Saat yang Kamu Miliki Hanya Diri Sendiri

Entah bagaimana, Raden akhirnya berjalan keluar rumah.

Di rumah terlalu sesak, katanya.

Ada kabut hitam yang memenuhi seluruh rongga dada, membuat seluruh diri merasa kosong, gelap, dan hampa.

Tak ada lagi air mata yang turun dari mata. Sungai dalam pelupuk telah kering sejak lama.

Kaki Raden terus dilangkahkan hingga melewati beberapa rumah yang jendelanya telah menghitam.

Hoodie abu-abu yang dikenakan seolah tak mampu menahan dinginnya angin malam yang berhembus di selip-selip dedaunan. Tubuh lelaki itu sedikit menggigil.

Mata Raden melirik jalanan yang telah sepi.

Baru pukul delapan malam namun seluruh aktivitas di desa telah terhenti. Mungkin hanya satu-dua kendaraan lewat.

Remang.

Lengang.

Sepi.

Sendiri.

Sembari melangkah, Raden menatap ujung kaki.

Kosong.

Seluruh tubuhnya terasa kosong.

Namun anehnya, tubuh kosong ini justru memberatkan tiap langkah.

Raden berjalan lunglai.

Ia seperti berdiri di tengah tanah lapang tanpa ujung,

dan saat ia berusaha melihat sekitar, matanya hanya disambut gelap.

Raden sedikit mendongak, menatap langit malam melalui lensa kaca mata.

Bintang-bintang bertaburan dihias setengah rembulan.

Katanya, gelap dan terang selalu bersisihan. Gelap hanya akan terasa saat akhirnya kita melihat terang, dan sebaliknya.

Pada intinya, mereka harus bersama.

Namun, bagaimana jika yang kamu miliki hanya gelap?

Bagaimana jika terangmu lebih memilih berpendar di tempat lain yang telah bercahaya agar menjadi lebih mewah?

Bagaimana jika kamu harus bertahan sendiri ditimpa gelap?

Kamu... harus bagaimana?

Bagaimana jika...

Ketakutanmu benar-benar terwujud?

Bagaimana jika...

Karena terlalu sering mengabaikan perasaan sendiri, orang lain juga ikut mengabaikan perasaanmu?

Bagaimana jika akhirnya,

Kamu harus menguatkan diri sendiri?

Saat kamu tak mampu bertumpu di atas dua kaki?

Ah...

Raden kembali menunduk, menghembuskan satu helaan napas.


Entah sudah sejauh mana Raden melangkah.

Ujung bibirnya terangkat.

Dulu, ia selalu mengusir orang lain yang datang mengasihani.

Mengatakan, nggak apa-apa dan tersinggung saat orang lain menatap naas.

Dulu, Raden menolak tiap air mata yang turun karena masa lalu.

Nggak sudi nangisin orang kayak gitu, katanya.

Dulu, saat seluruh mata ditujukan pada Raden, ia membentak dalam diam, matanya berseru aku pengen sendiri!

Namun, ia tak tau bahwa sendiri, semenyakitkan ini.

Detik ini, Raden tersiksa sendiri.

Detik ini, Raden harus mengasihani diri sendiri.

Detik ini, Raden harus menangisi diri sendiri.

Detik ini, Raden harus menenangkan diri sendiri.

Raden benar-benar sendiri.