Selamat Ulang Tahun, Mas Iyan!

Sebuah helaan napas kasar memenuhi ruang kamar empat kali empat. Lelaki yang sedang mengerjap mata beberapa kali—Raden—menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Matanya terasa berat setelah tiga jam menatap layar laptop.

Pandangan Raden menghujani langit-langit kamar. Ia menarik napas panjang, mengusir rasa bersalah yang tetap menggelayuti rongga dadanya sekuat apapun ia membuangnya.

Ada rasa familier yang membuat Raden menggigit bibir resah. Mendadak ucapan Helmi memenuhi kepalanya. Ia teringat bagaimana Helmi menuduh Raden tak lagi menyayanginya karena kurangnya waktu yang diberikan, padahal—saat itu—Raden merasa ia telah memberikan seluruh waktu luang yang ia miliki untuk Helmi, tak pernah satu haripun lewat tanpa ia memikirkan Helmi.

Seperti sekarang.

Raden merasa ia telah memberikan seluruh waktu luangnya untuk Julian. Walau harus diakui, ia tak terbiasa dengan hubungan jarak jauh yang mengharuskannya membuka ponsel setiap saat. Ia juga tak terbiasa dengan rutinitas mengecek media sosial hanya untuk mengetahui kabar seseorang. Raden ingat pada satu waktu ia tak membuka twitter sama sekali dan saat malam hari Julian menceritakan beberapa hal lalu menutupnya dengan, aku tadi ngetweet tentang ini, kamu nggak liat tweetku tadi siang ya?

Ini semua asing untuk Raden, namun keadaan tadi malam begitu akrab dengannya. Bagaimana Raden melupakan hari ulang tahun Julian padahal hampir tiap hari ia bertukar pesan dan menelepon kekasihnya itu dan bagaimana—dulu—Helmi masih merasa perhatian Raden kurang padahal ia telah memberi seluruh waktunya, dan

Bagaimana jika kehidupan ini hanyalah rangkaian kejadian dengan pola yang sama dan terus berulang?

Bagaimana jika dunia sengaja memberinya peristiwa dengan pola yang sama untuk menguji apakah Raden telah belajar dari peristiwa sebelumnya?

Raden mengusap kasar wajahnya sebelum kembali duduk tegak. Matanya melirik jam digital di ujung meja—sudah memasuki waktu makan siang, ia sepakat untuk menelepon Julian.

Lelaki itu menarik napas beberapa kali untuk menenangkan diri.

Apapun yang terjadi dengan hubungannya sekarang, tak ada kaitannya dengan apapun yang terjadi di hubungannya yang telah lalu.

Raden tak akan mengulangi kesalahan yang sama.

The past is in the past.

Kepala Raden dipenuhi nada sambung dari ponsel yang ditempelkannya di telinga.

“Halo, Sayang.” Suara Julian terdengar di ujung telepon, ringan dan tenang seperti biasanya.

“Halo, Mas. Lagi makan ya?” Raden tersenyum, membayangkan Julian yang sedang duduk di gazebo halaman toko.

“Iya, udah mau selesai sih. Kamu udah makan?”

Raden menggeleng, “belum, Mas, ini—” belum selesai ucapan Raden, getaran kaca jendela membuatnya terjingkat. Ia segera mengalihkan pandangan, kursinya ikut berputar. Gemuruh disertai kilatan petir terlihat dari balik kaca bening kamarnya yang berada di ketinggian empat puluh meter. Kakinya dilangkahkan, cepat-cepat menutup jendela sebelum angin kencang menerobos.

“Kenapa?” Julian menyadari hening yang terlalu lama disusul suara tak jelas lain—debaman dan langkah kaki.

“Hujan, Mas. aku abis nutup jendela.” Raden masih berdiri di depan jendela, memandangi bulir hujan yang perlahan turun disertai angin kencang, membuat tetesnya jatuh lebih miring—membasahi ujung balkon kamar. “Padahal tadi pagi cerah banget, aku sengaja buka jendela biar anginnya bisa masuk. Tiba-tiba hujan gini....” Lanjutnya dengan suara makin rendah, lebih mirip ucapan pada diri sendiri.

“Bukannya kamu suka hujan?” Di ujung telepon, Julian tersenyum, ia bisa membayangkan kekasihnya tengah memandangi tetes air yang menghujani tanah. “Dulu pas pertama kita ketemu, aku masih inget kamu liatin hujan lama banget.”

Ujung bibir Raden terangkat—ia juga mengingat saat-saat itu—pertemuan itu, payung itu, semua masih tercetak jelas, “aku nggak suka hujan, nggak benci juga—biasa aja. Waktu itu aku lagi ngelamun, jadi kayak ngeliatin hujan.” Matanya masih melekat pada rumah, jalan, dan gedung yang terlihat dari balik jendela di lantai delapan.

Julian hanya membalas dengan senyuman—yang tentu tak terlihat oleh Raden, “kamu belum makan siang ya?”

“Belum, tapi tadi aku udah pesen makan, harusnya bentar lagi dateng, tapi kalo hujan gini kayaknya agak telat dikit.” Raden segera tersadar dari lamunan singkatnya, ia segera mendudukkan diri di ujung ranjang.

“Pesen apa?”

“Nasi sama sup ayam. Kamu makan sama apa, Mas?”

“Ayam goreng. Bekal dari Mama.”

Raden mengangguk paham.

Setelah membasahi bibir dan meyakinkan diri, Raden kembali bersuara, “Mas, aku minta maaf nggak ngucapin ulang tahunmu kemarin.”

Terdengar hening selama satu detik sebelum suara kekehan dari Julian menyusul, “nggak apa-apa, Raden. Kan kamu juga bilang kemarin sibuk banget—oh iya!” Nada suara Julian tiba-tiba lebih antusias, ia membenarkan posisi duduknya, “gimana kemarin? Tugasmu selesai? Responsinya gimana?”

Raden menggigit bibir. Ia tak tau apakah Julian benar-benar tak apa-apa atau tengah menyembunyikan rasa kesalnya untuk memahami Raden. “Lancar semua.” Jawabnya singkat sebelum kembali melanjutkan, “kamu beneran nggak apa-apa, Mas? Nggak marah karena aku nggak ngucapin?”

“Masih aja ditanyain.” Julian kembali terkekeh, kali ini lebih lebar, “beneran, Sayang. Nggak apa-apa, cuma ulang tahun doang.”

“Tapi—”

“Kan tahun depan masih bisa ngucapin?”

Raden kembali menggigit bibir, “kan beda, Mas....”

“Kalo gitu, tahun depan kamu ngucapin aku dua kali, gimana?”

“Kenapa dua kali?”

“Anggep aja dirapel.”

Kini Radeh terkekeh, “oke deh.”

Julian tertawa, “beneran ya? Tahun depan aku mau kamu ngucapin aku dua kali.”

Raden mengangguk—meski Julian tak dapat melihatnya, “iyaaa.”

“Harus dua kali ya?”

“Iyaa.”

“Harus pake 'sayang' ya?”

Dahi Raden mengernyit, namun tak kuasa ia tersenyum—paham betul maksud Julian, “iya—kalo aku masih manggil kamu sayang ya.” Balasnya dengan nada jahil yang langsung membuat dua mata Julian melebar.

“Masih, dong. Kalo udah nggak manggil 'sayang' lagi, aku bakal tetep nagih kamu buat ngucapin aku dua kali sambil manggil 'sayang'.”

“Iyaaa.” Raden terkekeh singkat. Senyumnya kian meninggi mendengar ucapan Julian. Ada optimisme yang menyenangkan di sana, seolah tahun depan hubungan mereka masih sama.

Keduanya kembali larut dalam pembicaraan. Julian menceritakan pertemuan dengan teman-teman SMPnya dan Raden mendengarkan sembari mengamati pesanan makanannya di ponsel satunya—ponsel khusus untuk urusan pekerjaan.

Raden ikut bercerita tentang kuliahnya kemarin. Sesekali ia mengamati hujan yang semakin mereda di balik jendela.

“Oh iya, Mas. Kamu mau kado apa?”

“Kado?”

“Iya, kado ulang tahun. Ada yang kamu pengenin nggak? Atau terserah aku aja?”

“Hmmmm....” Julian menggumam cukup lama, “bentar, aku nggak nyangka tiba-tiba kamu nanyain ini.”

“Sebutin aja apa yang kamu pikirin sekarang. Aku yakin ada satu benda yang muncul di pikiranmu pas aku tanya tadi.” Tembak Raden langsung, ia merebahkan setengah tubuhnya di kasur.

Di ujung telepon, Julian tersenyum, tentu ada hal yang muncul di kepalanya, hal yang ingin ia dapatkan, “alamat rumahmu di situ.”

Dua alis Raden terangkat, tak menyangka dengan jawaban Julian, “alamatku di sini? Buat apa?” Ia kembali mendudukkan diri.

“Kok buat apa? Ya biar aku tau alamatmu di situ. Misal aku mau ngirim sesuatu gimana?”

“Emang mau ngirim apa? Kan harusnya aku yang ngirimin kamu,” Raden membasahi bibirnya yang terasa kering, “kan kamu yang ulang tahun, Mas.”

“Buat sekarang aku cuma pengen itu. Besok tahun depan aja kamu ngasih kado barang ke aku, sekalian sama ucapannya, gimana?”

Raden terdiam untuk beberapa saat, “iyadeh, nanti aku kasih.” Toh, Julian adalah pacarnya. Wajar jika Julian ingin tau alamat rumahnya.

Tapi, kalau boleh jujur. Jantung Raden sedang luar biasa berdebar. Boleh 'kan ia berharap kalau alasan Julian menanyakan alamatnya karena nanti kekasihnya akan memberikan kunjungan tiba-tiba padanya?

Bukannya Raden terlalu percaya diri, tapi wajar 'kan jika ia selalu berharap agar dapat cepat-cepat bertemu Julian? Wajar juga 'kan jika ia berpikiran mungkin Julian juga ingin menemuinya?

Astaga...

Harapan-harapan ini membuat Raden tersadar.

Jika dipikir-pikir lagi, selama ini Raden dan Julian jarang membahas kapan mereka akan bertemu lagi.

Bukan karena Raden tak ingin bertemu Julian, hanya saja ia takut membicarakannya. Bagaimana jika pertanyaan sesingkat kapan kita bisa ketemu lagi? justru terkesan sebagai tuntutan?

Raden memahami Julian yang harus bekerja seminggu penuh. Ia memahami jarak keduanya bukan lagi terpisah belokan namun ratusan kilometer jalan. Ia tak boleh sembarangan mengatakan ingin bertemu.

Tapi kali ini.

Detik ini.

Setelah resah yang menggelayuti Raden semalaman lepas karena mendengar tawa Julian.

Setelah percakapan ringan di siang hari yang jarang mereka lakukan.

Setelah kekehan-kekehan kecil yang menggelitik perut keduanya.

Setelah harapan Raden kian melambung.

Dan setelah rindunya menyeruak di rongga dada hingga tak dapat lagi dibendung.

Raden ingin mengucapkannya.

Sekali saja.

“Mas, aku kangen banget sama kamu, pengen ketemu.”

Julian yang sedari tadi sedang bercerita tiba-tiba terdiam.

Hening.

Sepuluh detik tanpa suara membuat Raden menggigit bibir, cemas.

“Tumben....” Komentar Julian yang lebih mirip gumaman mulai terdengar.

Ah iya, tumben. Memang sudah seharusnya Raden tak usah membahasnya sekalian, “Mas, nggak usah diang—”

“Aku kangen banget sama kamu, Raden.”

Kini Radem yang terdiam.

“Aku kangen bangeeeet sama kamu, banget, banget, banget.” Saat merasa tak ada jawaban dari Raden, Julian melanjutkan, “jujur aku jadi sering banget ngecek HP. Kalo bisa aku pengen telepon kamu tiap menit tapi aku takut ganggu kamu.”

“Mas....”

“Aku tau kamu sibuk, tugasmu banyak, dan aku yakin ngerjain tugasmu nggak gampang. Kamu juga udah mulai mikirin tesismu.” Terdengar helaan napas berat—yang membuat Raden yakin Julian telah menahan semua ucapan ini sejak lama, “aku tau kamu udah berusaha buat ngabarin dan ngehubungin aku terus, tapi aku tetep aja kepikiran, tetep aja kangen banget sama kamu....”

Raden kembali menggigit bibir. Benar, kan... Julian tetap merasa kurang meskipun Raden telah mengerahkan seluruh usahanya.

“Aku nggak tau ternyata LDR sesusah ini.” Julian masih mendominasi percakapan.

“Aku harusnya nggak usah bilang kangen ya, Mas. Maaf—”

“Jangan minta maaf.” Julian memotong cepat, “aku justru mau bilang makasih kamu udah bilang kangen ke aku. Awalnya aku mikir cuma aku doang yang kangen sama kamu, makanya aku nggak berani nuntut macem-macem, tapi aku seneng ternyata kamu juga kangen sama aku.” Nada suara Julian terdengar lebih ceria, menunjukkan lelaki itu sedang tersenyum di ujung telepon.

Untuk beberapa saat Raden hanya bisa terdiam sambil memandang dinding kamarnya, “kok mikirnya gitu, sih, Mas. Ya jelas aku kangen sama kamu.”

“Kamu nggak pernah bilang.”

Raden terkekeh, “aku tabung dulu kangennya Mas. Kalo udah penuh baru aku sampein ke kamu.”

Julian tertawa, “kalo kangen bisa ditabung dan diuangin kayaknya aku udah jadi milyader.”

Ujung bibir Raden kembali terangkat, kini ditambah semburat merah yang menyebabkan pipinya terasa panas—membuatnya segera meraih remot AC untuk menyalakan pendingin ruangan, “gombal.”

“Eh, bentar, tapi serius deh. Kamu kalo lagi kangen ke aku bilang aja. Aku seneng dengernya.”

“Kamu juga kalo pas kangen bilang aja, Mas.”

“Wah entar aku bisa bilang kangen tiap menit, kamu sanggup ngadepinnya?” Tanya Julian dengan nada jahil.

“Gombal mulu!” Jawab Raden kesal—tentu, sambil tersenyum.

“Aku beneran seneng banget, Raden. Ini kado terbaik. Makasih.”

Dua alis Raden terangkat, “aku belum ngasih apa-apa?”

“Kamu. Kado terbaiknya itu kamu.”

Senyum Raden kian merekah, jantungnya kembali berdebar keras, “gombaaaal!”

Tawa gemas Julian terdengar dari ujung telepon, “Beneran tau. Kamu udah bilang kangen ke aku. Aku seneng—seneng banget, kamu masih ngangenin aku padahal kamu sibuk banget di sana.”

Dan Raden tak pernah merasa rongga dadanya sepenuh ini.