Selamat Ulang Tahun, Raden!

cw // kissing ; implied sexual content

Make a wish dulu sebelum tiup lilin.”

Bibir Raden melengkung, ia segera menangkupkan tangannya, memejamkan mata sekilas lalu merapalkan doa dalam batin.

Semoga...

....

Semoga aku dan Mas Iyan selalu diberi kesempatan untuk sebahagia ini.

“Udah.” Ucap Raden setelah merapalkan kalimat terakhir doanya. Ia meniup satu lilin yang ditancapkan pada kue ulang tahunnya yang tinggal setengah.

“Udah? Harapanmu apa?” Julian meletakkan kue yang dipegang di depan keduanya.

“Rahasia.” Raden mengulum bibir.

Sebuah kekehan muncul dari mulut Julian—gemas sendiri melihat pipi bulat Raden yang diterpa cahaya lampu teras dipadu gelap malam. “Ada akunya nggak?”

Raden mengangguk. Mana mungkin ia berdoa tanpa mengikusertakan Julian?

Tangan Julian otomatis menarik Raden semakin dekat pada dirinya. Mereka sedang asyik duduk di lantai balkon teras kamar Raden. Menyaksikan kerlap-kerlip Kota Mawar dari ketinggian empat puluh meter. Angin malam yang berhembus membawa rasa dingin tak dihiraukan.

Suara lembut alunan musik yang diputar dengan ponsel Julian terdengar mendayu. Raden ikut menyenandungkan lagu-lagu itu sambil menyandarkan kepalanya di bahu Julian.

“Jadinya Yoshi ngasih kadomu lewat paket?” Pertanyaan Julian menghentikan senandung di mulut Raden.

Yang ditanya balas mengangguk, ia mengangkat kepalanya untuk menoleh pada Julian, “iya. Padahal aku udah bilang, kasih besok aja pas kita ketemu. Tapi katanya, vibes ulang tahunnya udah lewat kalo besok. Akhirnya dipaketin.” Ia terkekeh ringan. “Oh, tadi dia ngirim salam buat kamu,Mas.”

Julian menangkap punggung tangan Raden, mengusapnya pelan, “salam balik ya buat Yoshi.”

Mata Raden menangkap sesuatu yang berbeda di tangan Julian. “Ini jam tangan baru, Mas?” Sebenarnya Raden sudah melihat sejak tadi, namun ia baru menyadari ia tak pernah melihat jam tangan ini sebelumnya.

“Iya, kado dari temenku.”

Raden mengangguk paham, “Kamu dapet kado apa aja kemarin?”

“Jam tangan ini, tas...” Julian memainkan jam tangan silver di pergelangan tangan, “udah itu aja.”

Raden kembali mengangguk. “Kadoku nyusul tahun depan ya.”

Julian tertawa. “Aku tungguin ya. Jangan lupa syarat-syaratnya juga harus dipenuhin.”

Raden ikut tertawa, mengangguk sekilas. Ia tak akan melupakan syarat-syaratnya—mengucapkan dua kali lengkap dengan panggilan sayang.

Lalu alunan musik kembali menemani mereka. Sesekali keduanya saling bertukar cerita tentang bagaimana mereka mengenal lagu yang sedang didengar. Percakapan itu terus berlangsung hingga beberapa puluh menit kemudian. Dinginnya malam tak berhasil menembus celana training yang dikenakan Raden maupun celana pendek yang dikenakan Julian.

Mata Raden melekat pada lampu-lampu di jalanan dan gedung-gedung yang sudah mati beberapa. Jemarinya berada di sela jari-jari Julian. Punggung keduanya disandarkan pada pintu yang menghubungkan balkon dan kamar.

Setelah puas memandang gemerlap malam dari bintang dan lampu-lampu gedung, Raden beralih pada Julian yang tengah menceritakan tentang lagu yang baru saja mereka dengar.

“Dulu lagu ini nge-trend banget pas aku SMP.” Julian kemudian menoleh pada Raden, “kalo aku kelas 2 SMP berarti kamu kelas berapa?”

Raden menggumam sejenak sebelum menjawab, “kelas... 4 SD kayaknya.”

“Masih kecil dong?” Bibir Julian terangkat lebar hingga lesung pipinya terlihat jelas, wajahnya memerah untuk alasan yang tak bisa Raden jelaskan.

“Sama-sama masih kecil.” Raden tertawa melihat wajah Julian yang memerah, “kamu juga masih SMP.”

“Pasti kamu pas masih kecil lucu banget.” Tangan Julian naik mencubit gemas pipi Raden.

“Kamu juga pas kecil lucu banget.” Raden ikut mencubit sekilas pipi Julian, mulutnya tertawa pelan.

(Lagi-lagi) Untuk alasan yang tak bisa dijelaskan, sebuah tawa renyah terdengar dari mulut Raden dan Julian. Mereka tak tau letak lucunya, tapi situasi ini mendorong keduanya untuk mengekspresikan rasa geli yang menggelitik perut masing-masing.

Saat gelak mulai mereda, Raden menyeka ujung matanya yang berair lalu memandang Julian yang masih tertawa pelan.

Wah...

Ia menyukai apa yang dilihatnya sekarang. Perpaduan gelap malam dan cahaya lampu kuning teras yang menimpa kulit cerah Julian.

Ia menyukai bagaimana wajah Julian begitu mudah memerah saat tertawa.

Ia menyukai bagaimana lengannya menempel dengan lengan Julian.

Ia juga menyukai bagaimana angin malam mendinginkan tubuhnya namun jari-jari Julian membalut jemarinya dengan hangat.

Terakhir—yang paling ia sukai hingga membuat jantungnya berdesir, ia menyukai bagaimana seluruh api rindunya dipadamkan dengan kehadiran Julian di depan matanya.

Raden sangat menikmati semua hal yang ditangkap matanya sekarang.

“Mas,” Panggil Raden—masih dengan pandangan terkunci pada kekasihnya, “rasanya aku pengen terus kayak gini.”

Julian langsung menoleh, telinganya langsung memerah, “kayak gini?”

Raden mengangguk, “aku suka momen ini. Aku seneng kita bisa duduk di sini, ngobrol,” ia menoleh, memandang pagar balkon, “liat pemandangan bagus,” lalu kepalanya ditolehkan pada Julian, “cuma kita berdua.”

Julian menunduk, senyumnya seolah siap membelah wajah, “aku juga seneng banget.” Ia mengeratkan genggamannya di tangan Raden, “aku juga pengen—pengen banget—terus kayak gini.”

Yang lebih muda ikut tersenyum. Mendadak ia merasa tergelitik sendiri, seolah kelopak-kelopak dari musim semi di tubuhnya berterbangan, membuat ujung bibirnya tak dapat turun walau sekejap. Rasa senangnya bermekaran.

“Raden.”

Dengan perasaan masih penuh bunga, Raden menoleh, “iya?”

“Apa rencanamu abis lulus?”

“Rencanaku?” Raden memiringkan kepala, percakapan ini membelok tajam, ia tak menyangka Julian akan membawanya kembali ke realita. “Balik kerja, Mas. Apalagi?”

“Kerja di sini?”

Dahi Raden mengerut, “kantorku 'kan di sini, Mas, agak susah kalo mau mutasi.”

“Raden.” Kini Julian menolehkan tubuhnya sepenuhnya pada Raden, tangannya masih menggenggam jemari Raden.

“Iya?” Raden ikut menegakkan punggungnya, sepertinya Julian akan mengatakan beberapa hal serius.

“Aku juga punya rencana....” Julian terhenti sejenak, “rencanaku mau buka toko lagi.”

“Di mana?” Sambar Raden cepat. Hatinya was-was.

Hening sejenak. Angin malam berhembus tenang. Bintang dan bulan yang nyaris penuh menyorot keduanya.

“Di sini. Kalo kamu mau tetep di sini.” Jawab Julian akhirnya. Ia menatap mata Raden dalam-dalam.

Raden nyaris tak dapat menjawab, ia hanya mampu mengulangi apa yang didengarnya, “di sini? Di Mawar?”

Julian mengangguk.

“Kamu juga bakal di sini?” Tanya Raden hati-hati.

Julian menggeleng, “aku bakal bolak-balik. Tapi aku usahain buat sering di sini.”

“Kenapa?” Suara Raden mengecil, “karena aku di sini?”

Julian tersenyum, tangannya mengusap punggung tangan Raden, “emang karena siapa lagi?”

Raden menggigit bibir. Ia senang mendengarnya, namun rasa senang itu sepenuhnya tertutupi dengan rasa cemasnya. Tak perlu orang hebat untuk mengetahui seberapa riskan ucapan Julian.

“Tapi peluang pasar buat tokomu di sini nggak bagus, Mas.” Komentar Raden akhirnya, “udah banyak swalayan di sini, bahkan banyak swalayan yang branding-nya udah gede. Lahan di sini juga tinggal dikit, mahal lagi harganya. Cost yang kamu keluarin terlalu gede, risikonya juga terlalu gede. Nggak worth it.”

Dua alis Julian terangkat sebelum sebuah tawa lepas dari mulutnya, tangannya otomatis mengusap rambut Raden lembut.

“Kok malah ketawa sih, Mas?” Raden mengernyit, “aku serius. Aku nggak dukung kamu buka toko di sini.”

“Kamu jangan khawatirin tokoku, Raden.” Tangan Julian sekali lagi menepuk pelan ujung kepala Raden, “aku bakal cari solusi buat itu semua.” Ia mendekatkan wajahnya pada Raden, menatap mata resah kekasihnya, “intinya, aku cuma mau bilang kalo aku selalu siap untuk ngedukung kamu dan karirmu.”

Raden susah payah menelan ludah melihat wajah Julian yang terlalu dekat padanya, ia sedikit memundurkan wajah, “t—tapi aku nggak mau kamu ngelakuin hal sejauh itu, Mas.” Ia merasa suaranya terlalu rendah dan tertahan, cepat-cepat ia berdeham, “besok kalo kamu mau buka toko lagi, kamu harus ngasih tau aku.”

Julian menurunkan tangannya untuk mengusap pipi Raden, menahan kekasihnya untuk tak lagi memundurkan wajah, “kamu nggak percaya sama aku?”

Mata Raden mengerjap beberapa kali, ia terkejut merasakan hangat tangan Julian di pipinya yang dingin. Ia kembali berdeham, matanya tak berani menatap langsung mata Julian yang tinggal sejengkal dari wajahnya. “Mas, aku yakin kamu lebih paham dari aku dan aku yakin kamu juga tau seberapa jelek peluang pasar buat bangun toko di sini. Bukan cuma kamu yang ngedukung aku, Mas. Aku juga ngedukung kamu buat ngembangin tokomu. Aku nggak mau kalo—”

Ujung bibir Julian tertarik sempurna, “Iyaaaaaa.” Ibu jarinya mengusap pipi Raden, “iya, aku paham kok. Besok aku pasti bilang kalo mau bangun toko di manapun.” Ia mencubit pelan pipi Raden, kini ibu jarinya menyentuh ujung bibir Raden, menariknya lembut untuk membentuk lengkung senyum. “Tapi Raden, kamu masih inget 'kan, seberat apapun keputusan yang harus aku ambil ke depannya, aku bakal selalu milih kamu.” Ia semakin mendekatkan wajah, berusaha menghalangi pandangan mata Raden yang sedari tadi memandang lantai.

Mau tak mau Raden sedikit mengangkat pandangannya. Mendadak ia merasa terlalu dekat dengan Julian. Jantungnya berdebam keras hingga ia mampu mendengar setiap detaknya—ia khawatir Julian juga mendengarnya. Kepalanya nyaris kosong, Raden harus berpikir keras untuk menjawab ucapan Julian. “Pilih yang terbaik buat kita, Mas. Jangan cuma yang terbaik buat aku.” Ia memaksakan senyum. Tenggorokannya terasa luar biasa kering. Wajahnya sudah terlalu mundur hingga ia harus menggunakan tangannya untuk menopang tubuh di lantai.

Julian tersenyum simpul. Jemarinya kembali mengusap pipi lembut Raden. Lelaki itu berusaha menenangkan jantungnya yang terus melompat keras. Matanya tak lepas dari tiap inci wajah Raden—mata yang berbinar, pipi yang bulat, hidung yang mancung, bibir tipis yang merekah.

Jantung di rongga dada Julian berpacu cepat. Julian menggigit bibir. Entah karena remang malam atau wajah Raden yang bersemu merah atau keduanya, lelaki itu terbuai hingga terus memangkas jarak wajahnya dengan Raden.

Napas Raden tertahan ketika bibir Julian hanya berjarak beberapa senti dari miliknya, lalu sebuah bisikan yang membuat bibirnya tergelitik mulai mencapai telinga Raden,

“Boleh?” Bisik Julian pelan.

Raden tak menjawab, ia hanya mengangguk lalu memejamkan mata, pipinya sudah merah padam.

Jantung Raden meledak saat merasakan bibir tebal Julian menempel pada bibirnya, ada rasa dingin mengenai bibirnya lalu digantikan nuansa basah saat Julian membuka mulut perlahan. Raden mengikutinya, mempersilakan bibir Julian masuk untuk mengulum bibirnya—yang langsung dibalas oleh Raden.

Tangan Julian mengusap pipi Raden lembut, setelah puas merasakan kulit halus dan kenyal di pipi Raden, jemari panjang itu beralih ke tengkuk, mendorong pelan kepala Raden untuk memperdalam ciuman.

Seluruh tubuh Raden terasa lemas, tangannya seolah tak mampu lagi menopang tubuhnya. Untungnya, Julian cepat menarik tubuh Raden hingga lelaki itu beralih menggunakan paha Julian sebagai tumpuan—Raden meremas celana kain yang melekat di sana.

Saat lidahnya bersentuhan dengan lidah Raden, Julian dapat mendengar ledakan kembang api dan kelopak bunga yang bermekaran di kepalanya. Seolah seluruh tubuhnya sedang merayakan sesuatu dan menyemangati Julian untuk terus mendalami pagutannya.

Keduanya terbuai pada rasa lembut dan basah di mulut masing-masing. Julian bergantian melumat bibir atas dan bawah Raden. Tangannya beralih ke pinggang Raden lalu dengan sekali gerakan ia mendudukkan lelaki kecil itu di pangkuannya. Tangan Raden otomatis berpindah merangkul leher Julian. Gerakan ini membuat pagutan keduanya terlapas, menyisakan benang saliva di antara keduanya.

Suara napas terengah mulai terdengar di balkon. Mata Raden dan Julian beradu selama beberapa detik.

Do you want more?” Tanya Raden—yang lebih mirip bisikan. Jemarinya mengusap pelan leher Julian.

Seluruh tubuh Julian meremang mendengarnya, jantungnya berpacu cepat—menimbulkan rasa panas di sekujur tubuh. Sentuhan Raden di tengkuknya berhasil menambah gemuruh di tubuhnya, “can I?” Tangannya meremas pinggang Raden.

I should clean my self first. Kamu mau nunggu?” Raden mengusap pipi Julian, ia menggigit bibir untuk menahan desahan karena tangan Julian yang terus bergerak menelusuri pinggangnya.

Dengan sisa kesadaran yang dimiliki dan napas terengah, Julian kembali bertanya, “are you sure? Besok kamu ada kelas 'kan?”

Raden terkekeh pelan, ia memandangi wajah Julian yang tetap berusaha terlihat waras walau matanya telah sayu, ia tak kuasa untuk tak mengecup pipi Julian, “main seadanya aja, mau?” Tangannya mengusap pipi Julian, mengikuti garis rahang lelaki itu.

Julian mengangguk. Bibirnya kembali didaratkan pada bibir Raden, ia mulai merindukan rasa kenyal dan manis dari kekasihnya. Tangannya menelusuri punggung Raden sebelum kembali meremas pinggang ramping kekasihnya. Di sela-sela lumatannya, Julian berbisik, “mau di kamar aja?”

Hanya terdengar suara decakan dari mulut keduanya yang masih saling melumat, Raden mengangguk sekilas sebagai jawaban.

Dengan dua kali gerakan, Julian berdiri lalu membawa Raden dalam gendongannya—masih dengan bibir yang saling berpagut. Kaki Raden melingkar di pinggang Julian dan tangannya mengitari bagian leher kekasihnya.

Julian melangkah perlahan untuk membuka pintu balkon. Sebenarnya—kalau bisa—ia ingin melanjutkan permainannya di balkon, namun—dengan akal sehatnya yang tinggal separuh—ia dapat merasakan hawa dingin yang mulai menusuk kulitnya.

Setelah berhasil memasuki kamar. Julian membaringkan Raden di kasur. Lalu—

Cklek!

Pintu ditutup.