Sebuah Jalan

Katanya, takdir selalu memiliki caranya sendiri untuk membuka jalanmu. Entah ia memberimu petunjuk agar tak hilang arah atau mendorongmu hingga jatuh dan berdarah.


Raden sedang termenung di teras, tempat ini menjadi lokasi favoritnya untuk menata pikiran satu per satu.

Kini, lelaki berkacamata itu tau mengapa Eyang Kakung sering duduk di sini sembari menghisap lintingan tembakau. Udara yang sejuk dan kepulan asap yang mencekik—keduanya terpadu sempurna dengan hijaunya halaman depan dan lapangnya jalanan.

Hari telah beranjak malam. Raden baru saja membasuh diri, rambutnya masih setengah basah.

Resahnya tadi pagi benar-benar terjadi, ia bertemu Julian di Aula Rosemari.

Tapi sebelum bertemu Julian, Raden bertemu dengan beberapa fakta yang membuatnya seperti sekarang—diam, termenung di teras.

Pagi tadi semua berjalan biasa. Raden memasuki Aula Rosemari bersama Eyang. Area yang biasa digunakan menjadi tempat olahraga itu telah disulap sedemikian rupa hingga menjadi beberapa bilik dan ruang tunggu luas di tengah.

Pelayanan yang disediakan adalah cek tekanan darah, kolesterol, kadar gula, dan konsultasi dengan dokter umum.

Ada sekitar empat dokter yang disediakan. Raden yang awalnya hanya ingin mengantar Eyang, akhirnya ikut memeriksakan diri.

Sampai Raden mendapat nomor antrean, ia tak berjumpa dengan Julian.

Raden memasuki bilik pemeriksaan lebih dulu dari Eyang—sebenarnya Eyang yang seharusnya masuk lebih dulu, tapi beliau lebih memilih untuk tetap tinggal di kursi tunggu bersama beberapa tetangga—asyik berbincang (garis miring bergosip).

Semuanya lancar dan baik-baik saja.

Hingga Raden bertemu dengan dokter yang akan memberikan konsultasi untuknya.

Dokter Joana.

Dokter Joana

Hal yang membuat Raden tertegun adalah kalimat sapaan yang memasuki telinganya begitu ia duduk di bilik 2x2 meter itu,

“Hai, Raden,” mata bulatnya terlihat berbinar, “oh, ini pasti Raden temennya Iyan ya?”

Satu-satunya nama Iyan yang Raden kenal hanyalah Iyan dari Julian.

“Saya dulu satu angkatan sama Julian,” tangan wanita itu sibuk di atas meja—menari di laptop lalu berpindah pada berkas-berkas, “dia pernah bilang ada orang di sini yang alumni UM juga.”

Raden ingin menjawab, namun kepalanya terlalu sibuk mempertanyakan banyak hal.

Bagaimana Dokter Joana mengenal Julian?

Apa saja yang dikatakan Julian tentang Raden?

Kapan Julian bertemu Dokter Joana?

Belum sempat mengucap berbagai tanya, sesi konsultasi telah dimulai. Mau tak mau, Raden hanya memberi senyum simpul.

Pertanyaan itu terjawab saat istirahat makan siang.

Dokter Joana menghampiri tempat duduk Raden dan Eyang—untuk menyapa Eyang.

Dokter itu bekerja di puskesmas, rumahnya enam kilometer dari desa ini. Namun ia pernah beberapa kali berpapasan dengan Eyang—melalui Julian, tentunya.

“Aku ketemu Iyan terakhir ya pas acara tunangan Shelin itu, Oma.” Dokter Joana menyisip jus di tangan, “kenapa ya Iyan baik banget? Mau-mau aja bantuin Shelin.”

“Iyan emang begitu, toh?” Eyang berkomentar pendek.

“Tetep aja kalau aku yang di posisi Iyan, mending pura-pura nggak tau. Shelin kemana aja selama ini? Balik-balik minta tolong karena mau tunangan.”

Raden terdiam. Ia seperti tersesat. Kepalanya berusaha mencocokkan informasi yang telah ia terima dan kalimat yang baru didengar.

“Habis cerai Shelin ndak pernah kelihatan lagi—eh,” Eyang terdiam, tubuhnya telah menghadap Dokter Joana sepenuhnya, “pernah itu sekali kelihatan, tapi cuma sekali tok. Habis itu ilang.”

Dokter Joana juga telah menghadap Eyang sepenuhnya, “emang ilang, Oma,” ia merapikan anak rambut, “Iyan tanya kabar aja nggak dibales.”

Raden yang duduk tepat di belakang Eyang hanya melirik dua wanita di depannya bergantian.

Ia tak terlalu paham kemana arah pembicaraan ini, namun satu yang ia tau pasti.

Nama Shelin cukup buruk di mata kedua orang ini.

Tapi seingat Raden, Julian terlihat akrab dengan Shelin.

Bukankah Julian juga berkata bahwa Shelin adalah orang yang ramah dan supel? Artinya, Shelin seharusnya mudah disukai oleh orang di sekitarnya.

“Tapi aku sama Iyan sempet ngobrol bentar di telepon tadi malem,” Raden sedikit terkejut saat Dokter Joana mengucap demikian sembari menoleh padanya, “Dia cerita tentang Raden.” Senyumnya mengembang.

Deg.

Eyang ikut menoleh pada Raden, “Ngomong tentang Raden?”

Dokter Joana mengangguk, “katanya Raden baik, asyik, pinter juga—”

Telinga Raden tak lagi mendengar penuturan Dokter Joana.

Detik itu juga, Raden tau, Julian memang memiliki sifat demikian.

Membangun reputasi baik seseorang di depan orang lain.

Untuk apa?

Kenapa repot-repot membangun reputasi baik milik orang lain?

Hal ini yang menjadi tanda tanya besar (pertama) untuk Raden.

Tanda tanya kedua muncul setelah istirahat makan siang.

Giliran Eyang melakukan pemeriksaan, beliau menolak ditemani. Akhirnya Raden hanya duduk di kursi tunggu.

Lelaki itu sempat berbincang singkat dengan beberapa tetangga yang berpapasan atau duduk di sampingnya. Sebelum akhirnya Bu Ares datang.

“Eh, Raden.” Bu Ares dengan kemeja kuning muda dan celana kain hitam tersenyum cerah, “Oma mana?”

“Udah masuk, Budhe.” Raden menunjuk bilik pemeriksaan.

Mulut Bu Ares membentuk huruf O, lalu ia mendudukkan diri di samping Raden.

Mendapat kesempatan duduk berdua dengan Bu Ares membuat keinginan Raden untuk membicarakan Shelin semakin besar. Terakhir ia menanyakan tentang Shelin, Bu Ares tampak menyembunyikan banyak hal. Dengan informasi yang dimiliki Raden sekarang (langsung dari Julian dan sedikit dari Dokter Joana), sepertinya ia bisa mendapat kejelasan lebih lanjut.

Tapi Raden ragu. Haruskah ia menanyakan hal ini pada Bu Ares?

Detik itu juga. Pikiran Raden terbelah jadi dua.

Satu, yang berusaha menahan. Tak perlu mengorek masa lalu, Raden sudah memutuskannya semalam. Untuk menerima Julian, ia harus mengabaikan masa lalu lelaki itu karena masa lalu inilah satu-satunya penghalang besar yang membuat Raden ragu melangkah.

Kedua, yang meminta bersuara. Mungkin ada sisi lain yang harus didengar tentang masa lalu ini. Mungkin ada hal baru yang dapat membuat Raden menerima keberadaan masa lalu Julian.

Kedua sisi itu memiliki risikonya masing-masing.

Jika Raden mengambil pilihan pertama, mungkin ia akan melewatkan hal penting yang dapat ia ketahui sekarang.

Jika Raden mengambil pilihan kedua, mungkin informasi yang akan ia terima tak sesuai ekspektasi. Dan jika hal ini terjadi, Raden benar-benar harus menjauhi Julian.

Raden tak menyukai risiko kedua. Ia tak ingin dipatahkan saat sedang susah payah memulai. Tapi di sisi lain, benefit pilihan kedua terlihat lebih rasional.

Seperti yang pernah dikatakan Yoshi, menerima seseorang di hidupmu adalah hal yang tak mudah. Mengabaikan masa lalu hanya akan mempersulit.

Maka Raden mulai membuka suara. Menyapa Bu Ares, berbincang singkat tentang pemeriksaan yang sudah ia lakukan.

Lalu menanyakan tentang Shelin.

Tak secara langsung, Raden hanya sedikit menyinggung.

“Dokternya kenal sama Mas Iyan.”

“Oh, iya. Joana, ‘kan?” Bu Ares tampaknya lebih tau.

Raden mengangguk, “kenal Shelin juga.”

Bu Ares berdeham, “cerita ke kamu?”

“Iya.” Raden mengamati Bu Ares yang mengangkat kedua alis sebagai pengganti kata oh gitu, “kenapa ya, Budhe, cerita Dokter Joana sama Mas Iyan agak beda?”

Bu Ares segera menoleh, dahinya berkerut, “Iyan cerita apa?!”

Raden mulai menceritakan hal yang disampaikan Julian tempo hari. Tak secara keseluruhan, hanya garis besar. Tentang Julian dan Shelin yang telah merencanakan banyak hal sebelum pernikahan, dan perkara yang membuat keduanya berpisah.

Bu Ares mendengus kasar. Ia membuang muka sejenak sebelum kembali menoleh pada Raden, “itu lho, kadang baiknya Iyan bikin emosi.”

Raden tak menjawab, ia sibuk membaca raut wajah Bu Ares yang tampak kesal.

“Shelin itu nggak siap nikah. Iyan cerita ‘kan yang Shelin minta tinggal di deket rumah orang tuanya?!” Ucapan Bu Ares lebih mirip gerutu, “orang bangun rumah tangga kok masih bergantung ke orang tua. Tiap hari di rumah sini si Shelin selalu ngeluh kangen Mama-Papa. Anak itu kayak nggak pernah nganggep aku jadi orang tuanya. Dia malah pergi main-main sama teman-temannya dari pagi sampai sore.”

“Aneh ‘kan bilangnya kangen orang tua tapi malah nyuekin Mama mertuanya? Ditinggal terus? Masih ada aku, lho, di rumah.” Bu Ares kembali melanjutkan, kali ini dengan penekanan yang lebih mirip gemas.

“Aku nggak mau bilang gini,” Bu Ares sedikit memelankan suara, agak berbisik, “tapi istri macam apa yang tiap hari kelayapan? Semua kerjaan rumah aku lho yang urus. Dia cuma numpang tinggal aja.”

Raden tertegun, tak tau harus menjawab apa.

“Tapi Iyan emang gitu,” Bu Ares memajukan dagu—sedikit mencibir, “si Shelin mau gimana aja pasti dibelain, diturutin. Coba kalau Shelin minta pindah lagi ke rumahnya yang dulu, pasti Iyan mau.” Ia menyilangkan tangan di depan dada, tampak begitu kesal mengingat sifat anaknya dulu.

Bu Ares kembali menoleh pada Raden, “Untung aja Shelin minta cerai—”

Iki ngomongke opo toh….” (ini ngomongin apa sih…)

Pembicaraan itu segera terpotong saat Eyang kembali.

“Ini, lho, Mbak. Ngomongin Shelin.” Bu Ares menoleh dari arah Eyang datang, ia mempersilakan Eyang duduk di sampingnya.

Mbok ya udah to, Res. Ndak usah marah-marah, masalahmu sama Shelin udah selesai toh?” Eyang mendudukkan diri.

Raden baru saja akan menanyakan hasil konsultasi pada Eyang ketika Bu Ares sudah lebih dulu menyambar, “si Iyan ini, masih bela-belain Shelin di mana-mana, Raden baru aja bilang,” Bu Ares setengah melotot, mulutnya terbuka seolah tak percaya dengan apa yang telah dilakukan Julian, “wah panas hatiku Mbak denger ceritanya.” Ia mengelus dada.

Eyang segera melongok pada Raden—pandangannya terhalang Bu Ares, “ealah cah bagus, kamu ki ngapain cerita-cerita tentang Shelin?”

(Lagi-lagi) Raden belum sempat menjawab karena Bu Ares telah menjawab lebih dulu, “bagus Mbak, Raden cerita ke aku. Kan aku jadi tau.”

Pembicaraan itu langsung didominasi oleh Bu Ares dan Eyang.

Baru setelah pembicaraan itu selesai, Raden bertemu Julian di pintu keluar. Lelaki itu tengah duduk bersama Asahi dan Ningsih, tak ada yang mereka lakukan—hanya duduk.

Tak ada yang istimewa dari pertemuan singkat itu.

Hanya Julian yang menyapa Eyang dan Raden lalu menawarkan diri untuk mengantar pulang. Karena sedang bersama Eyang, Raden tak menolak. Apalagi berdasar hasil konsultasi dengan Dokter Joana, Eyang tak boleh terlalu banyak melakukan aktivitas yang mengharuskan beliau berdiri terlalu lama.

Tak ada yang istimewa dari perjalanan pulang.

Hanya mata Raden yang tak sengaja melihat gantungan kunci yang dulu ia beri tergantung manis di waist bag yang sering digunakan Julian.

Pembicaraan di mobil juga lebih banyak dilakukan oleh Eyang dan Julian.

Dan setelah semua hal yang terjadi, di sinilah Raden.

Merenung di teras rumah.

Lelaki itu tengah berpikir, matanya memandang lurus gelap malam.

Terlepas dari masa lalunya, Julian memiliki seluruh sifat yang disukai Raden.

Pekerja keras. Sopan. Mengerti batasan.

Mungkin itulah yang membuatnya luar biasa kecewa saat mengetahui sepak terjang dunia percintaan Julian. Mungkin itulah yang membuatnya sedikit merasa berat hati saat memutuskan untuk menjauhi Julian.

Raden tak menyesal menanyakan tentang Shelin pada Bu Ares. Ia jadi mengetahui satu informasi tambahan.

Julian memiliki satu sifat yang hampir sulit dimiliki semua manusia.

Tak berbicara buruk di belakang orang lain (sekalipun orang itu menyakitinya).

Bahkan Raden sendiri tak dapat menguasai sifat itu. Masih teringat dengan jelas saat ia membicarakan hal yang tak ia sukai dari Julian pada Yoshi.

Raden menghela napas.

Keindahan dari sifat itu adalah tentang menahan diri.

Raden menyukainya—keindahan dari menahan diri.

Ada banyak jenis dari menahan diri. Menahan diri untuk tak berucap hal yang ingin diucapkan, menahan diri untuk tak melakukan hal yang ingin dilakukan, menahan diri untuk tak mencela saat ingin mencela. Banyak.

Menahan diri adalah tentang menekan ego.

Seseorang mungkin harus jatuh dan bangkit berkali-kali sebelum dapat menekan egonya.

Raden pernah jatuh. Raden pernah bangkit. Namun masih terlalu sulit untuknya menahan diri.

Satu-satunya menahan diri yang pernah Raden lakukan—mungkin—saat ia menahan mulutnya untuk tak berbicara buruk di depan seseorang. Itupun bukan murni karena ia menekan ego. Itupun Raden masih berusaha—kadang ia kelepasan.

Mungkin Julian juga demikian—tak dapat melakukan semua jenis menahan diri.

Namun setidaknya, Raden tau, Julian berhasil menekan egonya.

Kesimpulan ini membawa Raden pada pintu pertanyaan lain.

Saat masih bersama Ratu, Julian jelas masih sulit menahan diri—pernikahan mereka akan utuh hingga sekarang bila saja Julian bersedia menekan egonya saat itu.

Bahkan di pernikahan kedua dengan Shelin, sepertinya Julian masih sulit menahan diri. Melihat bagaimana Julian bersikap all out bersama Shelin—dan bagaimana Julian menanyai wanita itu berulang kali sebelum memutuskan untuk cerai.

Dan Raden tak dapat membayangkan sejatuh apa Julian hingga lelaki itu berhasil menahan diri.

Berjuta tanya segera memenuhi kepala Raden.

Apakah—

Memangnya—

Benarkah—

Mengapa—

Ah….

Raden mengusap wajah lalu mengedipkan mata beberapa kali.

Apakah ia perlu memikirkan semuanya sedalam ini?

Tangan Raden bergerak mengusap lengannya yang terhembus angin malam.

Tapi ia tak ingin menyesal di kemudian hari karena tak menimang keputusannya dengan matang.

Untuk seluruh pertanyaannya...

Raden menggaruk dagu yang tak gatal.

Bukankah waktu akan menjawab segalanya?

Lelaki berkaca mata itu berdecak,

prinsip let it flow...

Raden tak suka.

Prinsip itu terlihat seperti seseorang yang membiarkan dirinya terbawa arus. Sedang Raden tak suka saat ia kehilangan kendali atas hidupnya.

Tapi seluruh pertanyaan Raden terlalu banyak untuk ditanyakan.

Jari Raden berputar membentuk lingkaran kecil di pegangan kursi, si pemilik tengah menimang banyak hal.

Ujung hati Raden mulai ambil suara.

Mungkin ini saatnya Raden harus mulai menekan egonya.

Mungkin, mungkin, Raden memang harus mulai menerima kehadiran Julian. Baru setelahnya, Raden akan mengambil keputusan saat ia telah mengenal Julian lebih jauh.

Mata Raden mengikuti jari telunjuknya yang masih berputar di pegangan kursi.

Katanya, saat seseorang memasuki hidupmu, kamu harus menyiapkan banyak pertanyaan yang harus terjawab tanpa ditanyakan. Panca inderamu harus diasah untuk menemukan tiap jawabnya—tersurat maupun tersirat.

Mungkin itulah jalan tengah yang harus Raden pilih.

Mengendapkan seluruh tanya, agar hanya ia yang tau. Dan menyerahkan sisanya pada waktu.

Raden menegakkan posisi duduk. Ia menarik napas sebelum menarik benang kesimpulan dari pikirannya yang kusut.

Ada begitu banyak tanda tanya yang harus dipenuhi Raden.

Untuk menjawabnya, hal pertama yang harus Raden lakukan adalah mempersilakan Julian memasuki hidupnya.

Raden melirik layar ponsel lalu mengusapnya pelan.

Pukul sembilan malam.

Masih belum terlalu larut untuk menghubungi Julian, ‘kan?