Sarapan Soto

“Kamar gue di lantai 2. Tenang aja, kasurnya gede, kok. Bersih juga karena ada Mami.” Raib berjalan santai di dapur.

Hugo mengikutinya dari belakang, tersenyum mendengar cerita Raib tentang rumahnya, “Terus nanti aku diajak jalan-jalan kemana aja?”

Raib menggumam pelan. Tangannya sibuk menyiapkan mangkok di meja makan, “Lo tau kan gue males jalan-jalan, di kamar gue aja sih entar bisa liat—eh aduh.” Ia kesusahan membuka ikatan plastik soto itu, “Aduh apa gue gunting aja ya?” Ia menyerah, menurunkan plastik berisi soto itu, tangannya terasa panas.

“Ujung sini sama ujung sini di pegang, terus tarik yang ini.” Hugo menunjukkan titik-titik penting dalam membuka ikatan di ujung plastik.

Raib menuruti instruksi Hugo.

Berhasil.

Tangannya mulai berpindah memegang ujung belakang plastik, hendak menumpahkan soto ke mangkok.

Tapi tangannya ragu, ia takut soto itu tumpah ke luar area mangkok. Raib tak pernah 100% sukses dalam urusan memindahkan makanan berkuah dari plastik ke mangkok. Pasti ada yang tumpah dari plastik.

“Langsung tumpahin aja,” Hugo ikut mengamati, “Kalau kamu ragu-ragu nanti sotonya malah ngalir balik lewat bawah plastik terus tumpah kena meja, namanya Coanda—

Hugo tak melanjutkan kalimatnya. Ia mematung.

Raib kembali menurut pada Hugo, tangannya menumpahkan soto tanpa keraguan sama sekali.

Berhasil. Sotonya tak tumpah.

Raib tersenyum penuh kemenangan, “Gila, apa tadi namanya? Anakonda?”

Senyum Raib sirna saat mendapati Hugo sedang menatapnya dengan tatapan kosong.

“Hugo?” Raib memanggil, “Kenapa?”

Mata Hugo bergerak cepat, “Raib.” Ia menatap Raib dengan mata sedikit melotot.

“Kenapa?” Raib bingung. Tak mengerti apa yang membuat Hugo mematung dan terdiam. Ia terlihat seperti seseorang yang diburu.

Hugo segera melesak menuju kolong meja.

“Hugo!” Panggil Raib sekali lagi. Ia mengikuti Hugo.

“Senter.” Ucap Hugo, ia memandangi papan meja dari bawah, tempat bekas noda darah itu terlihat.

“Kenap—”

“Senter.”

Raib menurut, mengeluarkan ponsel lalu menyalakan blitz. Memberi cahaya di daerah papan meja.

Bekas darah itu masih di sana.

Hugo keluar dari kolong meja, kembali berdiri.

Raib mengikuti.

“Nggak—Nggak mungkin. Darah nggak bisa gitu.” Hugo meracau. Ia mondar-mandir di depan Raib.

“Kenapa?” Pandangan Raib mengikuti Hugo yang mondar mandir di depannya.

“Darah bukan benda cair biasa. Bukan. Ada campuran benda solid.” Hugo terus maracau, ia menggigit bibir bawah, pandangannya bergerak tak pasti, “Terus kenapa?!” Ia menoleh pada Raib, raut wajahnya panik dan pucat.

“Apa?!” Raib balas berseru, “Diem!” Serunya sekali lagi, “Jelasin ke gue!”

Hugo terdiam. Menatap Raib, “Raib, ini nggak masuk akal.”

“Apa?!”

Hugo tak menjawab. Matanya terus memandang di satu titik, lalu menggeleng, “Nggak bisa gini.” Lalu kembali memandang di satu titik.

“HUGO!” Bentak Raib akhirnya.

Hugo tersentak, ia mengalihkan pandangannya pada Raib. Tak lama pandangannya turun, lalu menembus ke belakang tubuh Raib, melihat di satu arah.

Ada hening panjang untuk beberapa saat. Suara burung mengetuk kaca jendela dapur tak membuat perhatian keduanya teralihkan. Raib masih menatap Hugo dan Hugo masih terpaku pada satu titik.

“Raib,” Ucapnya kemudian, “Kita masuk ke kamar kamu sekarang. Kita packing. Kita pergi dari sini.”

Kini Raib yang mematung.


Coanda Effect

cw / harsh words

Hugo dan Raib kini sudah memasuki kamar. Acara sarapan soto dibatalkan.

Raib menuruti Hugo, memulai packing. Namun kepalanya masih penuh tanda tanya.

“Hugo, jelasin.” Ucap Raib untuk kesepuluh kalinya. Ia benar-benar tak sabar. Hugo hanya terdiam sejak tadi.

“Aku jelasin kalau kita udah pergi dari sini.” Hugo masih berdiri, bersandar di dinding, menunggu Raib sambil kakinya terus bergoyang tak sabaran, ujung kukunya digigiti. Seluruh badan Hugo tak sabar menanti Raib meninggalkan kos ini.

Raib meletakkan kopernya. Menghempaskan tubuh di kasur. Memilih duduk di ranjang, “Gue nggak akan pergi kalau lo nggak mulai jelasin.”

Hugo melotot, “Raib.”

“Hugo.” Mata Raib balas menatap tajam.

Setelah aksi saling tatap selama puluhan detik, Hugo mengalah, “Oke.”

Raib membenarkan posisi duduk, bersiap mendengar penjelasan Hugo.

“Kamu pernah denger Coanda Effect?”

Raib menggeleng.

“Kamu pernah nuang air dari gelas 1 ke gelas 2 tapi airnya malah ngalir ke sisi gelas 1 terus akhirnya tumpah?”

Raib terdiam. Ia tak paham.

Hugo mengusap wajahnya kasar, tangannya merogoh ponsel, dengan cepat mengetik di mesin pencarian lalu menunjukkan satu gambar pada Raib.

“Gini. Liat arah airnya.”

Coanda Effect

Raib mengangkat dua alis, “Oh iya! Paham. Kayak kuah soto yang mau tumpah dari plastik tadi.”

Hugo mengangguk, “Nah itu. Namanya Coanda Effect. Benda cair yang mengalir, kalau kena permukaan yang bengkok, bakal cenderung ngikutin permukaan yang bengkok itu daripada membentuk satu garis lurus.”

Raib terdiam, menggigit bibir bawah. Menggumam sejenak, “Intinya?”

Ada hening sebelum Hugo kembali melanjutkan, “Raib, darah di bawah meja itu, bisa aja darahku.”

Diam.

Raib menatap Hugo tak percaya. Apa yang ia lewatkan hingga Hugo bisa mengambil kesimpulan demikian?

“Kenapa?” Ujar Raib lirih.

Hugo menyurai rambutnya cemas, “Aku juga mikir gitu. Kenapa? Darah nggak secair air biasa. Ujung meja juga bentuknya nggak melengkung. Nggak bisa segampang itu kena hukum buat benda cair.”

Raib kembali terdiam.

Sial, kepalanya pening.

“Tapi, Raib,” Hugo menatap Raib cepat, “Kamu inget Bu Shania ganti vas bunga itu?”

Raib mengangguk.

“Di dalem vas bunga itu, ada banyak air.”

Raib mematung. Mulai memahami arah pembicaraan ini.

“Ada genangan darah di atas terus vas itu ikut tumpah—mugkin darahnya ikut kesiram, jadi darahnya ngalir sampe bawah meja.”

Raib terdiam. Kepalanya belum siap menerima semua informasi yang diberikan Hugo.

“Darahnya pasti banyak banget.” Hugo menelan ludah.

Raib menatap pias. Tak berani mengeluarkan satu patah kata pun. Ia tak pernah melihat Hugo sepanik ini. Kalimatnya lebih mirip racauan, ada banyak informasi yang tak dijelaskan Hugo.

“Darahnya pasti lebih banyak dari air di vas. Sampai bekasnya masih keliatan banget gitu. Kalau airnya lebih banyak, bekasnya pasti tipis—atau malah nggak keliatan sama sekali.” Hugo memijat pelipisnya.

Senyap kembali menyergap.

Di luar, samar-samar deru kendaraan berseru silih berganti. Sesekali terdengar klakson saling bersautan dan dedaunan tertiup angin.

“Hugo,” Panggil Raib pelan, “Bagus dong?”

Hugo melotot, “Apanya—”

“Kalau itu darah lo. Badan lo cuma ada di sekitar kos sini, atau mungkin nggak jauh dari sini. Kita bisa mulai pencarian dari dalem kos,” Raib membongkar kembali kopernya, “Abis itu kita ke area sekitar kos, gue yakin—”

“Raib.” Panggil Hugo.

“Gue yakin badan lo bentar lagi ketemu.” Raib tak mengacuhkan panggilan Hugo, tangannya sibuk membongkar barang-barang dari koper.

“Raib.” Panggil Hugo sekali lagi.

Kini Raib beralih ke tas ranselnya, mengeluarkan jurnal penyelidikan dan buku notes Hugo, “Gue nggak akan pergi kemanapun. Kita bakal tetep di sini. Semua penghuni kos lagi pergi, sekarang kesempatan yang paling bagus buat gue cek satu per satu—”

“RAIB! GUE UDAH MATI!”

DEG!

Raib segera menoleh. Matanya menatap tajam, “Hugo?! Lo nggak boleh bilang—”

“GUE. UDAH. MATI.” Hugo menegaskan sekali lagi, wajahnya pucat pasi dan matanya menatap sendu.

Mata Raib terasa luar biasa pedas. Tenggorokannya terasa sesak, ia tak mampu mengucapkan satu kata pun. Ia tercekat. Bukan hanya karena kalimat Hugo yang mencabik seluruh harapannya, tapi juga karena perubahan emosi yang drastis dari Hugo.

Hugo memejamkan mata. Tangannya naik, mengusap wajah yang terasa lebih dingin dari biasanya.

“Darahnya lebih banyak dari jumlah air di vas, Ib...” Ucap Hugo lirih, “Nggak mungkin gue masih hidup...”

Raib menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, “Hugo. Justru itu,” Ia menelan ludah, menghilangkan rasa pahit yang terasa di bibir, “Kita bakal nyari badan lo. Dimanapun, dalam keadaan apapun.”

Lengang.

“Raib, pulang aja.” Hugo menatap Raib dalam-dalam, “Pergi dan jangan pernah bali ke kos ini.”

Raib mengangkat wajah, memandang Hugo tak terima, menggeleng cepat, “Nggak. Lo udah bilang. Darah di dapur itu darah lo. Artinya badan lo ada di sekitar sini! Gue bakal nyari—”

“Raib!” Bentak Hugo, “Gue kemungkinan besar udah mati. Tapi lo,” Ia mendekat, jarak keduanya tinggal sejengkal, “Lo masih hidup. Ini bukan tentang gue, ini tentang lo!”

Raib membalas tatapan Hugo dengan penuh tanda tanya, “Kita harus cari sekarang. Kita udah sedeket ini, Hugo.”

“Raib.” Desis Hugo dengan nada rendah, giginya bergemelutuk, “Ada orang yang bunuh gue, di kos ini. Dia bukan cuma bunuh gue, Ib. Dia ngilangin badan gue, ngilangin bekas darah di dapur, ngilangin jejak biar nggak ada satu orang pun yang bisa ngelacak gue.”

Ruang kamar terasa lengang.

Seluruh tubuh Raib bergetar. Ada rasa ngeri yang hinggap di tengkuknya.

Hah?

Ribuan pertanyaan berdesakan di kepala Raib. Mendadak telapak tangannya terasa dingin, bibirnya ikut menggigil.

“Orang ini,” Lanjut Hugo, masih dengan desisan tajam, “Bisa ngelakuin itu semua ke gue,” Ia menatap mata Raib yang mulai mengkilat, “Dia, juga bisa ngelakuin itu ke elo.”

Raib terduduk di ujung ranjang. Kakinya tak mampu lagi menumpu. Ia mengusap wajah kasar. Tangannya bergeser hingga pelipis, memberi pijatan pelan di sana.

Seluruh tubuh Raib luar biasa lemas. Setiap kalimat Hugo, menikamnya berkali-kali, menghancurkannya tanpa ampun.

“Raib,” Hugo berlutut di depan Raib, “Lupain semuanya. Kita pergi dari sini.”

Raib mengangkat wajah, menatap kedua mata Hugo.

Hugo ternganga saat Raib menggelengkan kepala kuat-kuat.

“Raib—”

“Gue nggak akan pergi dari sini.”

No, never, without your body.” Lanjut Raib tegas sebelum Hugo memotongnya.

Hugo mengepalkan tangannya kuat-kuat, menunduk perlahan sebelum akhirnya kembali menatap Raib, “Kita pergi bareng dari sini, atau kita pisah di sini.”

Hancur sudah seluruh pertahanan Raib.

Bagaimana bisa semuanya berakhir seperti ini? Baru beberapa jam yang lalu mimpi-mimpinya dengan Hugo disusun rapi. Baru beberapa jam yang lalu tekadnya dibulatkan.

Di mana Hugo yang bersumpah akan selalu di sampingnya? Di mana Hugo yang berjanji akan selalu bersamanya?

Raib menampar kuat-kuat pipi Hugo.

Tak kena, tangannya hanya menyentuh angin, Raib nyaris terjungkal.

“BANGSAT!” Teriaknya. Napasnya tak beraturan, matanya menatap nyalang.

Raib berdiri.

BRAK!

Kakinya menendang koper. Membuat seluruh barang-barangnya luluh lantah di lantai. Kakinya terasa luar biasa nyeri.

Raib menatap dinding kamarnya. Berpikir sejenak.

“Raib—”

Yang dipanggil langsung menoleh, “Nggak.” Ucapnya mantab, “Gue nggak akan pergi. Gue akan cari badan lo. Dengan keadaan hidup atau mati. At all cost.” Matanya menatap Hugo dalam.

Hugo ikut berdiri. Matanya balas menatap Raib.

Ada hening yang ganjil.

Raib tak dapat membaca tatapan Hugo sama sekali.

Setelah hening berdenging, suara Hugo terdengar,

“Kalau gitu. Maaf, Raib.”

Mata Raib membulat saat Hugo berancang-ancang di depannya.

Fuck. Dia mau bikin gue pingsan? Atau mau ngerasukin gue?

Langkah Raib perlahan mundur hingga punggungnya menyentuh dinding. Ia terpojok.

Hugo telah berlari mendekatinya, dengan cahaya yang luar biasa terang.

Raib ikut berlari, berusaha menggapai pintu kamar.

Namun terlambat.

Kegelapan lebih dulu menyapanya.