Saat Dunia Terus Berotasi, Tapi Kamu Berhenti.

cw / tw / mention of cheating

Pukul tujuh malam.

Raden baru saja selesai membaca buku yang dibawa untuk jaga-jaga—siapa tau ia harus mematikan ponsel selama di perjalanan (dan ternyata memang harus ia matikan karena Helmi terus membombardir aplikasi pesannya).

Lelaki itu memandang keluar jendela, mengamati remang malam dipadu rumah-rumah yang melesat cepat di mata.

Kepala; perut; dan gerbong kereta terasa kosong.

Gerbong masih kosong karena kereta baru melaju dari stasiun pertama—Kota Mawar, kota tempat peraduan satu negara, pusat segalanya.

Sependek ingat Raden, perjalanan dari Kota Mawar menuju satu-satunya stasiun di Provinsi Lavender, sebuah provinsi kecil di ujung selatan pulau Jawa—tujuan Raden saat ini—memakan waktu 10 jam, dengan perhentian di 8 stasiun.

Biasanya, gerbong mulai ramai setelah melewati stasiun ketiga, lalu kembali senyap di stasiun ketujuh.

Raden membenarkan posisi duduk, berpikir dalam diam.

Mana yang harus ia isi lebih dulu, perut atau kepala?

Mengisi kepala artinya ia akan kembali menyalakan ponsel, menjejalkan berbagai informasi untuk diproses.

Mengisi perut artinya ia akan berjalan menuju gerbong kantin—atau menahan sedikit lagi hingga para prama-prami menawarkan makan malam.

Dulu, Helmi selalu mengajak Raden berjalan menyusuri gerbong kereta. Dari ujung ke ujung, mereka berjalan santai, bagai sedang menikmati pemandangan sore di bibir pantai.

Saat melewati gerbong kantin, Helmi akan tersenyum senang—berpura-pura sedang berada di restoran, makan berdua dengan Raden bagai dinner romantis yang selalu mereka lakukan tiap seminggu sekali.

Raden mengerjap beberapa kali.

Lucu.

Lucu bagaimana otak manusia bekerja dan bercabang kesana kemari.

Bukankah Raden baru saja membuat dua pilihan dengan dua tindakan? Mengisi kepala dengan tetap di tempat sambil menyalakan ponsel, atau mengisi perut dengan berjalan ke gerbong kantin?

Mengapa kepalanya justru membawanya pada pilihan ketiga? Diam di tempat, tak menyalakan ponsel, namun tetap mengisi kepala.

Aneh.

Aneh bagaimana Raden mengetahui pilihan ketiga tak pernah ada namun tetap melanjutkan kegiatannya.

Setelah sedikit perdebatan antara rasa dan akal sehat, Raden memilih untuk mengisi kepalanya lebih dulu.

Mengisi perut bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Namun memikirkan Helmi, muara kesedihannya, hanya dapat ia lakukan saat ia sedang sendiri; jauh dari hiruk pikuk; dan memiliki cukup waktu.

Seperti sekarang.

Atau, memang pada awalnya, Raden sengaja memilih menggunakan kereta api agar ia bisa berdiam lama-lama, memikirkan luka yang tak kunjung sembuh meski sudah lima tahun ia kubur jauh-jauh.

Raden menghela napas panjang.

Bagaimana jika kita menghela napas sejenak lalu mengistirahatkan punggung di sandaran kursi?

Biarkan Raden tenggelam dalam pikirannya yang penuh arus dan pusaran.

Mulai dari mana ya?

Haruskah Raden mulai memikirkan tentang kenangan manis bersama Helmi?

Mungkin awal pertemuan? Saat mereka pertama kali berkenalan di bangku SMP. Di kampung halamannya, Kota Asoka. Dua jam perjalanan darat dari Kota Mawar.

Raden hanyalah anak baru—ia pindah sejak kelas 4 SD—datang dari kota kecil, mengikuti orang tuanya yang menyongsong pundi-pundi uang ke Kota Asoka.

Rumahnya dekat dengan rumah Helmi, hanya berjarak dua gang. Namun mereka baru sempat berkenalan saat bangku SMP.

Saat itulah, Raden mulai mengenal teman lain dari Coksu. Aji, Naresh, dan Leo—yang rumahnya masih satu gang dengan Helmi.

Benar, Raden hanya pendatang baru di pertemanan mereka yang telah erat sejak dini. Tapi Raden kecil tak peduli. Pertemanan mereka indah—seingatnya. Bermain video game hingga larut malam, saling berbagi contekan saat mengerjakan tugas, dan saling berbagi rahasia.

Raden menghabiskan masa remajanya bersama Coksu—terutama Helmi, yang menjadi kekasihnya di tahun pertama SMA.

Terutama Helmi, cinta pertama Raden.

Terutama Helmi, pacar pertama Raden.

Terutama Helmi, ciuman pertama Raden.

Terutama Helmi, si pertama dalam segalanya untuk Raden.

Hubungan mereka baik. Khas anak muda kasmaran ditambah sedikit bumbu kenakalan remaja—contoh: mencuri waktu ke kamar mandi saat jam kelas untuk ciuman, diam-diam meremas pantat saat mengantre di kantin, atau saling mengerling saat berpapasan di koridor.

Lelaki itu tak betah jauh-jauh dari Raden. Tiap hari ia mengunjungi rumah Raden, bahkan—kadang—menginap. Lalu bagaimana dengan keluarga Raden? biasa saja. Helmi sudah dianggap anak sendiri.

Helmi juga sering ikut Raden mengunjungi Eyang Putri dan Eyang Kakung, butuh enam jam naik kereta, namun Helmi tak protes. Ia senang bisa menghabiskan waktu dengan Raden, begitupun Raden, ia tak kalah senang.

Sejauh itu, menurut Raden, hubungan mereka sempurna. Raden memilih kampus yang sama dengan Helmi. Sedang kekasihnya memilih Fakultas MIPA, Raden memilih Fakultas Ekonomi dan Bisnis (dengan pertimbangan fakultas ini adalah satu-satunya fakultas di rumpun soshum yang gedungnya dekat dengan FMIPA).

Benar, Helmi adalah pusat dunia Raden.

Dalam setiap keputusan Raden, Helmi selalu ada dalam pertimbangan.

Mereka tak tinggal bersama, namun jarak kos mereka cukup dekat. Raden sering main—sekadar makan atau sekalian menginap, dan sebaliknya.

Semuanya terlihat sempurna dan baik-baik saja. Mereka tertawa bersama, menangis bersama, sesekali berselisih paham lalu diakhiri dengan cium manis.

Lalu, di mana letak kesalahannya?

Mungkin... ekspektasi.

Bahwa di dunia ini ada hubungan yang sempurna.

Bahwa Raden kira, semua yang ia berikan sudah cukup.

Bahwa Raden kira, ia adalah pusat dunia Helmi.

Semuanya salah.

Atau mungkin sempat benar.

Namun hari itu, tahun ketiga di kampus.

Semuanya masih tercetak jelas di kepala Raden.

Semester lima.

Hari Rabu, tanggal lima belas, pukul sepuluh malam.

Raden berjalan, membawa kue yang dibeli dari toko yang nyaris tutup di depan gedung Fakultas Kedokteran. Tak ada yang spesial, Raden hanya ingin menghabiskan waktu bersama Helmi setelah terlalu fokus pada delapan mata kuliah yang diambilnya semester ini.

Katanya, semester lima adalah semester terkutuk.

Bagi Raden, semester lima memang semester terkutuk.

Bukan karena mata kuliah yang mencekik atau tugas yang menggunung. Tapi karena ia melihat Helmi mencumbu Jeno di remang kamar kos, di ranjang yang biasa ia gunakan untuk bercumbu dengan Helmi.

Dan bibir yang selama ini ia kecup, tengah mendesahkan nama lain.

Ah, anjir.

Raden seperti terlempar kembali ke masa sekarang. Bayang-bayang kejadian itu masih tercetak jelas di kepala. Aroma manis kamar Helmi yang bercampur wangi cairan pengharum pakaian. Rasa dingin di seluruh tubuh Raden setelah menerjang dinginnya udara malam. Cairan-cairan panas di pelupuk mata.

Semuanya masih tercetak jelas. Setiap detailnya terpahat sempurna.

Raden mengusap wajah. Mengambil napas dalam sebelum kembali menatap keluar jendela.

Deru kereta api menjadi musik pengiring di telinga. Kerlip lampu-lampu rumah dan jalanan menjadi tontonan dari bingkai jendela.

Raden mengamati gerbong kereta yang terasa lebih gelap. Seluruh tubuhnya mulai menggigil. Lelaki itu membenarkan posisi duduk, menarik selimut yang tersedia di bawah bangku, menggunakannya.

Mungkin Raden harus mengurungkan niatnya mengisi perut. Ia mendadak merasa kenyang, mungkin karena isi kepalanya terlalu penuh.

“Bapak dan Ibu, dalam beberapa menit Tangkas Cepat akan tiba di Anyelir, untuk semua penumpang untuk mengakhiri perjalanan di Anyelir...

Raden terkesiap.

Suara pengumuman kereta, mereka telah mencapai stasiun kedua. Semenit kemudian, laju kereta melambat, semakin lambat, semakin lambat, lalu berhenti.

Suara pintu kereta terbuka disusul riuh percakapan membuat Raden sedikit terjingkat. Aroma manis roti khas stasiun serempak menyerbak bersama beberapa orang yang memasuki gerbong.

Ia memandang sekitar, mengamati penumpang-penumpang baru, beberapa kesusahan mengangkat koper, beberapa menggunakan jasa porter

Pandangan Raden kembali dilempar pada bingkai jendela yang menampakkan keramaian stasiun. Orang-orang sibuk berjalan kesana kemari, beberapa sibuk diam. Kerlip cahaya dari toko roti, minimarket, dan rumah makan bersatu memeriahkan stasiun.

“Permisi, kosong?”

Raden menoleh.

Sesosok lelaki, menenteng koper di tangan kanan; tiket di tangan kiri; dan berbagai bawaan lain, tengah memandang Raden, memberi senyum terbaik. Lelaki itu terdiam, seolah menunggu jawaban dari Raden.

Markus

Dua alis Raden terangkat. Seluruh instingnya menyala-nyala.

Ini kursi kereta api—tempat duduk sudah diatur dan ditetapkan di tiket, bukan kursi di warung pecel lele yang bisa diduduki sembarang orang.

Mengapa orang di depan Raden menanyakan kekosongan kursi ini? Pertama, jelas Raden tak tau karena ia menduduki kursi sesuai nomor di tiket. Kedua, lelaki ini seharusnya tak bertanya dan langsung duduk jika kursi di samping Raden memang kursi yang tertera di tiketnya, ya kan?

Tak urung, Raden menjawab apa adanya, sesuai dengan fakta yang diketahuinya sejauh ini, “Kosong.”

“Iya lah, kan ini kursi gue.” Lelaki itu terkekeh. Ia segera menaruh koper di bagasi kereta lalu duduk di samping Raden.

Wow.

Raden tak berkomentar. Ia hanya mengerjap dua kali sebelum kembali menatap keramaian stasiun.

Just another day of meeting weird strangers in the public trasnsportation.

Hal seperti ini biasa terjadi. Raden sering menggunakan transportasi umum untuk pergi kemana pun, jarak jauh maupun jarak dekat, antar kota atau pun antar provinsi.

Ia juga sudah (terlalu) sering terjebak dalam situasi bersama orang asing dengan berbagai karakter. Yang suka mengajak bicara santai, yang suka tiba-tiba curhat tentang perjalanan hidup, yang hanya diam, atau yang mendadak canggung dan merasa memiliki kewajiban untuk mencairkan suasana.

Lelaki di samping Raden—sepertinya—adalah tipe orang asing yang terakhir. Raden mengetahui dari cara lelaki itu melirik ke tempat lain dan sesekali mencuri pandang pada Raden.

“Markus.” Tangan lelaki itu terulur.

Nah, kan.

“Raden.” Jawab Raden singkat, menerima uluran tangan itu.

Lelaki itu—si Markus, kembali menarik tangan. Dua mata bulatnya sedikit bersinar menatap Raden.

Raden hanya membalas dengan senyum simpul, mungkin lelaki di sampingnya sedang merasa bangga pada diri sendiri karena sudah berani mengajak Raden berkenalan.

“Gue turun di stasiun Anggrek, lo?”

Raden terdiam untuk beberapa saat, Stasiun Anggrek adalah stasiun kelima, jadi mungkin tak ada salahnya menanggapi lelaki ini—paling hanya butuh waktu tiga jam.

“Stasiun Lavender.” Jawab Raden singkat.

Mata Markus makin membulat, “Really? Jauh banget!”

Raden tersenyum kecil.

“Ada saudara lo di sana? Atau lo emang tinggal di sana?” Markus mengambil snack dari tote bag yang sedari tadi diletakkan di lantai, “Gue selalu pengen ke daerah Lavender, terutama di pantai pasir putihnya.” Tangannya mengulurkan snack keripik kentang itu.

Raden menggeleng. Ia tak suka makanan ringan semacam itu—terlalu asin.

“Kenapa? Ini enak, kok. Nggak usah sungkan,” Markus semakin menyodorkan snack-nya, “Ambil aja.”

Demi sopan santun, Raden akhirnya mengambil satu keping keripik kentang, “Makasih.” Lalu ia makan perlahan, dari ujung, menyicip setiap asin yang memenuhi lidah.

Singkat cerita, mereka berbincang untuk tiga jam ke depan.

Markus adalah seorang penulis novel—tentang dua orang yang terisolasi di pulau terpencil selama empat puluh hari. Atau lebih tepatnya, Markus adalah seorang penulis tersohor. Raden tau sinopsis novel itu, namun ia lupa judul dan—tentu—tak ingat siapa penulisnya.

Perbincangan terus berlanjut dan Raden hanya memberi respon seadanya. Tak melebih-lebihkan, juga tak terlalu mengabaikan.

“Bentar lagi gue turun.”

Yeah, udah tau.

Raden terus menantikan pemberhentian di stasiun kelima.

Oh, before that,” Markus merogoh saku celana, mengambil sebuah benda dari sana.

Duh...

Raden sudah tau apa yang akan dilakukan Markus. Lagi-lagi, ia sudah sering mengalami kejadian seperti ini.

Can I have your number?” Markus menyodorkan ponsel.

Raden terdiam.

Absolutely, NO.

“Hmmm...” Raden menggeleng pelan, “No?”

Markus terkesiap, ia mengerjap beberapa kali, “N—no?”

Raden mengangguk.

“Kenapa?” Terlihat raut kecewa dan penuh tanda tanya dari Markus.

Oh. How rude.

Raden sudah tau, ia sudah paham dengan pola-pola klasik seperti ini. Setelah memberikan nomor ponsel, pasti Markus akan terus menghubunginya—mungkin karena Markus tertarik?

Tapi Raden sama sekali tak tertarik.

Masa bodoh jika Raden terlihat narsis. Ia selalu berantisipasi, dan ini lah caranya menjaga diri.

Untuk menghindari rasa tak nyaman di masa yang akan datang, Raden tak ingin lebih dekat dengan lelaki ini.

Jika ditanya, mengapa Raden tak mau lebih dekat dengan Markus?

Alasannya banyak.

Dimulai dari seberapa buruk first impression yang diberikan Markus.

Masalahnya, begini.

Dulu, Helmi juga tipe orang yang persis seperti Markus. Sok akrab, ingin membangun hubungan saat baru pertama bertemu.

Harus diakui, sebanyak rasa yang ia miliki untuk Helmi, sebanyak itu pula ia menolak untuk memiliki hubungan dengan orang yang mirip Helmi.

Kedua, alasan yang lebih personal, Raden merasa Markus adalah tipe orang yang... tidak sopan. Entah Raden yang over polite karena dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga asli Jawa, atau Markus memang tak sopan secara umum.

Namun, menurut Raden, langsung menggunakan gue-elo di pertemuan pertama bukanlah pilihan yang tepat. Ia risih.

Ketiga, bagaimana Markus secara sepihak memutuskan bahwa Raden menolak keripik kentang yang ditawarkan karena rasa sungkan.

Keempat, Markus adalah penulis novel. Kepalanya pasti penuh dengan berbagai skenario yang bisa saja digunakan untuk memanipulasi Raden suatu saat nanti.

Bukannya terlalu men-judge, tapi Raden bukan lagi anak SMA yang mudah terbuai.

Selama lima tahun menjadi pacar Helmi, Raden menyadari, hubungannya tak sempurna. Semua yang dilakukan Helmi padanya—bisa saja—hanyalah pura-pura.

Selama lima tahun menjadi mantan Helmi, Raden menyadari, manusia hanya akan terus mencari pembenarannya sendiri. Helmi selalu mencoba menjelaskan pada Raden tentang kejadian itu.

Apakah Raden memberi kesempatan untuk Helmi menjelaskan? tentu.

Hanya saja, kalimat pertama yang diutarakan Helmi selalu berusaha menjustifikasi perselingkuhannya. Maka Raden selalu memotong Helmi di kalimat pertama lalu memutus semua kesempatan.

Tak ada lagi penjelasan.

Helmi, yang bukan penulis terkenal, bisa melakukan itu semua. Apalagi Markus yang seorang penulis terkenal, ya kan?

Kelima, bagaimana Markus berusaha mempertanyakan alasan Raden menolak. Lelaki itu jelas seseorang yang lamban dan tak peka.

Menurut Raden, mempertanyakan alasan seseorang menolak sesuatu dalam ranah personal, adalah hal yang kasar dan tak pantas.

Mengapa Raden harus menjelaskan alasannya menolak padahal dari awal ia memang memiliki pilihan memberi atau menolak?

Coba jika posisi ini diputar, Raden setuju memberikan nomor ponsel, tentu Markus tak akan menanyakan apa pun, bukan?

Raden menghela napas. Kalimatnya sudah tersusun. Jika Markus memang menuntut penjelasan, ia sudah siap melempar tiap alasan.

Namun belum sempat Raden menjelaskan, pengumuman sudah mulai disiarkan. Kereta mulai melambat.

Markus menarik kembali uluran ponsel, tersenyum, “Well, then... it's nice to meet you, Raden.” Alih-alih, ia mengulurkan tangan kosong, mengajak berjabat tangan.

Raden segera menelan kembali seluruh kalimat yang sudah di ujung lidah, menerima uluran tangan Markus, “Hati-hati, Markus.”

Markus mengangguk, masih dengan senyum di wajah. Ia mulai bangkit, mengambil koper di bagasi dan merapikan pakaian, bersiap turun.

Pandangan Raden kembali dialihkan pada selimutnya yang mulai turun, membenarkan posisi lalu sedikit menarik selimut. Bersiap tidur.

“Raden.”

Yang dipanggil menoleh, memandang Markus yang—sepertinya—sudah siap melangkah namun mengurungkan niat.

“Biar nggak salah paham aja,” Markus sedikit menggaruk ujung telinga, “Gue orang baik-baik.”

Raden mengernyitkan dahi.

Yeah, sure. Terus kenapa? dulu Helmi juga orang baik-baik, tapi liat, dia sekarang nikah sama selingkuhannya.