Sendiri Tak Berarti Sepi

“Nguopo lho gawe roti barang ki. Koyok iso masak wae. Untung ono aku, nek ra ono aku terus rotimu ra enak pie?” (Ngapain bikin roti segala, kayak bisa masak aja. Untung ada aku, coba kalo nggak ada aku terus rotimu nggak enak gimana?)

Omelan Eyang mengiringi Raden yang baru saja mengeluarkan mentega cair dari oven. Lelaki itu terkekeh pelan, walaupun Eyang tak henti-hentinya mengomel, namun wanita dengan daster biru keunguan itu tetap menemani dan membantu Raden di dapur.

“Kan ada Eyang makanya aku mau bikinin roti.”

Eyang mendengus sambil tangannya sibuk mencampur tepung terigu yang telah disaring dengan bahan halus lain, “ini bikin roti buat mama-ne Iyan toh? Kamu mau ngasih langsung?”

Raden mengangguk, ia mencampur mentega dengan pisang yang telah dihancurkan. “Iya, Eyang, nanti aku mau ke rumahnya Mas Iyan.”

Tak ada balasan dari Eyang selain anggukan pelan. Keduanya bekerja dalam diam untuk beberapa saat. Raden sibuk menyiapkan adonan sementara Eyang sibuk memastikan Raden memberi takaran yang pas.

“Eyang sebener e setuju lho kamu sama Iyan.” Ucap Eyang setelah adonan roti berhasil dimasukkan ke dalam oven, beliau sedang duduk di kursi makan, memandang punggung Raden yang tengah mencuci peralatan sisa memasak.

“Kamu ndak mikir Eyang ngehalangi hubunganmu sama Iyan atau cuma nakut-nakuti toh?” Lanjut Eyang yang langsung mendapat gelengan keras dari Raden. “Aku nggak pernah mikir gitu, Eyang.”

“Anak muda itu sering gitu. Kalau dibilangin sama yang lebih tua ngeyel, mikir e yang lebih tua tu cuma ceriwis tok, padahal orang tua—apalagi kayak Eyang ini—cuma ngomong berdasar pengalaman. Kita udah hidup lebih lama, kita udah ngalamin banyak hal, udah liat pengalaman orang lain juga.” Eyang meraih jeruk di tengah meja, mengupasnya, “ndak ada orang tua yang ngomong sembarangan—apalagi tujuannya cuma buat nakut-nakuti.”

Raden tersenyum, tangannya masih bergelut dengan para mangkok dan air di wastafel. Eyang memang sering begitu. Mengomelkan hal-hal yang tidak dilakukan Raden. Padahal tadi Raden sudah mengatakan ia tak menganggap Eyang demikian. Tapi Eyan tetap akan berkomentar panjang seolah Raden menganggapnya demikian.

Yooo pie ya,” Eyang melanjutkan, ia berhenti sejenak untuk mengunyah buah jeruk, “namanya orang tua pasti kepikiran sampe mana-mana toh. Opo meneh (apa lagi) Eyang denger langsung dari ibumu, kamu jadi diem terus abis pisah dari cowokmu yang dulu itu—siapa nama e? Helmi? Nah itu.” Tangan Eyang menadahi biji jeruk dari mulut, “katane kamu ndak pernah pulang padahal biasane seminggu sekali pulang, ditelepon ndak diangkat. Kamu juga ndak pernah main kesini lagi toh? Baru kesini pas Eyang Kakung meninggal? Terus ini pertama kamu kesini abis Eyang meninggal toh?”

Raden tak menjawab. Rentetan pertanyaan itu lebih mirip tuntutan. Ia tak bisa mengelak.

Hening. Hanya terdengar suara aliran air wastafel.

“Eyang emoh (nggak mau) kamu kayak gitu lagi.” Ucap Eyang setelah dirasa Raden tak akan menjawab, tepat saat Raden telah selesai mencuci peralatan memasak.

Lelaki itu menoleh setelah mengelap tangannya dengan kain lap di samping wastafel. “Iya, Eyang, aku paham.”

Eyang mengangguk pelan. Tangannya mengambil jeruk lain di tengah meja, “mau jeruk?”

Yang ditawari hanya menggeleng, ia segera duduk di samping Eyang—menunggu rotinya selesai dipanggang.

“Ibumu udah telfon?” Tangan Eyang lincah mengupas kulit jeruk.

“Udah.”

“Ngomong apa? Komentar ndak tentang pacarmu?” Jeruk di tangan Eyang segera dibagi dua, ia menyerahkan bulatan jeruk itu pada Raden, “maem buah, biar sehat.”

Raden tak bisa menolak karena sudah terlanjur dikupaskan, ia berterima kasih pada Eyang. “Ibu sama Bapak setuju. Yang penting aku seneng.”

“Nah, maksud e Eyang juga gitu. Aku pengen e kamu seneng-seneng aja lho, cah bagus. Jangan sampe hubunganmu ini malah bikin kamu buneg (stress/mual) besok-besok.”

Sebuah anggukan menjadi jawaban Raden. Ia memakan jeruknya satu per satu.

Saat sedang menikmati jeruknya, sebuah pertanyaan muncul di kepala Raden, “Eyang ngomong ke mamanya Mas Iyan ya tentang hubunganku?”

“Lho iya.” Jawab Eyang cepat. “Kan Ares itu Mamane Iyan, jelas harus tau. Kenapa? Ares ngomong sesuatu ke kamu?”

Raden menggeleng.

“Terus?”

“Nggak apa-apa.” Lelaki itu kembali menggeleng.


Bolu pisang itu akhirnya matang. Aroma mentega yang kuat dan manisnya pisang memenuhi dapur. Ada dua loyang roti, loyang besar dan kecil. Loyang besar akan diberikan pada Budhe Ares sementara loyang kecil untuk Raden dan Eyang—untuk dicicipi apakah roti ini layak diberikan pada orang lain.

“Enak, kok.” Komentar Eyang setelah mencicipi bolu panas itu, “tapi agak kemanisan yo?”

Raden menggeleng, “enggak. Kayaknya karena Eyang udah ngurangi gula jadi kemanisan buat Eyang.”

Eyang mengangguk setuju, “yowes, nanti nek udah agak dingin, ditaruh di wadah itu.” Ditunjuknya box panjang di meja makan dengan dagu.

Raden membalas dengan anggukan. Belum apa-apa, ia sudah membayangkan bagaimana reaksi Budhe saat menerima roti ini. Ia juga mulai menyusun kalimat yang akan diucapkan pada Budhe.

Raden bukan tipe orang yang menyukai basa-basi.

Tapi katanya, jatuh cinta bisa membuatmu melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Bahkan sulit membedakan hal yang kamu suka dan tak suka saat bersama orang terkasih.

Berbasa-basi dengan Budhe Ares agar hubungan mereka tak sedingin kemarin? Raden siap melakukannya.

Sebuah senyum terukir di bibir Raden. Rasanya ia tak sabar bertamu di rumah Julian.

Memikirkan tentang Julian dan Budhe membuat Raden teringat dengan pesan dari Julian tempo hari. Tentang Budhe yang tak ingin meninggalkan desa ini.

Mata Raden segera tertuju pada Eyang.

Jika dipikir-pikir, kondisi Budhe dan Eyang agak mirip. Keduanya sama-sama menyimpan banyak kenangan di desa ini bersama mendiang suami. Bedanya, Eyang menyimpan lebih banyak kenangan—tentu karena usianya yang juga lebih banyak.

Karena kehilangan suaminya, Budhe dan Eyang sama-sama sendiri. Jika kondisi sendiri itu membuat Julian meninggalkan semua yang ia miliki untuk menemani Budhe, haruskah seseorang di keluarga Raden melakukan hal yang sama juga?

Atau lebih tepatnya,

Haruskah Raden melakukannya?

“Eyang, aku mau nanya.” Ucap Raden setelah ia terdiam memperhatikan roti pisang di depannya.

Opo?”

“Gimana rasanya tinggal sendiri di sini?”

Dahi Eyang berkerut, “maksudmu?”

“Maksudnya,” Raden menggigit bibir bawah, ia segera kembali duduk di samping Eyang, “kan awalnya rumah ini rame—ada Eyang Kakung, Ibu, Bulek, Pakdhe, dulu aku juga tinggal di sini. Tapi sekarang Eyang sendiri...” Ia terdiam sejenak, “Eyang pernah ngerasa sepi nggak?”

“Oooh...” Eyang mengangguk paham, beliau memperhatikan wajah Raden lalu berganti pada jeruk di tengah meja, “Sepi? Kalo pernah ya pernah, tapi—”

“Eyang mau aku temenin di sini nggak?”

“Di sini...?” Satu alis Eyang naik.

“Iya, aku ikut Eyang tinggal di sini.”

Mata Eyang menelisik tajam, “ben ngopo?” (Biar apa?)

“Biar ada yang nemenin Eyang.”

“Modus. Kamu cuma mau deket sama Iyan toh?”

Raden tertawa, “enggak. Buat nemenin Eyang. Beneran.”

Eyang menggeleng, “ndak mau.”

“Kalo Eyang pindah ke Mawar, mau?” Tanya Raden hati-hati.

Iku opo meneh. Ndak!” (Apalagi itu. Nggak!“)

“Kenapa?”

“Eyang betah di sini.”

“Kenapa?”

Yo betah wae.“(Ya betah aja) Terdengar nada kesal dari jawaban Eyang.

“Karena rumah ini banyak kenangannya?” Raden terus bertanya.

Eyang hanya mengangguk sekilas.

“Kenapa kamu tiba-tiba tanya gini? Kamu mendadak kasian po?” Eyang balik bertanya. Belum sempat Raden menjawab, Eyang kembali menambahkan, “Eyangmu ini ndak perlu dikasihani.”

“Eyang ndak mau pindah, wes paling bener Eyang tinggal sendiri di sini. Hidupku wes cukup rame kok mbien(dulu), sekarang Eyang seneng hidup tenang, adem, ayem. Ndak perlu rame-rame lagi. Coba liaten (liat nih) sekarang, gara-gara ada kamu Eyang jadi harus bantu bikin roti, padahal biasane Eyang duduk nonton TV.”

Mau tak mau Raden terkekeh mendengar sindiran Eyang, “ih, Eyang, nih. Kan nggak tiap hari.”

“Ya makane (makanya), kalo kamu tiap hari di sini berarti Eyang harus tiap hari ko ngene (kayak gini) toh?”

Raden tertawa, betul juga.

Nanti nek Eyang pindah ke Mawar, kalian le mudik gampang dong. Eyang ndak mau.” (Nanti kalau Eyang pindah ke Mawar, kalian mudiknya gampang dong. Eyang nggak mau.)

Eyang tertawa mendengar candaannya sendiri, diikuti tawa Raden yang kembali terdengar setelah sempat reda.

Dan tawa itu seketika menyadarkan Raden. “Nanti kalo aku pulang, Eyang ketawa-ketawa gini sama siapa?”

Seketika Eyang menghentikan tawanya. Terdiam. Ia memandang Raden selama beberapa saat—membuat Raden langsung merasa tak enak telah menanyakannya.

“Ya banyak!” Jawab Eyang galak, “menurutmu aku ndak punya temen toh?”

Raden segera mengusap lengan Eyang lembut, “bukan gituu!” Tawanya kembali terdengar.

Eyang mendengus kesal—membuang muka. Beberapa detik kemudian helaan napas lewat di mulut Eyang.

“Kamu juga ngekos sendiri toh? Pie? Hidupmu sepi ndak?” Eyang balik bertanya.

Raden terhenyak. Ia tak menyangka akan mendapat serangan balik dari Eyang.

Apakah Raden kesepian karena ia hidup sendiri?

Tidak.

Lebih tepatnya, tidak tau.

Atau mungkin... memang tidak?

Mendadak ia lupa apa arti kesepian. Ia terbiasa melakukan semuanya sendiri. Sedih, tawa, suka, duka—entah sejak kapan—Raden tak lagi membagikannya pada orang lain.

“Kesepian itu, Den, cuma buat orang-orang yang belum bahagia.” Eyang menoleh pada Raden, “itu Eyang Kakungmu yang bilang.”

Jantung Raden berdetak lambat. Rasanya terlampau asing mendengar Eyang membicarakan tentang Eyang Kakung.

“Eyang Kakungmu itu,” mata Eyang dialihkan pada tembok di ruangan, menerawang jauh, “malah sering duduk-duduk sendiri di teras. Menurutmu kenapa?” Kepalanya ditolehkan pada Raden.

Raden menggeleng, tak tau. Mungkin karena Eyang Kakung menyukai kesendirian?

“Karena Eyang Kakungmu udah bahagia.” Eyang tersenyum—senyum yang membuat hati Raden bergetar tak tau mengapa.

“Bahagianya Eyang Kakungmu sederhana aja. Liat anak-anaknya hidup mandiri, denger cucu-cucunya ketawa di telepon, bisa bangun pagi buat ngeteh sama aku.” Kemudian Eyang terkekeh mengingat masa-masa itu.

“Kalau masih muda—kayak kamu atau adik-adikmu, mungkin sering kesepian, bisa karena banyak hal.” Suara Eyang melembut, “bisa karena standar bahagianya muluk-muluk, bisa karena terlalu menggantungkan bahagianya sama orang lain, atau justru kurang bersyukur sama diri sendiri.”

Oh.

Raden paham sekarang.

Mungkin ia memang tak lagi merasa kesepian karena kesendiriannya selama ini membuatnya bersyukur atas diri sendiri. Dan jelas, ia tak lagi menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain.

Lelaki itu tersenyum—senang mendengar penjelasan Eyang sekaligus—sedikit—bangga pada dirinya sendiri.

“Eyangmu ini udah ndak muda lagi.” Lanjut Eyang, “udah ndak ada yang mau tak kejar. Bahagiaku juga sederhana aja. Dapet kabar dari ibumu, bulekmu, pakdhemu, kamu, sepupu-sepupumu; masih bisa kumpul sama orang-orang sini; masih bisa duduk nonton TV tiap hari.”

Opo meneh...” (lagipula), Eyang masih mendominasi percakapan, “ndak ada yang ngebiarin Eyang kesepian. Ibumu, pakdhemu, bulekmu nelpon aku tiap hari. Tiap berapa bulan sekali nginep di sini. Kegiatan di sini juga sibuk, kamu liat sendiri toh tiap minggu ada acara di daerah sini? Belum lagi siang sama malem ada sinetron sek kudu tak tonton (yang harus aku tonton). Eyang ndak sempet kesepian.”

Ujung bibir Raden terangkat saat melihat mata Eyang menyipit—senyum beliau juga sama lebarnya dengan senyum Raden.