Rumah Susun
POV: BERMUDA. cw / tw // harsh words ; murder attempt ; blood ; gun violence ; pistol ; pisau ; knife ;
Pilihan paling salah yang pernah kulakukan adalah memacari Haya.
Dia tidak mendekatkanku dengan Sejati atau membantuku mendapat informasi yang berguna.
Dia menyusahkan.
Dalam berbagai hal.
Tapi, anehnya, di beberapa waktu, aku merasa Haya akan membawaku pada sesuatu.
Seperti tadi, saat aku membuntuti Sejati, tiba-tiba aku bertemu Haya. Apa yang mereka lakukan di lokasi yang sama?
Aku menyesal tidak terus-terusan berada di samping Haya. Jangan-jangan aku bisa membuntuti Sejati secara terbuka kalau saja aku mendesak untuk mengantar Haya tadi pagi.
Aku menghela napas. Punggungku kubanting pada sandaran sofa. Mataku mengedar.
Dulu aku pernah tinggal di rumah susun. Tidak semewah ini, tentunya. Rumah susun yang kutempati lebih mirip bangunan terbengkalai untuk orang-orang yang hidupnya tidak memiliki banyak pilihan—seperti aku dan Fuji.
Rumah susun ini terlihat seperti apartemen sederhana dari luar. Dengan bangunan bebentuk kotak biasa. Warnanya juga sederhana—putih.
Unit milik teman Haya juga masih dicat serba putih. Aku duduk di sofa ruang tamu berwarna coklat yang langsung menyambung dengan dapur dan kamar mandi. Di depanku ada meja yang di atasnya terdapat TV layar datar seukuran komputer. Di samping meja terdapat pintu yang—menurutku—terhubung dengan kamar tidur.
Semuanya serba sederhana. Perabotan di rumah ini juga tidak banyak. Di pintu masuk ada rak sepatu dua tingkat. Meja dan sofa di ruang tamu, wastafel dan kabinet di dapur, dan—
sudah.
Hanya itu.
Aku menegakkan posisi dudukku.
Ada yang aneh.
Unit ini terlihat kosong.
Kakiku beranjak perlahan. Lantai di unit ini menggunakan keramik warna putih kecoklatan—apa ya namanya? Krem?—yang entah bagaimana membuat debu-debu dan beberapa noda yang tidak kukenali terlihat jelas.
Aku mendekati dapur.
Wastafel ini... sangat kering. Ada noda putih yang membentuk bercak tidak teratur—yang juga kering. Tanganku segera membuka kabinet dan—
Sial.
Badanku refleks menghindar saat seekor kecoak terbang ke arahku. Aku cepat mengibaskan tanganku saat ada laba-laba kecil yang berjalan di punggung tanganku.
Apakah tempat ini benar rumah milik teman Haya?
Kabinet itu kosong. Ujung-ujung tembok di wastafel ini juga terlihat kotor.
Tidak ada peralatan apapun di dapur ini selain beberapa sendok dan garpu di dalam kabinet tadi.
Aku beranjak ke balkon.
Uh-oh. Pintu balkon sepertinya macet.
Haruskah aku masuk ke kamar mandi?
Yak. Aku sudah di dalam kamar mandi.
Kering. Semua di kamar mandi ini kering. Bahkan shower di atasku seperti tidak pernah dinyalakan. Dan tentunya, lagi-lagi ada kecoak. Tidak ada peralatan mandi di dalam sini. Apapun yang ada di dalam kamar mandi ini sedikit menganggu hidungku. Aku tidak suka aroma aneh di ruangan sempit ini, seperti aroma cat yang sudah terlalu lama dan sedikit pengap—mungkin karena ruangan ini tidak pernah dibuka.
Aku kembali ke ruang tamu.
Apa aku harus masuk ke kamar tidur?
Yak. Aku sudah memasuki kamar tidur.
Apek. Berdebu. Kotor.
Tiga kata itu segera terlintas di kepalaku.
Kamar tidur nyaris sama kosongnya dengan ruangan lain. Hanya ada kasur tipis berwarna biru—tanpa sprei—yang digulung, lengkap dengan satu bantal dan selimut di atasnya—tidak terlihat seperti kamar tidur di rumah susun untuk kelas menengah (menurutku). Ada satu almari kecil yang saat kubuka juga kosong. Terdapat satu jendela di kamar ini, tapi kondisinya sama persis dengan pintu balkon—macet.
Baiklah, aku mungkin akan mencurigai Haya berniat membunuhku di tempat ini kalau saja dia tidak mengganjal pintu dengan sepatu—aku jelas tidak bisa keluar jika pintu itu tertutup dan terkunci. Pintu balkon dan jendela di kaamr ini macet total. Aku juga tidak tau bagaimana sistem keamanan dengan sandi bekerja dan bagaimana cara membukanya.
Aku meraih ponselku lalu mengambil beberapa foto. Mungkin aku bisa mendiskusikan ini semua dengan Fuji nantinya. Sudah menjadi kebiasaan, apapun yang aku temukan akan langsung kulaporkan pada Fuji. Badanku bisa mencium aroma-aroma mencurigakan, dan Fuji lah yang bertugas membuktikan kecurigaanku.
Mungkin aku terlihat berlebihan, tapi aku memiliki insting yang kuat.
Ada hal mencurigakan di rumah ini.
Atau, lebih tepatnya, teman Haya mencurigakan.
Dan sepertinya aku bisa mengatakan Haya juga mencurigakan karena berteman dengan pemilik unit ini.
Anehnya, Haya tidak mengatakan apapun tentang temannya. Kalau dipikir-pikir, sepertinya Haya sudah pernah mengunjungi rumah ini—tidak mungkin Haya tau sandi rumah ini jika dia tidak pernah kemari, 'kan?
Rumah ini sudah tidak ditinggali beberapa bulan. Itu kesimpulan sementara yang ada di kepalaku.
Aku pernah memasuki rumah kosong.
Dulu aku dan Fuji tidur di rumah kosong berbulan-bulan—atau mungkin beberapa tahun? Aku tidak terlalu ingat. Kami berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Aku cukup akrab dengan suasana rumah seperti ini—tentunya, tidak sebagus ini. Hanya saja, aku bisa merasakan kekosongan yang sama di rumah ini. Siapapun pemiliknya, dia tidak lagi tinggal di sini.
Aku masih mengamati sekitar saat mendadak aku merasa duniaku berhenti selama sepersekian detik.
Uh-Oh.
Seluruh udara di rongga dadaku menggumpal, membuat jantungku seperti terhimpit. Dadaku sesak. Napasku tercekat.
Suhu badanku turun beberapa derajat.
Aku sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Ini adalah alarm bahaya yang otomatis muncul ketika aku harus waspada dengan sekitar.
Saat badanku dingin, aku bisa merasakan apapun yang lebih hangat dari kulitku—angin, sorotan lampu senter, nyala api, atau manusia.
Kata Fuji, mata manusia hanya memiliki ruang pandang sekitar 120°. Aku tidak tau seberapa besar 120°, tapi kata Fuji, seluruh badanku adalah mata.
Mungkin mataku sedang mengarah ke jendela kamar yang bersebrangan dengan pintu kamar namun siku dan punggungku dapat melihat ada orang lain yang sedang berada di belakangku.
Dan aku mengetahui apapun yang ada di belakangku adalah sosok berbahaya karena sedari tadi aku tidak mendengar suaranya memasuki pintu depan, langkah kakinya saat memasuki kamar, maupun suara napasnya.
Aku terdiam, berusaha sewajar mungkin agar terlihat seolah aku tidak menyadari keberadaannya.
Posisiku tidak diuntungkan. Pertama, aku membelakanginya. Kedua, apapun yang kulakukan—entah itu berputar menghadapnya atau menyerang duluan—akan merugikan diriku sendiri karena aku akan bergerak lebih dulu dan gerakanku memberinya waktu untuk memprediksi serangan apa yang layak diberikan padaku.
Tapi diam juga tidak menguntungkan. Aku tidak tau apa rencananya dan senjata yang dibawa. Dia bisa saja menikamku dari belakang atau mengunci badanku.
Sial.
Saat aku merasa sosok ini makin mendekat ke punggungku, aku segera memutar badanku sambil memberinya serangan siku. Kecepatan dan arah seranganku akurat—tapi dia berhasil menghindar.
Dia menghindari seranganku dengan sedikit meliukkan tubuhnya, ditangkisnya tanganku dengan cara yang tidak wajar—seolah dia sedang mengendalikan tanganku ke arah lain. Aku sempat mengunci mataku padanya, dua bola matanya menatapku tajam.
Dari gerakan setengah detik itu, aku tau. Dia adalah petarung jarak dekat. Dan apapun teknik yang dia gunakan—dia terlatih.
Aku segera mengambil jarak.
Sayangnya, aku juga petarung jarak dekat, namun aku tidak mau mengambil risiko untuk berada di jangkaunnya karena: pertama dan utama, dia terlatih; kedua, dia memiliki postur yang lebih tinggi dan besar daripada badanku.
Kami saling mengunci mata untuk waktu yang lama—atau menurutku, rasanya semua berjalan dengan lambat. Dia tidak menanyakan apapun, dari matanya terlihat bahwa dia tidak peduli siapa aku dan apa yang kulakukan di sini. Dia hanya ingin membungkam seluruh panca indraku dan membuangku dari jendela—atau lebih tepatnya, dia ingin menyingkirkanku.
Rasanya aku hanya berkedip sekilas ketika dia sudah mengambil langkah di depanku. Aku segera melempar satu tinju lurus-lurus—dan aku menyadari aku terkecoh, dia tidak menyerangku, dia hanya mendekatkan jarak padaku agar aku menyerangnya.
Dia menangkap tinjuku dengan satu tangan, mengunci lenganku. Tangannya yang lain membentuk gerakan memotong.
Sial, dia mau mematahkan tanganku!
Di waktu yang sangat singkat—tepat sebelum dia mengangkat tangannya yang bertugas meremukkan tulangku, aku mencengkeram balik lengannya—menariknya ke arahku, bersaman dengan tendangan lutut yang langsung kuarahkan ke perutnya.
BUGH!
Dia meringis.
Tapi—seolah tendanganku hanya menggelitik perutnya—dia menggunakan kedekatan jarak kami untuk membalikkan badanku lalu mengunci leherku dari belakang. Aku segera memindahkan bebanku ke punggung—mendorongnya ke lantai.
BRUK!
Kami berdua jatuh.
Aku berguling ke arah pintu—menjaga jarak sejauh mungkin darinya. Tanganku dengan cepat merogoh pisau lipat di pinggang sebelum berbalik ke arahnya, ujung mataku menangkap gerakannya—dia sudah berdiri. Lalu dengan sekali hentakan aku mengarahkan pisauku ke lehernya. Dia menghindar dengan gerakan yang tidak masuk akal cepatnya lalu aku merasakan sebuah benda dingin menempel di dahiku.
Sial.
Orang ini... mengarahkan moncong pistolnya tepat di kepalaku.
Kami mematung.
Pisauku masih tepat berada di samping urat nadinya—aku yakin ujung pisauku sedikit menggores kulit lehernya karena aku melihat sedikit cairan merah mengalir dari sana.
Pistolnya menempel di dahiku. Hanya perlu sedikit tarikan di telunjuknya, otakku akan berhamburan.
Napasku terengah. Mata kami saling mengunci. Peluh menetes di seluruh tubuhku tapi aku masih kedinginan.
Aku cukup terkejut dengan senjata yang dia gunakan. Pistol adalah senjata jarak jauh. Dia bisa menembakku sejak tadi dan mungkin aku sudah terkapar di kamar ini. Tapi kenapa dia tidak langsung membunuhku padahal dia menyerangku habis-habisan?
Aku mengamati wajahnya. Kedua mata bulatnya menatapku sengit, garis rahangnya terlihat jelas—dia sedang menggertakkan giginya.
Anehnya, dia mengenakan kaos dan celana jeans hitam. Pakaian yang cukup biasa saja kalau dilihat dari kemampuan dan—
“Who sent you?”
Siaaaaaaaaaal.
Ada saat-saat dalam hidupku di mana aku ingin belajar bahasa asing namun kegiatanku terlalu padat untuk mengingat-ingat dua kata dengan makna yang sama.
Aku tidak menjawab. Pilihan yang salah karena moncong pistolnya terus ditekankan di dahiku. “Jawab.” Lanjutnya dengan suara rendah.
Oh. Baguslah. Kami bisa berbicara dengan bahasa yang sama.
Tanganku makin kuat mencengkeram gagang pisauku. Aku harus mengetahui apa tujuannya kemari, apakah dia benar-benar menargetkanku atau aku hanya sedang sial karena berada di sini. “Siapa yang lo cari?”
Ada kebingungan di matanya sebelum dia kembali memasang wajah datar, “lo mainin gue?” Ujung bibirnya naik, tangannya terus dimajukan namun aku menahan kepalaku melawan arah dorongannya.
“Mainin?” Aku ikut menaikkan ujung bibirku, “gue bisa mutusin urat nadi lo sekarang.”
Dia terkekeh, “lo pikir gue nggak bisa ngehancurin kepala lo sekarang?”
Hening.
Aku sudah merancang gerakan berikutnya di kepalaku. Tanganku yang kosong akan menepis pistolnya dan tanganku yang lain menggoreskan pisauku dalam satu gerakan cepat. Gerakan ini harus cepat dan akurat karena aku tidak bisa meremehkan kecepatannya menghindariku, belum lagi pistolnya yang bisa kapan saja ditembakkan.
Tapi tiba-tiba...
Beberapa nada terdengar dan...
Cklek!
“Gue beliin nasi kuning aja nggak apa-apa ya?”
Haya?!
Astaga. Dasar cowok tolol. Bagaimana bisa dia masuk ke rumah ini dengan suara seriang itu saat ada seseorang yang hendak menghancurkan kepalaku?
Suara langkah Haya semakin mendekat. Aku berpikir keras. Haya bisa saja dalam bahaya jika orang di depanku memutuskan untuk menarik pelatuknya. Tapi di satu sisi, Haya juga bisa mencurigaiku karena mengarahkan pisau ke leher orang lain.
Setengah detik berlalu.
Aku refleks menurunkan tanganku yang—anehnya—orang di depanku ikut menurunkan pistolnya lalu cepat-cepat memasukkannya di balik pinggangnya.
“Lo lagi di kamar mandi ya?” Suara Haya makin jelas terdengar—dia melewati pintu kamar, “gue—” Ucapannya terhenti. Sepertinya dia melihat punggungku dari ambang pintu.
Dia terdiam cukup lama.
Aku sudah siap pura-pura terjatuh—dan mengatakan orang serba hitam ini adalah perampok—ketika aku menyadari Haya sama sekali tidak terkejut dengan kehadiran orang ini—Haya mengenalnya.
Dia mengernyit.
“Maru? Kok udah pulang?”
Jantungku meledak.
Orang ini adalah teman Haya?