kami bergantian memberikan lumatan, awalnya Haya terus memajukan wajahnya hingga punggungku menyentuh sandaran kursi, namun setelahnya aku mulai tidak sabar dengan temponya yang melambat. Aku segera merubah posisi dan membiarkan Haya bersandar di sandaran kursi.

Dan saat itulah.

Aku terkejut ketika tangan Haya bergerak ke dalam kaosku dan nyaris mengusap pinggangku.

Sepersekian detik sebelum usapan itu terjadi, aku teringat beberapa hal.

Tangan-tangan yang berusaha menghancurkan badanku.

Aku dapat melihat dengan jelas pisau-pisau yang pernah kuhindari agar tidak merobek punggungku. Puluhan cambuk yang akhirnya mendarat di seluruh badanku. Juga pukulan dan tendangan yang mengincar setiap inchi badanku.

Ada banyak hal di balik kaosku.

Bekas sayatan, bekas cambukan, bekas pukulan.

Dan satu pisau di sela-sela ikat pinggangku.

Sial.

Aku lengah.

Seharusnya aku menolak ajakan Haya untuk mampir di rumahnya, itu salahku.

Bisa saja Haya merencanakan sesuatu. Membiarkan tangannya menyentuh badanku adalah kesalahan keduaku.

Kalau aku tidak segera melakukan sesuatu, mungkin Haya juga akan meninggalkan bekas luka di balik kaosku.

Tanganku mencekal pergelangan tangan Haya kuat. Aku memundurkan badanku dan menatapnya tajam. Apa yang sedang ia rencanakan?

Mata Haya terlihat sayu dan bergetar, bibirnya yang merekah terbata, “ke—kenapa, Sayang?”

Jantungku terus berdebar. Mataku awas dan telingaku menajam. Ujung mataku dapat melihat cicak yang lewat di jendela ruang tamu. Aku bisa mendengar suara motor dari jalanan dan air yang menetes di wastafel dapur. Cengkeraman tanganku menguat, aku ingin meremukkan tulang-tulangnya agar ia tidak sembarangan mendaratkan tangan di badanku.

Rahangku mengeras. “Jangan sentuh gue.” Desisku kemudian.

Haya meringis dan itulah satu-satunya hal yang menyadarkanku bahwa aku sedang menyakitinya.

Tangannya segera kulepaskan. Kakiku sigap mengambil dua langkah darinya—aku nyaris menabrak meja di belakangku. “Maaf.”

“Eh—ini—”

“Gue pulang dulu.”

Aku marah. Ada rasa tidak nyaman saat menyadari aku lengah di depan Haya.

Sial.