Selamat Pagi!

Masih pagi.

Jarum jam belum sempurna terbentang di angka dua belas dan enam.

Masih teramat pagi hingga hembus angin masih terasa dingin.

Namun mobil Julian telah terparkir sempurna di halaman rumah Raden. Tepat lima menit setelah Julian mengirimkan pesan terakhirnya.

Raden menahan napas saat sosok Julian turun dari mobil hitam.

Dari teras, Raden dapat melihat wajah Julian yang dua kali lebih cerah—mungkin karena terbasuh dinginnya air di pagi hari. Wajahnya terlihat lebih merah dengan rambut yang ujung-ujungnya basah—mungkin terciprat air saat ia mencuci muka.

Keduanya masih sama-sama mengenakan pakaian tidur—kaos polos dan celana training. Namun Raden merasa ia terlihat berantakan; sementara Julian terlihat menawan.

Duh.

Bagaimana bisa Julian terlihat begitu menarik hanya dengan balutan kaos hitam dan celana panjang abu-abu yang kedodoran?

Bagaimana bisa wajah—bangun tidur—Julian mampu membuat Raden menggigit bibir dan segera memalingkan wajah karena rasa panas menjalar di pipi?

“Dingin banget.” Ucap Julian begitu menginjakkan kaki di teras rumah Raden.

“Mau di ruang tamu aja?” Raden segera menawarkan.

Julian sedikit melongok—mengintip pintu rumah di belakang Raden, “Oma masih tidur ya?”

Raden mengangguk.

“Kalau gitu di luar aja, takut berisik.”

Yang lebih muda segera mempersilakan Julian duduk di kursi teras.


“Ngrepotin ya aku pagi-pagi gini udah bikin kamu buat teh.” Komentar Julian begitu melihat Raden membawa nampan berisi dua teh hangat.

Padahal dalam hati, Julian bersyukur.

Bukan karena ia haus atau membutuhkan kehangatan dari cairan panas itu, tapi karena ia membutuhkan waktu untuk berpikir.

Pagi tadi, jantung Julian seperti jatuh begitu saja saat membaca pesan dari Raden.

Pacaran.

Astaga, padahal tujuan Julian terus bergerak maju memang untuk mendapat status itu dengan Raden, tapi—justru—saat akhirnya hubungan mereka begitu maju—hingga Raden sendiri yang menanyakan status itu—Julian justru ketar-ketir.

Sekarang Julian membutuhkan waktu untuk menentukan topik bahasan dan merangkai kata—dengan kondisi jantung yang meloncat-loncat karena melihat wajah Raden yang berseri serta kondisi pikiran yang kacau karena belum lama tersadar dari alam mimpi.

Tapi di sisi lain, Raden memang berencana membuatkan Julian teh—entah lelaki itu menolak atau menerima—karena Raden juga membutuhkan waktu untuk mencerna semua yang terjadi.

Semuanya berawal dari pertanyaan sederhana dari Eyang, hubunganmu sama Iyan apa?

Dan dengan begitu banyak lika-liku, akhirnya Raden justru penasaran: memang apa yang akan berubah setelah dirinya dan Julian mengubah status?

Karena Raden memang penasaran.

Apa yang akan berubah?

Hubungannya dengan Julian sekarang sudah terasa dekat—menemani sampai larut malam, saling mengabari, pergi berdua—bukankah pertemanan mereka hampir sama dengan pasangan romantis di luar sana?

Lalu apa yang akan berubah?

Raden pernah berpacaran—sekali. Namun ia tak mungkin membandingkan hubungannya dengan mantan dan hubungannya dengan Julian sekarang, 'kan?

Karena Raden tak ingin melakukan wisata masa lalu di malam hari namun dorongan dari tanyanya begitu kuat, ia justru menanyakan pertanyaan itu pada Julian.

Tapi, semua itu sudah berlalu—lebih dari lima jam yang lalu. Seperti rasa-rasa lain yang akan mereda setelah dibawa tidur, rasa penasaran Raden telah hilang separuhnya.

Sampai akhirnya Julian melempar pertanyaan yang membuat Raden—mau tak mau—harus berpikir panjang.

Emang Raden mau pacaran sama Julian?

Kalau ditanya demikian, Raden tak bisa menjawab. Justru rasa penasarannya tadi malam kembali muncul, memang apa yang akan berubah?

Kini keduanya terdiam selama dua puluh detik, Raden mengamati meja di sampingnya yang memisahkannya dengan Julian. Sementara lelaki yang satunya sibuk mengamati jalanan yang masih sepi.

Satu detik berikutnya, pandang keduanya bertabrakan secara tak sengaja. Bagai kutub magnet yang sama, keduanya langsung membuang pandang ke arah yang berlawanan.

Canggung.

“Mas.” Raden memanggil lebih dulu.

“Ya?” Julian menoleh cepat.

“Tentang pertanyaanmu tadi....”

“Oh iya.” Dua alis Julian terangkat, “aku mau jelasin itu ya?”

“Eh—” Raden mengerjap beberapa kali, “aku tau kok maksud kamu apa. Aku mau jawab.”

Kini Julian terdiam. Walaupun ia sudah memberi penjelasan bahwa ia tak bermaksud untuk menembak Raden, namun jawaban lelaki di sampingnya tentu berpengaruh (amat) besar pada hubungan keduanya ke depan—dan juga ritme jantungnya.

“Eh, bukan jawab, sih.” Raden menggigit bibir.

Jantung Julian berdetak tak karuan sampai kepalanya dapat merasakan tiap debum di dada.

“Aku sebenernya bingung mau jawab apa,” Raden melirik Julian sekilas sebelum melempar pandang pada cangkir teh di meja, “soalnya aku masih bingung tentang—” Ia memberi jeda, sedikit menaikkan kaca mata yang dikenakan, “tentang yang aku tanyain tadi pagi....” Lanjutnya hati-hati.

Yang ditanyain tadi pagi?

Julian yang awalnya terdiam segera tersadar, “oh yang—”

“Iya.” Potong Raden cepat, pasalnya ia terlalu malu mendengar Julian menyebutkan pertanyaannya.

Sejurus kemudian, Julian memberi senyum lebar, ia menyurai rambut ke belakang sembari membenarkan posisi duduk—menghadap Raden, kedua tangan ia taruh di atas meja.

Bagaimana Julian tak tersenyum?

Mata Raden begitu kikuk di balik lensa. Belum lagi pipi bulatnya bersemu merah.

Lesung pipi Julian tercetak sempurna sebelum ia berdeham, “padahal tadi bilangnya cuma nanya asal, akhirnya aku tetep harus jawab ya?” Ucapnya dengan nada jahil, sengaja ingin membuat Raden makin salah tingkah.

Ditanyai demikian tentu membuat pipi Raden kian memerah. Dari ujung matanya, Raden dapat menangkap tawa kecil Julian yang tak bersuara.

Oh, sudah jelas Julian hanya sedang menggodanya.

“Nggak dijawab juga nggak apa-apa.” Balas Raden sembari meredamkan rasa panas di pipi dengan punggung tangan, “aku juga nggak bakal jawab pertanyaanmu.”

Julian tertawa. Tangannya terkepal kuat, berusaha menahan diri untuk tak meraih tangan Raden yang menutupi pipi lelaki itu.

“Kamu ngambek ya?” Tanya Julian masih dengan sisa tawa di wajah, “jangan ditutupin gitu dong. Salting banget kayaknya.”

Raden—yang semakin kikuk karena Julian tau ia sedang luar biasa malu—segera menyambar, “Mas, kamu pulang aja deh kalau cuma mau kayak gini.” Dengan setengah malu—setengah kesal.

Oke, sepertinya Julian terlalu menikmati waktunya menggoda Raden.

Julian segera mengusap wajah untuk membantu otot mukanya agar berhenti tertawa.

“Jadi,” Julian berdeham, “kalau kamu tanya pendapatku tentang apa yang bakal berubah kalau hubungan kita jadi—” Mendadak lidahnya membeku, terasa begitu canggung untuk menyebut kata itu, “kalau hubungan kita juga berubah.” Ia mengoreksi.

Raden menyimak, ia ikut memutar badan menghadap Julian walau pipinya masih sedikit memerah.

Bukannya melanjutkan kalimat, Julian justru tak berkutik melihat wajah Raden yang menghadapnya. Bukan hanya karena wajah Raden di pagi hari terlihat begitu segar, tapi juga pikirannya yang mendadak berkelana membayangkan sebuah andai.

Andai Raden adalah kekasihnya.

“Kok malah senyum-senyum?” Raden segera menuntut saat sepuluh detik berlalu dengan hening.

Deru kendaraan sempat mengisi sepi di antara keduanya. Satu motor dan satu mobil baru saja lewat di jalanan.

Setelah merangkum puluhan visualisasi di pikiran, Julian mnatap Raden, “kayak orang pacaran pada umumnya, kita bakal lebih gampang dan bebas buat nunjukkin perasaan satu sama lain.” Bibirnya mengulum senyum—berusaha menahan agar ujung bibirnya tak terlalu melebar.

Kini jantung Raden yang berdebar lebih keras seolah siap mendobrak tulang rusuknya, “oh gitu....” Responnya pelan, hampir mirip gumaman, “contohnya?” Ia ikut menaruh tangan di atas meja, menangkup cangkir teh agar tangannya yang dingin karena pacuan di jantung kembali ke suhu normal.

“Contohnya....” Julian melirik jemari kecil Raden yang mengitari cangkir, “kalau awalnya aku cuma bisa diem aja pas pengen pegang tanganmu, aku jadi lebih berani buat minta pegangan tangan sama kamu.” Ia menengadahkan tangan—membuat gestur meminta.

“Nah,” lanjut Julian, tangannya yang lain bergerak, “kamu juga bakal lebih berani buat ngasih tanganmu, karena kamu percaya sama aku.”

Tubuh Raden lemas saat tangan Julian yang lain melingkar lembut di pergelangan tangannya lalu menempatkannya di telapak tangan Julian yang menengadah.

“Kayak gini.” Ucap Julian, tangannya memeluk jemari Raden lembut.

Jantung Raden seketika berpacu tak karuan.

“O—oh.” Ia segera menarik tangan sebelum hilang kesadaran.

Julian menahan tulang pipi yang siap meninggi, “terus, misal nih, aku pengen ngerasa spesial di mata kamu. Ya aku bilang. Misal ya—misal—” Ia menaikkan dua alis, menekan kata terakhirnya, “misal aku nggak mau kita cuma manggil nama biasa—bukan maksud apa-apa, tapi namanya juga pengen ngerasa spesial, aku pengen kita punya panggilan ke satu sama lain yang nggak bisa sembarangan orang manggil kamu gitu,” ia menelan ludah, “misal, manggil kamu sayang.”

Kepala Raden terasa berputar. Entah tekanan darahnya naik atau turun, namun ia ingin menyandarkan kepalanya di kedua tangan. Lehernya terasa lemah, tak mampu lagi menyangga kepala.

“Terus, yang paling penting,” tanpa memberi ampun pada jantung Raden yang meronta, Julian melanjutkan, “kita bisa jadiin satu sama lain proritas. Entah itu prioritas pertama, kedua, ketiga, atau ke berapa. Yang jelas, prioritas.”

Raden tak menyela. Ia sebenarnya cukup familier dengan ucapan Julian—tentu, karena Raden juga pernah menjalin hubungan.

Prioritas ini artinya, aku bakal inget kamu—atau sebaliknya—setiap kita mau ambil keputusan.”

Ujung bibir Raden tertarik, mengamini ucapan Julian. Dulu ia juga demikian.

Menjadikan orang terkasih sebagai bahan pertimbangan dalam setiap keputusan yang diambil untuk masa depan.

Raden pernah melakukannya.

Ia pernah terlalu kosong hingga hidupnya hanya dipenuhi satu nama saat memikirkan orang terkasih.

“Ini juga nggak kalah penting,” Julian menatap kedua mata Raden, “kita bakal saling percaya buat ngelakuin itu semua berdua.”

Lamunan Raden langsung buyar.

“Terus ya—”

“Mas.” Panggil Raden cepat.

“Ya?” Julian mencondongkan tubuh, sedikit terkejut saat lelaki di depannya memotong jawabannya.

“Kamu nggak usah jelasin sedetail itu.” Tangan Raden mengusap tubuh cangkir di depannya.

Dua alis Julian tertarik ke atas, tak paham dengan ucapan Raden. Bukankah jawaban terbaik dari sebuah pertanyaan adalah jawaban yang lengkap dan mendalam?

“Oh iya.” Julian seolah baru tersadar hal penting, “ya kamu kan udah pernah pacaran ya, pasti kamu juga tau—”

“Bukan gitu.” Potong Raden (lagi), “maksudnya—” Ia mengusap tengkuk, merasa canggung untuk menjelaskan, “aku udah paham, kok. Iya.”

Dahi Julian berkerut, “gimana?”

Raden menelan ludah, “aku udah dapet jawaban dari pertanyaanku tadi, makasih.”

Julian mengangguk pelan, “oke...?”

“Iya.”

“Iya?” Satu alis Julian terangkat, takut salah dengar—matanya tak dapat menangkap gerak bibir Raden karena bibir lelaki itu bergerak cepat, “oh, kalau kamu udah paham—”

“Iya.” Raden menggigit bibir kuat-kuat, matanya menatap Julian lurus.

“Ok—”

“Itu jawaban pertanyaan kamu. Iya, aku mau.”

Bulu kuduk Julian meremang, tubuhnya kaku dan seluruh organnya bagai tak berfungsi.

Raden segera menunduk, menarik napas beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang berlompatan.

Kok diem aja ya?

Lelaki berkacamata itu mendesis pelan.

Gue kayak keburu-buru banget ya?

Bagaimana ya?

Tadi, saat Julian menyebutkan saling percaya satu sama lain, untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun, Raden merasa begitu tenang.

Untuk pertama kalinya selama beberapa tahun, Raden merasa, ia tak lagi menapaki jalan yang salah.

It feels right.

Untuk pertama kalinya selama beberapa tahun, Raden merasa berterima kasih pada dirinya sendiri karena telah melewati seluruh jalan yang membawanya di hadapan Julian.

Untuk pertama kalinya selama beberapa tahun, Raden merasa tangan yang diulurkan padanya begitu kuat hingga dapat ia jadikan sandaran; sekaligus begitu lembut hingga ia dapat menariknya untuk berjalan beriringan.

Untuk pertama kalinya selama beberapa tahun, Raden merasa cukup.

Cukup untuk dikasihi.

Cukup untuk mengasihi.

“Aku juga mau.” Jawab Julian setelah berhasil mengembalikan kesadaran yang sempat terpencar.

“Eh?” Raden baru saja hendak bertanya mau apa? namun Julian lebih dulu melanjutkan.

“Kamu mau pacaran sama aku. Aku juga mau pacaran sama kamu.”

Oh....

Raden mematung.

“Kenapa kita nggak saling macarin aja?”

Meskipun telah mengantisipasi kalimat yang diucapkan Julian, namun wajah Raden kembali memerah—jauh lebih merah dari sebelumnya, hingga pelipisnya terasa berdenyut.

“Itu tadi nembak.” Lanjut Julian, berusaha tetap terlihat tenang walau telinganya sudah merah padam.

Raden terkekeh, membuang napas sekilas, “aku harus jawab apa?” Ia menarik napas lalu dihembuskan pelan, tubuhnya bergerak meregangkan otot-otot yang menegang, “setuju?”

“Setuju?” Ujung bibir Julian tertarik lebar, menunjukkan gigi-giginya yang berbaris rapi.

Raden mengangguk, “setuju.” Jawabnya mantab.

Jarum jam menunjuk angka dua dan enam.

Matahari telah merangkak di antara gumpal putih awan dan bentang biru langit.

Julian telah menengadahkan tangan di atas teh yang mulai dingin, “boleh pinjem tanganmu?”

Raden menunduk sekilas—menutupi agar senyum lebarnya tak terlihat—sebelum mengangguk lalu meletakkan tangannya di telapak tangan Julian.

Hangat segera menyelimuti tangan dingin Raden, genggaman itu beralih menuju ujung meja. Ibu jari Julian mengusap lembut punggung tangan Raden.

Mentari tersinggung saat melihat bulan sabit yang bertengger di wajah kedua lelaki yang jarinya saling bertaut.

Binar mata Julian membasuh wajah Raden—masih lengkap dengan lengkung senyum yang tak ingin turun, “selamat pagi, pacarku.”