Rumput yang Basah, Hati yang Gelisah.

cw // blood , ghost (si Hugo)

Halaman samping hanya berbentuk petak biasa. Sekelilingnya dipenuhi tanaman pagar setinggi leher Raib.

Duduk meringkuk di ujung halaman, Jibran merapatkan diri pada tanaman itu.

Setelah Raib memanggilnya untuk pertama kali, Jibran berdiri, berjalan dengan lesu melewati Raib dan Hugo, menuju pakaian-pakaian yang terjemur.

Tangannya memeras pakaian satu per satu—tak ada air yang keluar tentunya, semua pakaian itu setengah kering.

Jibran kembali setelah menyelesaikan kegiatannya, lagi-lagi terduduk di ujung halaman, memeluk lutut.

Raib tertegun, Jibran memang sengaja tak menyapa atau memang tak melihatnya?

“Jibran?” Raib memanggil sekali lagi, ia berlutut di depannya.

Melihat Jibran dari dekat, membuat Raib tersadar, lelaki ini terlihat kacau.

Pakaian dan rambutnya seperti baru kering, bahkan celana jeans-nya masih terlihat agak basah. Wajah dan tangannya terlihat pucat, ujung jari—walau tak nampak semua—berkerut.

“Jibran?” Panggil Raib ketiga kali, “Lo ujan-ujanan?”

Jibran tak menjawab. Pandangnya lurus menatap rerumputan, seolah tak menyadari keberadaan Raib.

“Jibran...” Tangan Raib meraih punggung tangan Jibran, sensasi dingin menjalar dari ujung jari.

Jibran tersentak, ada cekatan tertahan dan bola mata yang bergerak tak beraturan.

“Kak Raib?” Nafas Jibran terengah. Ia terlihat seperti pelari yang baru istirahat.

Mata Raib menatap tak paham. Ada yang janggal dengan Jibran di hadapannya.

“Lo ngapain? Ujan-ujanan?” Kedua tangan Raib meraih lengan Jibran. Hoodie lelaki tinggi ini terasa lembab.

Jibran terdiam cukup lama sebelum bibirnya mulai bergetar.

Ia menggigil.

“Masuk yuk, gue bikinin teh panas.” Raib siap berdiri, tangannya hendak menarik Jibran untuk ikut berdiri namun tubuhnya diberatkan, ia tak mau berkutik.

Jibran menggeleng.

Raib melirik pada Hugo, Adek lo kenapa nih?

Hugo menggeleng pelan, ia tak tau.

Demi melihat tangan Jibran yang mulai bergetar, Raib akhirnya berdiri, “Gue ambilin selimut sama teh panas, tunggu ya.”

Raib memberi isyarat pada Hugo untuk menjaga Jibran yang kemudian dibalas dengan anggukan cepat.

Hugo berlutut di depan Jibran, memperhatikan adiknya yang menatap rerumputan dengan pandangan kosong.

Kalau dilihat dari jauh, Jibran terlihat seperti sedang memandangi kaki Hugo yang sedang bersimpuh.

Gerimis mulai turun. Rintiknya mendarat tak tentu.

Entah dorongan dari mana, tangan Hugo terangkat, berusaha menutupi wajah Jibran dari tetes-tetes gerimis.

Sia-sia.

Hugo menarik kembali tangannya.

“Kamu kenapa...” Gumam Hugo pelan.

Mata Jibran bergerak, terangkat pada wajah Hugo.

“Kak Hugo...”

Hugo mematung.

Langkah Raib ikut terhenti, ia menoleh cepat.

Yang menjadi pusat perhatian masih diam, pandangnya kosong.

“Kalau hujan gini...” Bibir Jibran masih bergetar, “Kak Hugo neduh di mana ya?”

Satu rintik hujan mengenai dahi, turun ke mata kanan, dan menetes dari kedua mata.

“Dingin...” Gumam Jibran perlahan, “Kak Hugo, kedinginan nggak ya?”

Raib mengurungkan niatnya untuk mengambil teh, kakinya dilangkahkan mendekati Jibran.

Aroma tanah basah mulai tercium setelah gerimis kembali mengecup rerumputan.

Lampu di dinding kos tak mampu mencakup seluruh halaman. Cahaya di ujung sini tertutupi beberapa helai kain, hanya menyisakan sedikit remang namun Raib dapat menangkap raut cemas dari Hugo dan gelisah dari Jibran.

“Kayaknya, aku banyak salah ya sama Kak Hugo?”

Tak ada suara yang menyaingi nafas Jibran yang tersengal dan tak ada yang menjawab pertanyaannya.

“Aku pernah bilang sama Kak Hugo,” Ia meremat celana jeans.

Hening kembali terdengar sebelum Jibran kembali membuka mulut,

“Aku nggak mau nerusin perusahaan,”

Bohong.

Raib menggigit bibir bawah, menahan diri untuk tak berucap satu kata pun.

Susah payah Jibran menarik nafas sebelum ia kembali bersuara,

“Terus Kak Hugo bilang—” Suaranya tercekat, “Te—tenang aja, biar Kakak yang—” Ia menarik nafas sekali lagi, “Biar Kakak yang nerusin.

Raib mematung dalam hening yang pekat, ia melirik pada Hugo yang mulai memucat namun bergeming di tempat.

“Pas Papa ngasih tau kalau Kak Hugo jadi pewaris utama, aku malah marah,” Jibran mengusap ujung mata kasar, menghapus sisa gerimis yang siap menyebar, “Papa bilang, sebagai pewaris utama, Kak Hugo harus tinggal di Jepang.”

Jepang?

Raib terkejut saat tubuh Hugo perlahan bergetar sebelum akhirnya terjatuh di tanah, tangannya menyangga tubuh yang mulai lemas.

“Aku—” Sekali lagi suara Jibran tercekat, tangannya mengepal, “Aku cuma mau bareng Kak Hug—” Sesak menyeruak, memaksanya membuka mulut lebih lebar.

Raib melirik Hugo dan Jibran bergantian. Ia gusar melihat Hugo yang mulai memucat namun lebih gundah saat mendapati tubuh Jibran mulai bergetar hebat.

Ada beberapa hal dalam dirinya yang menolak apa yang ia lihat, Gue harus percaya sama Jibran nggak?

Suara isakan mulai terdengar di antara rintik yang menghujani sekitar.

Raib menggigit ujung kuku, ia ragu dengan situasi yang terjadi di sini.

Jibran menundukkan wajah, mengistirahatkan dahinya di punggung tangan, “Paginya, Kak Hugo pergi,” Gumamanya pelan, “Nggak balik lagi,”

“Gimana...” Jibran kembali mengangkat wajah, “Kalau ternyata Kak Hugo salah paham?”

Ia membenturkan dahinya pada kepalan tangan.

Hugo menggeleng cepat, “Jangan...” Tangannya berusaha menggapai wajah Jibran. Namun nihil, ia bahkan tak mampu menyentuhnya.

“Gimana kalau dia kecewa karena aku nggak konsisten?”

Ia membenturkan dahinya sekali lagi.

“Eh! udah-udah.” Raib segera berlutut di depan Jibran, mengambil posisi Hugo, membuat arwah itu melayang mundur—bersandar di pintu rumah.

“Gimana kalau—”

“Udah. Udah. Jibran.” Raib meletakkan tangan di atas punggung tangan Jibran, memberi bantalan agar dahinya tak berbenturan dengan kerasnya kepalan tangan.

Jibran mengistirahatkan wajahnya di punggung tangan Raib yang mulai dingin.

Selama satu menit yang terdengar hanya hening.

Detik berikutnya dingin menusuk bersama hembusan angin.

Raib sibuk termenung, Jibran sibuk mengenang.

Keduanya bergeming dalam remang.

“Kak.” Jibran menggumam, nyaris tak terdengar, wajahnya masih bersandar pada punggung tangan Raib yang mulai kesemutan.

“Kenapa?” Raib berusaha mengintip wajah Jibran yang tak bergerak, “Lo ngomong sesuatu?” Ia takut salah dengar.

“Kalau Mama aja nggak bisa bertahan,” Raib merasakan kepalan tangan Jibran menguat di bawah telapak tangannya, “Aku gimana?”

Raib terdiam. Kalimat Jibran memunculkan berbagai tanya yang tak dapat ia tanyakan—satu pun.

Mendadak punggung Raib kaku, tengkuknya terasa dingin dan tubuhnya membeku.

Jibran mengangkat wajah, “Mama—” Kalimatnya terhenti, menggantung bersama mulutnya yang masih terbuka.

Kedua mata Jibran membulat sempurna.

“K—kak...”

Raib mengangkat satu alis, heran dengan perubahan ekspresi Jibran yang drastis.

Setelah beberapa detik penuh tanya, ia mengikuti arah pandang Jibran yang menembus ke belakangnya.

Kini Raib ikut terbelalak.

Ia sudah terbiasa melihat Hugo. Baik dalam bentuk arwah di dunia nyata, maupun dalam bentuk manusia utuh di dunia mimpi.

Namun sekarang, semuanya terasa ganjil dan asing.

Mulutnya ternganga saat mendapati wajah dan pundak kanan Hugo yang tak tembus pandang.

Solid.

Benar-benar solid.

Mendadak seluruh suara menghilang, bahkan sekadar tarik dan hembusan nafas. Angin pun sungkan angkat bicara.

Ada diam yang membeku sebelum suara Jibran memecahnya,

“Kak Hugo...?”

Jibran bangkit perlahan walau tubuhnya masih patah-patah bergerak.

Raib ikut berdiri. Ia mengusap wajah frustasi, tenggelam dalam cemas dan bingung.

“Kak...?”

Jibran mengambil langkah pertama.

Raib menatap Hugo yang terpaku pada Jibran.

Jibran mengambil langkah kedua.

Untuk pertama kalinya, Raib melihat bendungan mengkilat di mata Hugo.

Hugo... menangis?

Jibran sudah siap berlari namun langkahnya terhenti, Hugo menghilang dari pandangnya.

“KAK HUGO! JANGAN PERGI!”

Raib segera menyusul Jibran yang berjarak empat langkah darinya. Tangannya meremas kedua lengan Jibran, “Kita masuk sekar—”

“NGGAK! TADI ADA KAK HUGO! BENERAN!” Jibran meraung hebat. Tubuhnya terkulai di tanah.

“TADI ADA!”

Suara raungan Jibran semakin keras. Beberapa tepat mendenging di telinga Raib.

“Jibran, Jib—”

“TADI ADA KAK HUGO!!!” Jibran mengeluarkan suara yang tersisa di tenggorokan. Ia menepis tangan Raib yang menahannya. Pipi Raib terasa panas saat tangan itu—secara tak sengaja—menamparnya.

“Iya, iya, sekarang—”

“KAK HUGO BENCI AKU!! KAK HUGO NGGAK SAYANG AKU!!!”

Kepala Raib terasa pening saat mendengar teriakan Jibran yang menusuk telinga. Ia melirik bagian pintu rumah, tempat Hugo berdiri sebelumnya. Arwah itu memang menghilang.

Raib kewalahan. Ia nyaris membiarkan Jibran meraung pada basahnya rerumputan.

BRAK!

Pintu rumah terbuka.

“Raib? Jibran? kenapa teriak-teriak?” Yahya terbelalak.

Dan Yahya tak sendirian.

Daffa, Yudha, Jerri, bahkan Pak Juna menyusul di belakang. Kelimanya datang bersamaan.

Entah bagaimana, saat kelimanya berjalan melewati pintu—menuju tempat Raib dan Jibran terduduk, arwah Hugo kembali muncul—samar-samar.

Entah karena arwahnya yang cukup samar atau memang demikian, wajah Hugo terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Wajah terpucat yang pernah Raib lihat.

Hugo bergeming.

Yang terjadi berikutnya bagai adegan lambat di film-film.

Kelima orang ini menembus tubuh Hugo satu per satu.

Dan saat satu orang—satu orang di antara kelimanya, entah siapa— menembusnya. Saat itu lah, perut Hugo merasakan sebuah gumpalan menyeruak. Ia luar biasa mual namun tubuhnya tak mau bergerak.

Untuk pertama kalinya selama menjadi arwah, Hugo merasa luar biasa sesak.

Tenggorokannya kosong dan hampa hingga mulutnya terbuka, berusaha mencari pasokan udara namun ia mendadak tak tau cara bernafas.

Kepalanya sakit dan berdenging. Hugo merasa lemas di seluruh kaki hingga nyaris ambruk berkali-kali.

Mata Raib membelalak dan seluruh badannya bergetar. Ia ingin berlari pada Hugo saat sebuah cairan merah menutup hampir separuh wajahnya.

Darah segar mengalir dari kepala Hugo.

Jibran terdiam, membuat seluruh penghuni kos terheran.

Sebelum akhirnya berteriak dan meraung tak karuan.

Untuk saat ini, gambaran Hugo terlihat cukup jelas di mata Jibran. Hugo berwujud sama persis seperti bayang-bayang ketakutan yang menghantuinya.

Lengkingan Jibran bersautan dengan suara seluruh penghuni kos yang berusaha menenangkan.

Hugo terdiam di tempatnya. Tangannya dinaikkan, ia menyentuh ujung dahinya dan mematung saat mendapati darah segar mengecap di telapak tangan.

Badan Raib terkulai lemas. Ia hanya mampu menutup mulutnya yang ternganga.

Pikirannya melayang hingga membisukan bising-bising.

Kepalanya berusaha mencerna serpih demi serpih yang berserakan, memproses seluruh informasi yang mungkin dan tak mungkin.

Hingga akhirnya sebuah kesimpulan menghujamnya.

Tatapan Raib meliar. Pandangnya mengedar.

Pembunuhnya...

Ia mengamati manusia di sekitar.

Ada di sini...

Gerak mata Raib mulai teratur, mengamati satu per satu.

Jibran, pemeran utama malam ini, sedang meraung dan memukuli siapa pun yang menahannya.

Daffa yang sedang menggenggam tangan Jibran dan memberi banyak kalimat penenang dengan nada tegas setengah frustasi.

Yudha yang berlutut di samping Daffa, tampak cemas dan panik, menawarkan air putih berkali-kali.

Yahya yang sedang berdiskusi dengan Pak Juna lalu segera menghampiri Jibran.

Pak Juna yang langsung mengambil ponsel lalu membuat panggilan.

Dan Jerri—juga menggenggam tangan Jibran, mengatakan pada Daffa untuk mengangkat Jibran ke dalam kos.

Mata Raib berkedut.

Diamatinya wajah-wajah penuh cemas itu satu per satu, lamat-lamat agar tak ada yang terlewat.

Siapa...

Raib menggigit bibir bawahnya kuat hingga cairan merah mengalir.

Siapa...

Tangannya terangkat, mengusap darah di bibir dengan punggung tangan.

Siapa...

Pandangnya terus mengedar.

Sia—

Mata Raib berhenti mencari.

Ia mengambil satu langkah ke belakang, mengamati semuanya dalam satu bingkai yang lebih jelas.

Semua orang di halaman ini sibuk. Riuh. Ramai. Panik.

Ujung bibir Raib terangkat, sebuah gumpalan nafas berat tersengal dari rongga mulut bersama sedikit fakta menggelikan yang memenuhi perut,

Salah satu dari mereka, cuma pura-pura.