Setidaknya, Kamu Memiliki Diri Sendiri

cw / tw// mention of cheating

Sepertinya, prediksi Julian sedikit meleset.

Ia kira, Raden akan menggunakan tisu untuk menangis lalu meminum air putih karena—pada umumnya—orang yang menangis pasti merasa dehidrasi.

Tapi Raden hanya terdiam. Bersandar di kaca mobil seolah ia memang sedang menunggu Julian. Membuat lelaki itu merasa bersalah meninggalkan Raden selama satu jam penuh (walau ia juga tak melakukan apa pun di dalam toko).

Saat pertama Julian melihat Raden di gazebo tadi, ia merasa ada yang aneh.

Raden tak lagi dalam dunianya sendiri. Seolah Raden baru saja berlari mengikuti cepatnya dunia, lelaki itu terlihat lelah.

Julian khawatir—tentu, ia takut sesuatu baru saja terjadi antara Oma dan Raden. Tiba-tiba ia ingin berlari ke rumah Oma untuk mengecek keadaannya.

Namun, ia yakin Raden tak akan meninggalkan Oma jika keadannya sedang kurang baik.

Jadi, ada apa?

Julian ingin tau namun ia tak mampu bertanya.

Ia ingin membuka dengan kalimat klise, kamu nggak apa-apa?, namun dilihat dari segi mana pun Raden terlihat tak baik-baik saja.

Mendadak udara di dalam mobil terasa agak sesak, Julian ingin menurunkan kaca jendela.

Untuk pertama kali, diamnya Raden membuat Julian merasa tak nyaman.

Selama ini, diamnya Raden tak pernah semenakutkan ini. Julian seperti terdiam di tengah lautan. Ia tak tau apa yang harus ia lakukan. Ia takut setiap keputusannya justru akan membuatnya tenggelam dan kehilangan arah.

“Raden,” Panggil Julian, memecah keheningan yang telah tercipta selama satu menit.

Yang dipanggil menoleh, “Iya?”

“Kamu mau pulang?”

Raden terdiam. Ia menggigit bibir atasnya, terlihat sedang berpikir selama beberapa saat.

Tak perlu dijawab, Julian tau. Raden tak ingin pulang.

“Oma,” Julian membenarkan posisi duduk, “Apa kabar?”

“Baik.” Jawab Raden cepat, “Tadi udah tidur sebelum aku pergi.”

Julian mengangguk paham.

Penerangan di antara keduanya hanya berasal dari lampu mobil. Sedikit remang dipadu gelapnya malam.

Sudah pukul sebelas malam.

“Aku baru tau kalo kamu ngerokok.” Julian menoleh, memberi sedikit senyum.

“Kadang aja sih,” Raden membalas senyum Julian seadanya, “Kalo butuh.”

Kalo butuh.

Julian mengangguk perlahan. Matanya melirik sekitar, ia memandang toko, jalanan, dan setir mobil, mana pun kecuali mata Raden.

Sebenarnya, Julian tak terlalu pandai menghadapi situasi seperti sekarang.

Ketika orang lain terkena masalah, Julian akan dengan senang hati mendengarkan, memberi saran, memberi solusi, bahkan membantu.

Namun tentunya, orang tersebut harus lebih dulu membuka diri. Dalam situasi ini, Raden hanya diam.

Satu deham terdengar dari mulut Julian.

Satu menit kemudian, deham kedua terdengar.

Satu menit lagi, deham ketiga terdengar.

Julian mulai resah. Ia takut Raden makin kalut dalam kesedihan namun ia tak bisa melakukan apa-apa.

Setelah menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, Julian menoleh pada Raden yang masih menyandarkan kepala di kaca.

“Raden.”

“Iya?” Raden menoleh pelan, “Mau pulang sekarang ya? Ya udah jalan sekarang aja, Mas. Maaf ngrepotin.“Lanjutnya cepat.

Julian langsung menggeleng, “Nggak,” Terdengar gumaman Julian, “Aku pernah denger ada penyair yang bilang,”

Penyair? Tiba-tiba banget?

Mata Raden sedikit lebih terbuka dari sebelumnya, ia tertarik dengan ucapan Julian.

“Sesuatu, makin dibicarakan, makin hambar.” Julian melanjutkan ucapannya, kedua mata menatap mata Raden yang berada di balik lensa.

Tak ada jawaban dari mulut Raden selama beberapa saat.

“Terus?” Ucap Raden pelan.

“Kalau ada sesuatu yang memberatkan kamu hari ini, kamu bisa cerita ke aku. Siapa tau jadi lebih ringan.”

Lagi-lagi tak ada jawaban dari mulut Raden.

“Temen ceritaku di sini cuma kamu.” Julian kembali mengucap, “Misal kamu khawatir aku bakal cerita ke orang lain...”

Raden tersenyum, cukup lebar, makin lebar, hingga Raden harus menutup mulut yang mulai memberi tawa kecil.

“Kok malah ketawa?” Walau tak tau letak lucunya di mana, bibir Julian ikut tertarik.

“Lucu,” Raden membenarkan posisi kaca mata yang sedikit turun, “Kamu kayak anak SD yang bilang ke temennya, kamu suka siapa? aku janji nggak akan bilang ke siapa-siapa.”

Julian ikut tersenyum, “Gimana ya...” Ia menggaruk pelipis yang tak gatal, “Siapa tau kamu takut digosipin atau gimana...”

Raden kembali tersenyum—tak mencapai matanya tentu, namun membuat wajah mungil itu terlihat lebih cerah dari sebelumnya.

Lesung pipi Julian mulai muncul, ia tersenyum melihat wajah cerah Raden. Suara tawa khasnya terdengar, “Mau cerita?”

Ternyata, hanya butuh satu tawa dari masing-masing pihak untuk mencairkan suasana.

Setidaknya, itu yang dirasakan Julian. Ia merasa lebih rileks.

Raden mengangguk, “Nggak apa-apa nih aku cerita? panjang lho?”

“Sampe besok pagi nggak? Besok aku harus buka toko, nyari duit.” Julian membalas dengan menunjuk toko yang telah sepi.

Raden tertawa.

Tawa inilah yang menjadi penutup kecanggungan malam ini.

Raden mulai membuat suasana baru dengan membuka cerita.

Hal yang pertama ia ceritakan adalah kisah yang lebih pendek.

Dirangkainya kata-kata tentang ulang tahun Eyang Kakung.

“Bisa aja aku yang terlalu naif mau ngerayain ulang tahun Eyang Kakung, tapi menurutku emang perlu dirayain. Kan cuma setahun sekali?”

Julian mengangguk paham, “Aku juga masih ngerayain ulang tahun Papa.”

Oh. Raden baru ingat, Papa Julian telah meninggal, “Nah, kan? Harusnya nggak apa-apa kan ngerayain ulang tahun orang yang udah meninggal? Tapi Eyang bilang, Yang hidup harus tetap hidup, yang mati biar mati.”

Julian terdiam. Setelah mendengar Raden membuatkan kue ulang tahun dan siap merayakan ulang tahun Eyang Kakung lalu—alih-alih disambut antusias oleh Oma—ia justru mendengar ucapan tersebut, Julian mulai mengerti mengapa Raden memilih keluar rumah. Mungkin Raden ingin menenangkan pikiran setelah merasa... tersinggung?

Julian tak ada di sana, ia tak mendengar itu semua, namun Julian ikut merasa... sedih? tersinggung? sakit hati?

“Keluarga kadang emang gitu ya?” Komentar Julian setelah mendengar cerita pertama Raden.

“Apa?”

“Nggak nyadar kalau omongannya nyakitin.”

Bibir Raden terangkat, mengingat ucapan Mas Cahya di grup keluarga, “Iya, ya? Pasti nggak sengaja ya?”

Julian mengangguk, “Kamu mau maafin Oma?”

Mata Raden segera melirik Julian, “Ini kamu minta maaf ke aku, Mas? Ngewakilin Eyang?”

“Nggak,” Julian menggeleng, tersenyum, “Aku cuma nanya, kamu mau nggak maafin Oma?”

“Ya, kalau Eyang minta maaf...”

“Harus Oma yang minta maaf?”

“Terus siapa kalau bukan Eyang?” Raden menolehkan tubuh sepenuhnya pada Julian.

“Kamu.”

“Aku?” Mata Raden mengerjap beberapa kali, heran.

“Menurutku ya,” Julian ikut memutar tubuh, menghadap Raden, “Maaf itu bukan sesuatu yang harus diminta dulu, baru kamu kasih. Kamu bisa aja memberi maaf seseorang, tanpa dia minta.”

Raden terdiam untuk beberapa saat. Bergeming menatap Julian.

“Aku nggak bermaksud menggurui ya,” Lanjut Julian saat dirasa tak ada respon dari lawan bicaranya, “Memberi maaf ke orang lain secara cuma-cuma itu bisa bikin hati kamu lebih tenang, kan bukan artinya kamu ngerasa salah terus kamu maafin mereka duluan,” Ia memainkan ujung jaket jeans di pergelangan tangan,

“Memberi maaf ini artinya, kalau menurutmu hal yang mereka lakuin itu salah—kamu inget aja, hal itu salah, kamu nggak akan ngelakuin hal itu ke orang lain, terus udah. Kamu yakin kalau kamu berhak dapat kedamaian, ketenangan, daripada sakit hati yang nggak berujung, iya nggak?”

Sebenarnya, Raden tak lagi memikirkan tentang Eyang, yang ia pikirkan adalah beberapa kalimat menyakitkan yang pernah ia dengar dari beberapa mulut. Entah teman, rekan kerja, atau sekadar orang yang baru ia temui.

Beberapa orang memang berlidah tajam, beberapa sengaja menyakiti, sisanya tak tau kekuatan kalimat sendiri.

“Oke. Aku tau hal yang mereka lakuin salah,” Lidah Raden terjulur sekilas, ia membasahi bibir yang terasa kering, “Terus mereka gimana?” Matanya memberi tuntutan pada Julian.

“Hm?” Dua alis Julian terangkat, “Gimana?”

“Aku tau hal yang mereka lakuin salah, oke. Mereka gimana bisa tau kalau hal yang mereka lakuin salah? Enak dong jadi mereka, nyakitin seenaknya tanpa harus minta maaf, eh udah dimaafin.”

Oh. Julian paham, “Kamu percaya kan kalau hidup ini kayak roda yang berputar?”

Tentu Raden percaya. Roda yang berputar artinya ada masa naik-turun di kehidupan, 'kan?

Lelaki berkaca mata itu mengangguk.

“Artinya bukan cuma tentang posisi sosial atau kekayaan seseorang yang bakal ada di atas atau di bawah, lho.”

“Terus?”

What goes around, comes around. Apa yang keluar dari mulut kita, bakal balik lagi lewat telinga kita.”

Raden terdiam sesaat, “Karma?”

Julian mengangguk, “Mirip?”

Kepala Raden mengangguk beberapa kali, “Iya juga, sih.”

“Tenang. Kamu nggak perlu khawatir tentang orang lain. They got what they deserve.” Julian tersenyum, lesung pipinya kembali muncul.

Raden ikut tersenyum, ada sedikit rasa lega yang ia rasakan.

Mungkin iya ya?

Sesuatu ketika diceritakan akan terasa hambar? Seperti yang dibilang Julian tadi?

Tapi pikiran lain mulai muncul di kepala Raden.

Jika karma memang ada, mengapa sekarang Raden merasa tercabik sendiri sementara Helmi tertawa di sana?

Maka, topik kedua mulai dibicarakan.

Raden tak tau harus memulai kisahnya dari mana.

“Mulai dari mana ya?” Ucap Raden sebelum bercerita.

“Dari awal.” Jawab Julian cepat.

Akhirnya, saat Raden berhasil memulai, ia tak tau cara mengakhiri.

Ceritanya panjang.

Amat panjang.

Benar-benar panjang.

Hingga pukul dua pagi, Raden baru saja memasuki momen-momen paling mengenaskan yang pernah ia rasakan.

Tiga botol kopi menjadi perantara Raden dan Julian—lelaki berlesung pipi itu dengan senang hati mengambil kopi dari toko untuk menemani perbincangan hari ini.

Jalanan benar-benar sepi. Malam terlalu larut. Tak ada lagi kehidupan di sekitar. Julian telah menghubungi Mama untuk tak menunggunya pulang.

Raden masih bercerita, tentang Helmi.

Julian sedikit terkejut saat melihat mata Raden berkaca-kaca.

“Aduh, sorry,” Raden segera meraih tisu di depannya, mengusap air mata yang turun, “Sorry, aku jarang nyeritain ini, jadi kebawa.”

“Nggak apa-apa, take your time, kalau mau nangis dulu nggak apa-apa, waktu kita masih banyak.” Julian tersenyum, tangannya terulur, menepuk ringan bahu Raden.

“Nggak apa-apa.” Raden sedikit menepis tangan Julian, “Aku lanjutin.”

Cerita terus berlanjut. Sesekali terhenti dengan isakan Raden. Sesekali terhenti dengan diamnya Raden, lelaki itu berusaha menenangkan diri.

Tak mudah menceritakan hal yang selalu dikubur rapat-rapat. Seolah seseorang baru saja mengorek luka yang sengaja ditutup.

Julian paham. Maka ia hanya diam tiap Raden mulai terisak, sesekali menawarkan air putih.

Raden menghela napas panjang, “Kamu inget nggak, Mas, kemarin aku nanya tentang hadiah pernikahan?”

“Inget,” Julian mengangguk, sedetik kemudian matanya membulat—tersadar akan sesuatu, “Itu... hadiah buat...?”

Raden mengangguk. Di antara isaknya, ia tertawa, “Iya, aku awalnya nggak mau ngasih kado, tapi abis dipikir-pikir, tetep aku kasih.”

“Kenapa?”

“Kenapa ya,” Sebuah senyum terukir dari ujung bibir Raden, “Aku pengen nunjukkin kalo aku ikut seneng?”

“Padahal enggak?”

Raden kembali tertawa.

Julian menelan ludah, tawa Raden terdengar menyakitkan, “Padahal kamu paling nggak bisa pura-pura di depan orang lain, gimana deh caranya kamu pura-pura biasa aja di depan Helmi?”

Seluruh tubuh Raden terhenti.

Iya, ya?

“Iya, ya?” Raden menyuarakan pikiran, “Kok bisa ya?”

“Pengecualian?” Julian menduga.

Exception?

Bisa jadi.

“Mungkin.” Jawab Raden, ia meraih botol air putih yang telah dipangku, meminumnya.

“Hari ini...” Ucap Julian dengan nada rendah, “Berat banget ya buat kamu?”

“Jujur, iya.” Jawab Raden cepat.

Lengang.

Katanya, malam memiliki rahasia yang dalam.

Di hembusan angin yang tak terlihat, dedaunan yang berayun, dan cahaya bintang yang berpendar, malam menjadi cangkul tak kasat mata. Ia akan menggali perasaaanmu, sedalam mungkin, hingga tak bersisa. Hingga kamu merasa tak ada lagi bongkahan yang terpendam.

Katanya, gelap malam mampu menjadi pisau yang tajam.

Ia akan mengulitimu hingga rasa telanjang membuatmu ingin lari terbirit-birit menunggu matahari terbit.

Begitulah Raden malam ini.

Ia menguliti dirinya sendiri. Membuka satu per satu lapis yang selama ini ia tutup.

Entah dorongan nikotin atau kafein atau memang ingin, Raden menceritakan hal-hal yang selama ini ia abaikan.

“Mas.” Panggil Raden setelah ia menenangkan diri, matanya telah kering.

Julian menoleh, matanya telah diberatkan kantuk. Pukul setengah empat pagi, lebih lima jam dari jam tidurnya.

“Menurutmu,” Raden ikut menoleh, “Kalau karma emang ada, kenapa... aku terus... yang...” sakit hati, lanjutnya dalam hati, ia tak mampu mengucap, “Kayak gini?”

Julian terdiam. Rasa kantuknya mulai hilang perlahan. Ia biarkan Raden melanjutkan kalimat.

“Pas mereka selingkuh, aku yang nangis. Pas mereka pacaran, aku yang nangis. Sekarang pas mereka nikah, aku juga yang nangis.” Satu tetes air mata kembali turun dari mata Raden—yang langsung diusap dengan tisu.

Tak ada jawaban dari mulut Julian.

“Kenapa mereka bisa ketawa segampang itu padahal tiap pagi aku selalu bangun sambil mikir gimana caranya biar aku ketawa hari ini ya?” Hidung Raden makin memerah. Kaca mata yang awalnya ia taruh di pangkuan segera ia pindah ke dashboard—takut terkena tetesan air.

Julian masih terdiam. Seumur hidup, ia tak pernah merasakan diselingkuhi, selingkuh, atau sejenisnya. Mungkin ia hanya melihat kehidupan teman-temannya yang demikian.

Tapi ia tau, pasti menyakitkan.

Pengkhianatan, selalu menyakitkan.

“Katanya, time will heal, tapi ini udah lima tahun,” Raden berusaha meraup oksigen di sekitarnya—napasnya tersendat, “Tapi aku masih gini-gini aja.”

Lagi-lagi, sesak di tenggorokan Raden meleleh di mata, “Terus lo—eh kamu, sorry,” Ia mengusap air mata dengan punggung tangan yang bergetar, “Kamu bilang people got what they deserved,” Ditariknya napas dalam lalu dihembuskan pelan, “Do I... deserve this?

Julian segera menggeleng, “Nggak. Sama sekali nggak.” Diraihnya tangan Raden lalu diusap lembut.

Ia biarkan Raden menunduk, menghapus air mata dengan tangan lain.

“Aku salah apa?” Raden menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan isakan yang kembali menyerang.

Pertanyaan ini, adalah pertanyaan yang tak pernah Raden tanyakan, meski ribuan kali ia ingin mendengar jawabnya, namun nyalinya tak sebesar rasa ingin tahunya. Raden tak siap—atau tak akan pernah siap untuk mendengar jawaban yang sesungguhnya.

Julian tak tau. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia hanya mampu mengusap punggung tangan Raden dengan kedua tangan, “Bukan salah kamu.”

I know!” Seru Raden, tangannya yang lain mengusap kasar mata yang berair, “Terus salah siapa?!” Ribuan gong seolah baru digaungkan di jantung Raden, dengungnya membawa perih di tiap ujung tubuh.

Hancur.

Untuk pertama kalinya, Julian melihat kehancuran Raden.

Tak ada lagi ketenangan yang mengitari lelaki mungil itu. Tak ada lagi tatapan lembut dan tawa pelan yang memberi kehangatan.

“Maaf.” Ucap Raden lirih, ia menarik tangannya dari genggaman Julian, “Maaf aku harusnya—” Ia tercekat, nyaris tersedak ludah sendiri, “Harusnya aku nggak marah-marah. Maaf.” Ia makin menunduk, dua tangan digunakan untuk menutup wajah.

Lengang.

“Minum dulu,” Julian mengulurkan botol air putih miliknya, “Gantian aku yang ngomong gimana? Biar tenggorokanmu istirahat dulu.”

Raden tersenyum lemah, diterimanya uluran botol Julian, “Silakan.”

“Aku, sekarang jadi paham kenapa kamu tadi duduk lemes banget di gazebo,” Ucap Julian, “Pasti banyak yang kamu pikirin.”

Raden mengangguk lemah.

“Aku nggak tau ini bakal bantu kamu atau enggak, tapi ada orang yang bilang gini ke aku,” Julian membasahi bibir sebelum melanjutkan kalimat, “Hidup ini bukan cermin—yang bakal ikut nangis pas kamu nangis, ikut ketawa pas kamu ketawa. Semua ada waktunya masing-masing.”

“Aku tau kamu kesel denger kata waktu,” Lanjut Julian, “Tapi emang gitu. Mungkin pas dia ketawa, kamu nangis. Pas kamu ketawa, siapa tau dia lagi nangis, ya nggak?”

Raden tak menjawab.

“Sama kayak kamu yang nggak pernah nunjukkin rasa sedihmu ke mereka. Mereka mungkin juga nggak nunjukkin rasa sedihnya ke kamu. Yang mereka tunjukkin, cuma senengnya aja.”

Masuk akal, sih.

Raden menggerakkan tangan, membuka tutup botol lalu meminumnya. Matanya terasa berat. Selain karena digelayuti malam, matanya juga menjadi bekas aliran sungai yang cukup deras.

Namun, terlepas dari matanya yang berat, rongga dada Raden terasa lebih ringan.

“Mungkin orang-orang di sekitarku juga gitu, ya?” Suara Raden kembali terdengar.

“Apa?”

“Mereka keliatan biasa aja sama Helmi, padahal mereka tau Helmi udah ngelakuin hal... kayak gitu.

Oh. “Mungkin,” Jawab Julian, “Kamu tadi bilang, 'kan? Kamu berusaha keliatan biasa aja dan nggak mau bahas tentang Helmi di depan orang-orang?”

Raden mengangguk.

“Mungkin mereka juga mau keliatan biasa aja, karena kamu juga keliatan biasa aja.”

Ujung bibir Raden tertarik, Benar ya kata orang-orang? Dunia itu panggung sandiwara.

“Kita nggak tau, Raden, isi hati orang-orang.”

“Iya.”

“Mereka juga nggak bakal tau isi hatimu kalau kamu nggak bilang.”

Tangan Raden naik, mengusap sisa air mata, “Iya.”


Tak ada satu pun suara terdengar di dalam mobil. Hembusan angin dan riuh ranting saling beradu hanya mengetuk kaca mobil lalu putar balik.

Sepi.

Benar-benar sepi.

“Udah sejauh ini, Raden.”

“Apanya?”

“Kamu.”

Raden tersenyum remeh—meremehkan diri sendiri, “Jauh apa, cuma di sini aja.”

Julian menggeleng, “Enggak, kamu udah melangkah jauh banget.”

“Kemana, Mas? Aku nggak pernah—” Raden terbungkam kalimatnya sendiri, mendadak ia tak tau arah pembicaraan Julian.

You push yourself, sejauh ini. Sampai kamu bisa tetep lulus, tetep kerja, tetep lanjut kuliah,” Tangan Julian disilangkan di depan dada, tubuhnya menghadap Raden, kepalanya bersandar di kursi mobil, “You're doing great.

“Nggak sehebat itu, aku cuma nyibukkin diri aja.”

“Nggak semua orang bisa kayak gitu. Beberapa mungkin berlarut-larut sampai nggak bisa mikirin masa depan. Kamu harusnya bangga sama diri sendiri.”

“Gitu ya?”

Julian mengangguk, “Bertahan itu susah.”

Raden tersenyum, “Iya.”

“Apalagi bertahan sendiri.”

Seulas senyum kembali terbit di bibir Raden, “Iya.”

Please, tetep kayak gini.”

Satu alis Raden terangkat, “Kayak gini?

“Tetep kuatin diri kamu sendiri. Mungkin orang lain bisa aja bantu kamu—aku, oma, temen-temen kamu, orang tua kamu—tapi bakal ada saatnya kamu bakal sendiri.”

“Iya.” tadi, lanjut batin Raden.

“Percaya, deh. Abis semua ini lewat, nggak ada lagi yang bisa nyakitin kamu.”

“Oh, ya?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Karena kamu tau caranya bertahan sendirian.”

Raden terkekeh, masa sih?


Pukul empat pagi, Julian mengantar Raden pulang.

“Makasih, Mas,” Ucap Raden saat keduanya telah mencapai halaman rumah Raden, “Maaf, maaf banget aku ganggu waktu tidur kamu.”

Julian tersenyum, “Nggak ganggu sama sekali. Aku seneng bisa ngobrol sama kamu.”

Raden ikut tersenyum, “Makasih, Mas. Lain kali aku bakal siap dengerin kamu, semalem—dua malem, bakal aku dengerin.”

Julian tertawa, lesung pipinya terlihat, kantung mata yang membesar juga terlihat, “Aku nggak punya cerita apa-apa.”

“Kalau gitu, abis ini—kalau kita pergi, aku bakal traktir kamu.”

Sounds good.” Julian mengangguk senang.

“Ya udah, aku turun dulu ya.” Raden membuka sabuk pengaman, bersiap membuka pintu mobil.

“Oh iya, Raden.” Panggil Julian saat salah satu kaki Raden telah menyentuh tanah.

“Iya, Mas?” Raden segera menoleh.

“Aku tadi lupa mau bilang ini,” Julian mengeratkan pegangannya pada setir mobil, “Lima tahun ini, kamu selalu ngehindar buat bahas Helmi, 'kan?”

Raden mengangguk.

“Gimana kalau Oma juga gitu?”

Dua alis Raden terangkat, “Kan beda, Mas—”

“Mungkin, Raden, mungkin,” Julian menggigit bibir, “Mungkin sakitnya sama.”