Saat Dunia Tertawa di Atas Dukamu

Kakung: Bahasa Jawa (halus) yang merujuk pada jenis kelamin 'laki-laki'

Raden mengistirahatkan punggung di sandaran sofa. Matanya masih sibuk menikmati langit sore dipadu lalu lalang beberapa orang di halaman depan. Ia bukannya sedang bersantai. Raden memang ditugaskan untuk menyambut siapa saja yang datang.

Tubuh Raden segera bangkit saat seorang wanita paruh baya memasuki halaman dengan celana kain berwarna merah dan blouse biru tua, “Sore, Tante.”

Wanita itu menaikkan dua alis, terkejut saat Raden mengulurkan tangan, “Sore....”

Raden melepas jabat tangannya setelah mencium punggung tangan wanita itu.

“Kamu siapanya Mbak Tuti?” Wanita itu mengamati wajah Raden lamat-lamat, “Cucunya?”

Tuti. Nama Eyang Putri.

Raden mengangguk, “Iya, Tante. Saya cucunya Eyang dari anak kedua.”

“Ooooh.” Wanita itu tersenyum paham lalu menepuk pelan lengan Raden, “Anaknya Sarah ya berarti?”

Sarah. Nama Ibuk.

Raden kembali mengangguk.

“Oooh. Ganteng banget cucunya Mbak Tuti ini, kamu persis Bapakmu deh,” Wanita itu kembali mengamati tiap garis wajah Raden, “Namamu siapa?”

“Raden, Tante,” Raden sedikit menunduk saat wanita itu kembali menepuk pelan lengannya, “Anak kedua Ibuk Sarah.”

“Oh, iya. Aku Bu Ares,” Wanita itu tersenyum ramah, “Jangan panggil Tante lah, aku lebih tua dari Ibumu. Budhe aja.”

Bu Ares? Namanya terdengar familier namun Raden tak terlalu ingat.

“O—oh, Iya, Budhe.”

“Ya udah, nanti lagi ngobrolnya ya, aku mau ketemu Eyangmu dulu.”

Pandangan Raden mengiringi langkah Bu Ares hingga memasuki rumah.

Raden kembali mendudukkan diri di sofa. Kembali mengamati keramaian di sekitar. Suara tawa saling bersautan dari dalam rumah dan halaman.

Alasan kedua Raden tak pernah mengunjungi Eyang Putri tiga tahun belakangan—selain karena kampung ini mengingatkannya pada Helmi—adalah karena semua kenangan bersama Eyang Kakung.

Putus dengan Helmi dan teringat semua tentangnya memang menyakitkan, namun terpisah (selamanya) dengan Eyang Kakung juga tak kalah menyakitkan.

Sejak lahir hingga berusia 10 tahun, Raden menetap di desa ini. Saat mulai memiliki teman baru dan bertemu dunia baru, ingatan masa kecil Raden mulai terkikis perlahan diganti ingatan baru. Tapi bukan berarti Raden melupakan semuanya.

Eyang Kakung adalah bapak kedua untuk Raden. Saat Bapak sibuk bekerja, Eyang Kakung yang mengurus Raden di rumah.

Siang setelah pulang sekolah, Raden akan menyusul Eyang Kakung di ladang—menunggu beliau selesai sambil membawakan makan.

Saat Sore, Eyang Kakung akan mengajarkan sesuatu yang baru pada Raden—bersepeda, berenang, membenarkan rantai sepeda, membuat perkakas, merawat sapi yang (dulu) dipelihara, membenarkan genteng (Eyang Kakung sering dimarahi Eyang Putri karena ini), dan masih banyak lagi.

Malamnya, Eyang akan memberi dongeng pengantar tidur. Kadang tentang legenda-legenda tertentu—bawang merah dan bawang putih, timun mas, dan kisah penjual topi dan monyet, semua lengkap dengan tembang-tembang jawa—kadang tentang kisah perjuangan Eyang Kakung untuk bersekolah.

Setidaknya, Raden mengingat itu semua, walaupun tak mendalam dan keseluruhan.

Semakin bertambahnya usia, Eyang Kakung lebih suka duduk sendiri di teras, mengamati para tetangga yang lewat sambil membakar rokok kreteknya.

Dulu, saat Raden berkunjung—bersama Helmi, Eyang Kakung akan mengajak keduanya berbincang—cukup lama, beliau senang menanyakan segala hal pada Helmi—meski beliau tak paham dengan beberapa istilah anak muda zaman sekarang.

Atau kadang—dengan tubuh yang sudah renta—beliau mengajak Helmi berkeliling.

Kata Eyang Kakung, Helmi seperti cucu barunya, beliau seperti mengulang kembali semua yang ia lakukan pada cucu-cucu sebelumnya.

Setelah Raden tak lagi berhubungan dengan Helmi, Eyang Kakung selalu menanyakan keberadaan lelaki itu tiap Raden berkunjung sendiri. Raden hanya akan terdiam, tak menyebutkan tentang berakhirnya hubungan mereka. Lama-kelamaan, Eyang Kakung tak lagi bertanya, mungkin beliau mulai agak paham.

Saat Raden menginjak usia dua puluh, ia menyukai ketenangan yang dipancarkan Eyang Kakung tiap beliau duduk diam di teras lalu tersenyum pada tetangga yang lewat.

Raden senang melihat mata Eyang Kakung yang berkerut saat beliau tertawa—biasanya karena Eyang Putri marah-marah saat tak sengaja menghirup asap rokok di teras.

Masih tercetak jelas di kepala Raden bagaimana kabar duka dari Eyang Kakung membuat dunianya yang telah retak menjadi benar-benar runtuh.

Ia baru mulai bekerja saat itu, sedang sibuk-sibuknya. Namun ia mati-matian mengajukan cuti untuk mendatangi kampung ini.

Seluruh keluarganya, juga begitu. Semua kegiatan anak-cucu Eyang terhenti hari itu. Pekerjaan dan sekolah ditinggalkan. Semua berkumpul di rumah Eyang.

Raden masih ingat jelas sedalam apa duka yang dirasakan. Air matanya tak ingin berhenti mengalir walau seluruh kepala telah kosong. Malamnya, saat tubuh Eyang Kakung telah dikebumikan, Raden merasa hampa menerpa seluruh tubuh.

Kenyataan bahwa ia tak akan lagi bertemu Eyang Kakung saat mengunjungi rumah ini, kenyataan bahwa ia tak akan lagi mendengar suara Eyang Kakung, kenyataan bahwa ia tak akan lagi melihat kepulan asap rokok di teras, dan kenyataan bahwa tubuh Eyang Kakung terkubur dua meter di bawah tanah—semuanya menjadi fakta yang—terlampau—asing.

Terlalu baru untuk diterima namun terlalu kuat untuk dihindari.

Kepergian Eyang Kakung bagai menghancurkan satu pilar kokoh yang menopang keluarga Raden. Semuanya belum bersiap saat tiang terkuat itu roboh. Semuanya tak sempat mengambil ancang-ancang untuk berdiri tegak.

Tapi...

Kenapa ya?

Baru seribu hari setelah kepergian Eyang Kakung, semua orang sudah tertawa?

Mata Raden melirik Bapak, Om, dan Pakdhe yang tengah duduk lesehan di teras bersama tetangga lain, mereka tengah berbincang seru sambil sesekali mengeluarkan tawa.

Pandangannya beralih menelusuri dalam rumah. Ibu-ibu juga tengah menyiapkan makanan sambil berbisik beberapa hal lalu tertawa puas—ciri khas kumpulan orang yang sedang bergosip.

Apakah semua orang—terutama, keluarga Raden, telah melupakan kesedihan yang mereka lalui? Atau hanya terbiasa dengan ketiadaan Eyang Kakung?

Entahlah, Raden merasa cemas. Ia cemas Eyang Kakung akan kecewa saat melihat ini semua—binar tawa yang berpendar seolah acara malam ini adalah perayaan.

Mendung di kepala Raden kian pekat. Ia lepas kaca mata saat kepalanya terasa nyeri. Dipijatnya kedua alis sebelum kembali memasang kaca mata.

Raden menghela napas kasar. Baru saja ia hendak meraih ponsel, sebuah suara memanggilnya.

“Raden?”

Yang dipanggil mendongak. Mendapati seorang lelaki dengan kemeja coklat tua dan jeans hitam.

Oh, Raden ingat, si pemilik toko.

“Julian?”

Julian tersenyum, menunjukkan lesung pipi, “Kamu datang juga ke acara seribu hari Opa?” Tangannya terulur.

Raden menerima uluran tangan itu, “Opa?” Dahinya sedikit mengernyit, Oh!, “Iya, ini acara 1000 hari kakek saya.”

Dua alis Julian terangkat, “Oh? Kamu cucunya Oma?”

Oma?

“Ah, beberapa orang di sini manggil nenek kamu Oma, saya juga.” Lanjut Julian saat mendapati tatapan bingung Raden.

Oooh.

“Iya, saya cucunya Oma.” Raden mengangguk, sedetik kemudian ia langsung teringat dengan benda yang kemarin dulu dipinjamnya, “Oh iya, payung kamu...”

“Eh, nanti aja, sekalian saya bawa pas pulang.” Julian mencegah Raden yang hendak masuk ke rumah.

Raden mengurungkan niat, oh iya, kan bisa dibawa sekalian pulang.

“Oma sering bercerita tentang cucu-cucunya. Beberapa saya kenal—Aila, Ratu, Tian, Dani, Aiden.” Ujar Julian.

“Ooh, iya,” Raden mengenali nama-nama itu—sepupunya, “Saya kakaknya Aiden, masih ada satu kakak lagi, Mas Cahya, mungkin kamu belum pernah ketemu juga.”

Julian mengangguk paham, “Oalah kamu kakaknya Aiden. Pantas kok agak familier. Aiden sering mampir ke toko roti di depan toko saya kalau lagi liburan ke sini.” Ia kembali tersenyum.

Fakta yang baru Raden ketahui. Tapi Aiden memang suka makan roti-rotian dan toko roti di depan toserba Julian menyediakan roti yang enak. Raden tak heran.

“Kamu mau masuk atau duduk sini?” Raden menawarkan.

Julian terdiam selama beberapa saat, lelaki itu mengamati kondisi di rumah yang cukup ramai, lalu berganti melihat sofa di sekitar Raden yang sepi, “Saya boleh duduk sini?”

Satu alis Raden terangkat, “Boleh, silakan.” Ia mempersilakan Julian duduk di sampingnya.

Mungkin Julian agak kurang nyaman bergabung dengan bapak-bapak yang usianya jauh di atasnya. Lagipula, Eyang bilang Julian adalah orang baik—dan terbukti dari cara bicara dan sikap Julian pada Raden—jadi tak ada salahnya lelaki itu duduk di sampingnya.

Matahari telah perlahan merangkak turun. Lampu-lampu telah dinyalakan. Semua anak mulai meninggalkan halaman, mereka harus pulang untuk makan malam dan menyiapkan sekolah esok pagi.

Julian dan Raden saling diam di sofa. Keduanya berjarak setengah meter. Mata Raden mengamati satu-dua kendaraan dan beberapa sepeda yang melewati jalanan, sedang mata Julian mengamati kesibukan di dalam rumah.

Suara obrolan dan tawa dari dalam rumah menjadi pengiring keheningan di halaman depan.

Bagi Raden, kesunyian ini biasa. Bukan suatu hal yang perlu dicanggungkan. Namun Julian merasa perlu mengisi kekosongan ini. Harus diakui, Julian cukup mudah merasa canggung sekaligus cukup mudah menghilangkannya.

“Jadi...” Julian memecah senyap di antara keduanya, “Kamu kesini buat acara seribu hari kakekmu?”

Raden menoleh. Sebenarnya ia sudah menduga Julian akan mengajak bicara untuk mengusir diam, namun ia cukup menghargai topik umum yang diambil lelaki itu, “Iya, tapi saya juga liburan ke sini.”

“Oh,“Julian mengusap lutut perlahan, “Kamu kuliah? atau lagi cuti?”

“Kuliah. Tugas belajar.” Raden membenarkan kaca matanya.

“Oh,” Mata Julian melebar, “Wow,” Lanjutnya, “Ambil apa?”

“Master ilmu ekonomi.” Jawab Raden singkat, ia tak ingin memperpanjang pembicaraan tentang kuliahnya yang telah ia tinggalkan di kota.

“Di kampus mana?”

“UM,” Jawab Raden, namun ia ingat ada banyak universitas dengan singkatan UM di negara ini, “Di Mawar.” Lanjutnya.

Julian tampak lebih sumringah, “Saya alumni UM.”

Alis Raden terangkat, ia tak menyangka bertemu seseorang yang pernah menginjak Kota Mawar di desa ini, terlebih orang ini satu almamater dengannya, seolah Raden baru bertemu dengan teman lama, “Angkatan berapa?”

“2008. Teknik sipil.” Jawab Julian mantab.

Menarik.

Menarik dari segi angkatan yang enam tahun di atas Raden—yang artinya ia harus mulai menimbang untuk menggunakan mas/kak pada Julian. Juga jurusan kuliah yang diambilnya—tak kalah menarik.

Raden sudah sering melihat seseorang yang bekerja di bidang yang berbeda dari jurusan saat kuliah. Namun bagaimana bisa lulusan teknik sipil membuka toserba?

Bukankah lebih masuk akal jika lulusan teknik sipil membuka toko bangunan?

Mendirikan toserba juga bukan hal yang mudah. Dari aspek pemasaran, hukum, keuangan—banyak hal yang perlu dikuasai oleh seorang pemilik toko.

Kira-kira, securam apa jalan karir yang Julian tempuh hingga ia tiba di posisinya sekarang? Seorang pemilik toserba yang (cukup) besar dengan beberapa pegawai.

Raden tak sembarangan menyimpulkan, dilihat dari besarnya lahan parkir di toserba milik Julian, ia yakin konsumen toserba itu bukan hanya dari kampung ini.

Karena sudah mencicipi banyak kegagalan dan pahitnya mengejar karir, Raden cukup menghormati orang-orang yang berani mengambil risiko untuk menapaki jalan hidupnya.

Akhirnya, kedua lelaki di halaman depan itu berbincang cukup panjang. Bukan lagi perbincangan canggung, namun obrolan dua arah.

Tentang kuliah, karir, dan domisili masing-masing sebelum berakhir di tempat yang mereka pijak sekarang.

Raden menceritakan sekilas tentang domisilnya selama ini. Sepuluh tahun di kampung ini, delapan tahun di Kota Asoka, dan sisanya ia habiskan di Kota Mawar.

Julian balas menceritakan tentang dirinya. Dari lahir hingga mendapat gelar sarjana di Kota Mawar, lima tahun terus berpindah tempat, hingga akhirnya empat tahun belakangan ia habiskan di kampung ini.

Raden cukup terkejut saat mengetahui pekerjaan Julian sebelum membuka toserba.

“Saya kerja di KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) di Kota Mawar.”

“Kamu dulunya penilai?”

Julian mengangguk.

Raden cukup familier dengan profesi itu. Salah satu teman Raden adalah seorang penilai pemerintah—tugasnya sama-sama menaksir nilai ekonomi aset atau bisnis, namun penilai pemerintah adalah PNS.

“Terus...” Ucap Raden hati-hati, ia takut ucapannya terlalu personal namun ia tak dapat menahan diri untuk tak bertanya, “Resign atau....?”

Resign,” Jawab Julian cepat, “Saya bosen pergi-pergi terus. Tahun 2017, Papa saya meninggal. Jadi sekalian saya nemenin Mama di sini.”

Oh...

Raden mengangguk paham.

Perjalanan karir Julian makin menarik. Awalnya, lelaki itu sudah memiliki pekerjaan yang mapan—sependek ingat Raden, jabatan Julian membutuhkan beberapa kali ujian, dan sebelum resign—tentunya—ia sudah memiliki pengalaman yang cukup banyak—atau bisa dikatakan karirnya cukup gemilang.

Namun ia melepasnya.

Pembicaraan terus berlanjut.

Raden menceritakan tentang kantor tempatnya bekerja, kantor bendahara pemerintah di Kota Mawar. Lalu disambung dengan kota-kota yang pernah mereka kunjungi—hanya menyebutkan nama kota. Lalu dilanjutkan tentang Kota Mawar karena keduanya cukup familier dengan ibu kota.

Setelah membicarakan tentang tata letak kampus dan beberapa toko di area sekitar kampus, keduanya lanjut bertukar informasi mengenai kuliner dan tempat nongkrong favorit.

“Saya deket sama owner Cafe Mawar 21.” Ucap Raden bangga.

“Bener?” Wajah Julian sedikit terkejut, “Owner Cafe itu Pak Edo bukan sih? Yang galak itu?”

Raden mengangguk, “Saya sering kesana pas kuliah, pernah sekali datang pas Cafe-nya baru buka, terus ngobrol-ngobrol sama Pak Edo.”

Ya bagaimana Raden tak merasa bangga? Cafe Mawar 21 adalah tempat favorit seluruh mahasiswa UM. Kabarnya, orang yang dekat dengan pemilik cafe selalu diperlakukan spesial. Sayangnya, tak mudah mendekati pemilik tempat makan itu karena sifatnya yang sinis dan agak judgemental.

“Kamu...” Julian memberi jeda sebelum bertanya, “Beneran dapet perlakuan khusus karena deket sama Pak Edo?”

Raden kembali mengangguk, “Semua pelayan tau menu favorit saya, terus saya juga dapet diskon 25%.”

“Wah, saya iri,” Julian tertawa, “Saya pernah sekali ngobrol sama Pak Edo, dia langsung sensi lihat rambut saya yang sampai telinga waktu itu.”

Raden tertawa.

Benar. Pak Edo memang terlampau sensitif dengan kerapian. Beruntung, Raden adalah tipe orang yang rapi dan mudah risih bila rambutnya terlalu panjang.

Eh?

Gue... baru aja ketawa?

Tawa Raden segera padam.

Apa yang lucu?

Raden berdeham.

Masih banyak kesempatan untuk tertawa selain di hari ke-1000 Eyang Kakung.

Tapi Raden mulai sedikit lebih paham. Mungkin orang-orang di dalam rumah sana sama seperti Raden. Tak melupakan, tak terbiasa, namun hanya teralihkan. Pikiran mereka teralihkan sejenak dari acara malam ini, sama seperti bagaimana pikiran Raden teralihkan karena pembicaraan ringan baru saja.

“Sampai sekarang,”

Raden kembali fokus pada Julian saat lelaki itu memulai kembali pembicaraan.

“Kamu masih dekat sama Pak Edo?” Lanjutnya.

Raden membenarkan posisi kaca mata yang melorot lalu mengangguk, “Saya masih sering mampir.”

Pembicaraan masih terus berlanjut tentang Kota Mawar hingga keduanya dipanggil memasuki rumah.

Raden berjalan memasuki rumah. Langkahnya lebih ringan dari sebelumnya, seolah energi di tubuhnya baru saja terisi ulang.

Tanpa Raden sadari, mendung di kepalanya telah bersembunyi sejak tadi.