Seorang Teman di Ujung Telepon
Raden tak pernah menyangka bahwa lelaki yang dulu meminjaminya payung akan menjadi bahan utama percakapannya dengan Yoshi malam ini.
“Intinya dia naksir gue.” Lelaki dengan kaos putih polos dan celana kain selutut itu duduk bersila di teras, tangan kiri menahan ponsel di telinga, tangan kanan menahan sepuntung rokok yang tinggal setengah.
Jalanan telah sepi, satu-satunya pemandangan di depan rumah hanyalah pohon dan lampu jalan yang saling berseling.
“Sebenernya gue dulu curiga dikit kenapa dia mau-mau aja nemenin lo nangis-nangis sampe pagi.” Suara Yoshi terdengar jelas di antara senyap malam.
“Kayaknya waktu itu dia belum naksir gue,” kalimat Raden terjeda karena sesapan batang tembakau di mulut, “Sebenernya gue bingung kenapa dia bisa naksir gue, tapi bukan itu yang pengen gue omongin.” Lanjutnya setelah menghembuskan asap dari bibir yang sedikit terbuka.
“Lhah, tadi katanya mau ngomongin hal yang bikin lo bingung,” komentar Yoshi dari ujung telepon, “Tapi sebelum ngomongin itu, gue pengen tau deh, dari mana lo tau si Iyan ini naksir lo?“
Raden tak keberatan menjelaskan.
Ia menceritakan dengan kalimat singkat dan sederhana. Tak ingin terlalu rinci, tak ingin terlalu awam. Raden memulai dari keputusannya untuk menjauhi Julian, lalu si lelaki berlesung pipi itu malah menolak dengan alasan ingin lebih dari teman.
“Berani juga ya si Iyan ini.” Yoshi menanggapi—Raden dapat membayangkan Yoshi mengangkat satu kaki ke atas kursi, temannya ini memiliki kebiasaan mengubah posisi duduk setelah fokus mendengar sesuatu.
“Terus apa yang bikin lo bingung?” Lanjut Yoshi.
“Gue bingung kenapa dia bisa naksir gue in the first place,” Raden menyandarkan punggung di sandaran kursi, jarinya menjentikkan abu dari pantat rokok, “Tapi ada yang bikin gue lebih bingung.”
“Apa?”
“Gue nggak suka dia ngritik gue.”
“Lhah? Kenapa dikritik aja bingung?”
Sebenarnya—seperti yang dikatakan Raden sebelumnya di aplikasi pesan, ada banyak hal yang membuatnya bingung. Sebuah pertanyaan membawanya pada pertanyaan lain—tak ada satupun yang menemukan jawab.
“Dia bawa-bawa Helmi—” Terdengar suara oh pelan dari ujung ponsel, “Katanya gue susah percaya sama orang karena masih kebayang-bayang hubungan gue sama Helmi.” Raden menekan kuat ujung rokok pada asbak yang baru dibelinya siang tadi.
“Dia bilang bakal nemenin gue mulai semuanya dari awal, seolah dia pengen ngerubah gue jadi orang baru atau fix something dari gue.” Raden mendengus pelan.
“Gue dulu gampang percaya sama orang dan kepercayaan gue disia-siain gitu aja, keputusan gue buat nggak percayaan sama orang juga bukan keputusan yang tiba-tiba,” Mata Raden terfokus pada daun-daun di pohon yang bergerak tertiup angin, “Gue mikirin semuanya berhari-hari, berbulan-bulan, sampe akhirnya gue mutusin buat lebih hati-hati sama orang lain.”
“Dan ajakan dia buat mulai semuanya dari awal bikin gue ngerasa keputusan gue salah.” Mata Raden melirik meja, mengabsen barang-barang di sana—buku TTS, asbak, sebungkus rokok, korek, dan secangkir teh.
Sementara Yoshi masih mendengar seksama, tak biasanya Raden menyingkap pikiran selancar ini.
“Gimana bisa dia mikir gue salah jalan padahal ini hidup gue, gue yang ngejalanin, dan gue sendiri yang milih jalannya karena gue tau apa yang terbaik buat diri sendiri?” Raden menggigit bibir kesal.
Daun gugur belum sempat menyentuh tanah ketika Raden kembali menambahkan, “Eh sorry, kenapa gue jadi ngomel sama lo...” Ia menghembus napas berat, baru tersadar ia terlalu terbawa emosi.
“Nggak apa-apa, sih. Santuyyy.” Yoshi mengomentari, “Tapi ya, gue setuju sama lo.”
Apa Raden pernah mengatakan bahwa Yoshi kadang seperti Ayah untuknya?
Entah karena lelaki itu telah memiliki anak atau memang terbesit jiwa kebapakan di ujung hati yang jenaka, namun Raden selalu merasa—kadang, kadang, Yoshi bisa diandalkan dalam banyak hal.
Seperti sekarang.
“Setuju apa?” Tanya Raden.
“Setuju sama keputusan lo buat hati-hati sama orang lain.” Terdengar tempo bicara Yoshi yang semakin cepat—pertanda ia akan mengucap hal panjang,
“Hubungan antar manusia nggak se-simple hubungan manusia sama Tuhan yang bisa lo percaya sambil tutup mata,” Samar-samar suara kendaraan mulai terdengar—sepertinya Yoshi melangkah keluar rumah, “Mikir-mikir dulu setiap ketemu orang baru nggak bikin lo jadi jahat, itu cuma nunjukkin kalau lo punya garis-garis tertentu yang nggak boleh dilewatin orang lain, dan itu sepenuhnya hak lo.”
Raden tersenyum. Mungkin inilah yang membuatnya mempersilakan Yoshi memasuki hidupnya walau ada puluhan perbedaan di antara keduanya.
Raden senang dengan cara Yoshi menemukan berbagai jalan untuk tetap di sampingnya.
Karena kadang, kita tak butuh seseorang dengan kalimat muluk-muluk yang ingin mendorong kita memenuhi tuntutan dunia, kita hanya butuh seseorang yang selalu siap berada di pihak kita—dalam keadaan apapun, sekacau apapun.
Walau Yoshi memiliki keduanya—mulut dengan kalimat yang muluk-muluk dan kaki yang selalu menempatkan diri di samping Raden. Namun lelaki berkaca mata itu lebih menyukai sisi Yoshi yang ini, yang sekarang.
“Dia bilang masa lalunya bagian dari dia yang sekarang,” Raden melanjutkan keluh kesah, “Terus gue masih inget kalimat lanjutannya,aku yang sekarang terbentuk karena hal-hal yang udah aku lewatin sebelumnya.”
Raden terkekeh sebelum kembali meneruskan kalimat, “Aneh nggak sih gimana dia nyuruh gue buat nglepasin diri dari bayang-bayang masa lalu sementara dia sendiri jadiin masa lalu sebagai bagian dari dia yang sekarang?”
“Kayaknya di pikiran dia, gue yang sekarang ini jelek banget, masih kebawa-bawa masa lalu,” Tangan Raden naik, membenarkan posisi kaca mata yang sedikit turun, “Padahal—sama kayak dia, gue juga belajar banyak dari masa lalu.”
“Tapi kayaknya, dia nggak ngehargain proses gue buat belajar.” Raden tersenyum remeh, “Dan itu ngeselin.” Lanjutnya.
“Unfair.” Komentar Yoshi singkat.
Raden melirik bungkus rokok yang masih lumayan penuh—ia baru membelinya siang tadi bersama asbak. Pikirannya menimang untuk meraih sebatang rokok lagi atau menyesap secangkir teh yang tinggal setengah.
Kepalanya kembali ditolehkan pada halaman depan, Raden memilih untuk melanjutkan cerita.
“Mas Iyan juga bilang gue harus mulai liat orang dari kebaikannya, bukan dari buruknya doang, gue harus nentuin green flags orang lain—bukan cuma red flags.”
“Karena nggak ada manusia yang nggak punya red flags di dunia ini?” Tembak Yoshi cepat.
“Semacam gitu, lah.”
“Yang ini gue setuju.”
Raden mengangkat satu alis, “Setuju sama?”
“Iyan.”
Raden kembali tersenyum. Baru saja ia merasa tersanjung dengan sifat Yoshi, sekarang lelaki itu sudah berubah—tapi Raden memakluminya, inilah yang membuatnya cukup senang berteman dengan Yoshi, lelaki itu tak pernah berpura-pura.
“Sebenernya, ada manusia sempurna di dunia ini—yang nggak punya red flags at all,” Terdengar Yoshi memberi jeda untuk minum, “Manusia kayak gitu ada di setiap sudut bumi.”
Raden mendengar dengan seksama.
“Masalahnya, bumi itu bulat.”
Raden terkekeh, “Lucu.”
“Iyalah, emang lagi ngelawak.” Yoshi ikut terkekeh di ujung sana.
Lengang sejenak.
Sebuah motor melewati jalan di depan rumah Raden—menyita perhatian, matanya terkunci hingga motor itu menjauh.
“Gue nggak suka sama Mas Iyan karena hal-hal yang udah dia sampein tadi.” Raden menarik kesimpulan.
“Yaa...” Yoshi menggumam pelan, “Wajar, sih.”
Pukul sembilan malam.
Angin masih berhembus namun setiap hembusnya membawa rasa panas.
Tangan Raden menggerakkan kerah kaos untuk memberi kesejukan di area leher. Matanya sedikit mengintip langit malam.
Mendung.
Sebentar lagi hujan.
“Ada satu hal lagi yang bikin gue lebih bingung,” Ucap Raden—masih dengan tangan yang sibuk mengipas kerah baju, “I did the same thing.”
“Same thing? Lo ngritik dia balik?”
“Bukan.” Jawab Raden cepat, “I did it first.” Lanjutnya.
“Did you say something rude?” Tanya Yoshi, Raden menduga dahi Yoshi sedang mengernyit.
“Iya.” Raden meraih buku TTS yang memang dibiarkan tergeletak di meja teras, menggunakannya untuk menghasilkan angin segar.
“Hah?“
“Gue kasih dia empat alesan kenapa gue nggak nyaman sama dia.”
“Serius lo?”
“Kalimat gue juga lebih gamblang.”
Tak ada jawaban dari Yoshi.
“Gue sadar kalimat gue kasar banget buat dia, apalagi hal yang diomongin hmmm—masalah itu—” Raden berdeham, “Cerai.” Lanjutnya dengan suara yang dipelankan.
“Bentar, gimana?”
“Intinya gue ngelakuin hal yang lebih parah. Bahkan gue sendiri ngerasa kalimat gue nyinggung banget, harusnya dia lebih ngerasa kesinggung kan ya?”
Perlahan, gerimis mulai membasahi rerumputan. Yoshi masih terdiam untuk beberapa saat.
“Itu yang bikin gue bingung.” Ucap Raden pelan, suaranya masih lebih besar dari gerimis yang mengetuk genting, “Kalimat gue ke dia udah jelas lebih parah dari kalimat yang dia kasih ke gue,”
Raden terdiam sesaat.
“Tapi?” Yoshi memberi pancingan saat dirasa Raden menggantung kalimatnya.
“Tapi kenapa dia tetep naksir gue?”
“Wow.” Komentar Yoshi—telat beberapa detik dari kalimat terakhir Raden karena ia sendiri terhenyak.
Bulir-bulir air kian menderas.
Aroma tanah basah menyapa hidung lebih cepat dari rasa dingin menyelimuti kulit. Telapak tangan Raden segera bergerak mengusap bagian lengan dan kaki yang tertusuk beku.
“Gue masuk kamar dulu.” Raden sedikit berteriak—melawan deras hujan, tangannya sibuk memindahkan rokok dan korek ke saku celana sebelum memegang cangkir teh.
Cklek.
Raden menutup pintu kamar setelah meletakkan cangkir teh di wastafel—ia akan mencucinya besok pagi.
Suara deras hujan telah teredam sejak Raden memasuki rumah.
“Gue serius pas gue bilang gue setuju sama Iyan.” Ucap Yoshi tepat saat Raden mendudukkan diri di ujung ranjang.
“Gimana?” Dahi Raden mengernyit. Sepertinya Yoshi memikirkan banyak hal saat Raden berpindah dari teras ke kamar.
“Gue setuju pas dia bilang lo harus mulai liat orang dari hal baik yang dia lakuin, bukan jelek-jeleknya doang.”
Raden menaikkan satu alis, sepertinya—sependek ingatnya—ia telah selesai membahas perkara kritik dari Julian.
“Lo bakal terus ketemu sama orang yang nyebelin dan bawa bendera merah kemana-mana.”
Bawa bendera merah kemana-mana?
Raden menggigit bibir, siap menyembur tawa.
“Serius!” Seru Yoshi saat ia mendengar suara Raden yang menahan tawa.
“Nggak ada orang yang sempurna. Lo bakal selalu nemu kekurangan orang lain, tinggal kekurangan mana yang bisa lo maklumin.” Lanjut Yoshi, nada bicaranya lurus dan mantab.
Oh...
Raden teringat ucapan Julian dulu. Sesuatu tentang menoleransi perbuatan orang lain.
Selama masih bisa ditoleransi, Julian tak akan mengubah pandangannya pada orang tersebut.
“Jadi, Mas Iyan tetep naksir gue karena masih bisa maklumin omongan gue ya?” Ucap Raden pelan, lebih mirip gumaman namun Yoshi masih dapat mendengarnya.
“Hah?”
“Eh—”
“Lo dengerin gue nggak sebenernya?”
“Denger, kok.” Jawab Raden cepat, tapi nggak fokus; lanjutnya dalam hati.
“Kok malah ngomongin Iyan? Gue lagi ngomongin lo.” Ujar Yoshi kesal.
“Sorry.” Raden terkekeh, “Gue emang lagi kepikiran tentang Mas Iyan,” Ia merebahkan diri di kasur, “Gara-gara tadi lo bilang tentang maklumin kekurangan orang lain, gue jadi mikir, kayaknya Mas Iyan punya toleransi—atau tingkat maklum—atau sabar; yang lumayan... tinggi.”
“Ini lo beneran nggak paham kenapa si Iyan tetep naksir lo padahal abis dikata-katain?”
“Gue nggak ngatain.” Sergah Raden cepat, matanya fokus menatap langit-langit kamar.
“Iyaaaaaa.” Suara di ujung telepon terdengar jengah, “Gue cuma mau bilang, lo sebenernya nggak usah pusing-pusing mikir kenapa si Iyan masih tetep naksir padahal udah lo kasih kalimat mutiara,”
Raden terdiam, menunggu Yoshi menyelesaikan kalimat.
“Dia naksir elo—sayang sama lo,” Lanjut Yoshi, “Orang kalo udah sayang, jangan lo tanyain 'kenapa?' ; mereka bego. Nggak akan bisa jawab.”
Raden tertawa, “Kok bego?”
“Ya emang iya,” Yoshi sedikit terjeda, “Dulu bini gue juga ngeselin banget—asli!” Suaranya dipelankan—nyaris berbisik, “Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngomel, nggak sreg dikit aja langsung jadi masalah. Padahal gue benci banget tuh dengerin orang ngomel.”
Raden masih mendengar dengan seksama.
“Tapi kalo doi yang ngomel, kedengeran merdu banget!”
Raden kembali tertawa.
“Lo sama Iyan aja.”
Tawa Raden langsung padam, ia nyaris tersedak ludah sendiri.
“Lebih gampang naksir sama orang yang udah naksir lo duluan. Percaya deh sama gue.”
Raden menghela napas, “Gue nggak mau nyari gampangnya doang. Apa yang gampang didapetin bakal gampang lepas juga.”
“Aduh, salah ngomong mulu nih gue.” Terdengar Yoshi meringis di ujung sana, “Kalo lepas, ya udah tinggal lepasin.”
Raden menggigit bibir, “Entar gue sama aja kayak Mas Iyan, gampang dapetin—gampang juga nglepasin.”
Hujan di luar mereda. Suara ketukan bulir air di genting tak sekencang sebelumnya.
Suara klakson dari teras rumah Yoshi menembus ke kamar Raden.
“Kenapa kalian nggak saling nglengkapin aja?” Tanya Yoshi setelah hening selama sepuluh detik.
Dahi Raden berkerut, “Saling nglengkapin?”
“Iya, kalian punya pengalaman sama latar belakang yang beda; tapi lo berdua sama-sama belajar dari masa lalu, kenapa kalian nggak saling sharing tentang hal-hal yang udah kalian pelajarin?”
Raden mengerjap beberapa kali, “Kayak kerja kelompok ya...”
“Ya emang orang pacaran tu kayak kerja kelompok, 'kan? Harus punya tujuan yang sama, harus rajin diskusi, harus saling nglengkapin, harus saling jujur.”
Baru saja Raden hendak menjawab, Yoshi lebih dulu melanjutkan, “Harus mau sama-sama kerja. Kalo cuma satu orang yang kerja terus sisanya jadi free rider, ancur kelompoknya. Orang pacaran juga gitu, kalo cuma satu orang yang berusaha, ya udah—ancur hubungannya.”
Raden terkekeh pelan.
“Coba aja dulu.”
“Pikir-pikir dulu, deh.”
“Kalau nggak cocok ya udah tinggalin.”
“Gampang banget ya?”
“Bukan gampaaaang,” Yoshi benar-benar siap mengomeli Raden, namun ia memilih untuk diam selama dua detik lalu kembali melanjutkan, “Intinya, lo coba dulu deh, yang penting lo ada usaha buat nerima orang baru.”
“Tap—”
“Ini aja gue udah seneng lo nggak langsung nolak si Iyan.“
“Ya—”
“Usaha dulu. Masalah jadian atau enggak—itu urusan belakangan, yang penting lo biarin dulu dia masuk ke hidup lo.”
“Entar kalau—”
“Entar kalau gagal. Ya udah, coba lagi.“
Raden tertawa.
Pembicaraan keduanya masih berlanjut hingga tiga puluh menit ke depan. Lima menit mambahas Julian, dua puluh lima menit berikutnya diisi dengan perbincangan ringan—tentang keluarga Yoshi, tentang Eyang, (sedikit) tentang kantor, dan sisanya tentang warung bubur ayam di depan kantor yang tutup lebih awal seminggu belakangan.
Dalam alun perbincangan yang saling bersaut, terbesit sebuah keputusan di benak Raden untuk menuruti ucapan Yoshi—mengenal Julian lebih jauh dan membiarkan lelaki itu memasuki hidupnya.
Bukan. Bukan karena Raden mulai tertarik dengan Julian.
Raden hanya tak takut gagal.
Raden hanya...
Bagaimana ya menjelaskannya?
Raden hanya merasa, semua akan baik-baik saja—bahkan patah hati tak akan benar-benar mematahkannya.
Karena ia memiliki Yoshi.