Suaramu, Jalan Pulang yang Kukenali

Suaramu lindap di antara celah tanya ketika aku bertanya: inikah masanya? – Adimas Immanuel


cw / tw // harsh words ; cheating ; violence ; blood ; murder ; major character death

Napas Raib tersengal. Kakinya bergetar, tak mampu menopang berat badannya sendiri. Ia baru saja berlari dari kampus hingga kos—tanpa jeda, dengan kekuatan penuh.

Setelah delapan menit berlari, di sinilah Raib.

Tepat di seberang kos Pak Juna.

Jalanan ditutup.

Di depan pagar, puluhan—bahkan ratusan orang berkerumun. Polisi, wartawan, masyarakat biasa, pejalan kaki, semuanya.

Jantung Raib berdegup kencang. Di antara semua wajah asing dan suara bising, seseorang menghampirinya.

“Raib, udah dikabarin?” Daffa, yang pesannya belum dibalas Raib, mendekat. Lelaki itu ada di barisan paling belakang kerumunan.

Raib mengangguk. Ia masih mengatur napas, tangannya mengusap perut yang terasa perih karena baru saja berlari. Kakinya bergetar karena langkah yang diambil selama berlari cukup lebar dan cepat.

“Udah...” Raib tak tau kata apa yang tepat untuk digunakan, “Mau dimulai?”

Daffa terdiam selama beberapa saat. Mengamati sekilas rambut Raib yang berantakan, peluh yang menetes, bekas luka yang masih terlihat jelas, memar-memar yang samar terlihat. Setelahnya, ia mengangguk, “Baru mau dimulai.”

Raib lemas. Ia ingin menjatuhkan diri di jalanan. Namun ia tak ingin tertabrak orang-orang yang masih berdatangan.

“Lo abis ngapain sih? Lari?” Tampak sedikit gurat cemas di wajah Daffa. Ia tak tau apa yang terjadi, namun pacarnya—Yudha—sempat mengatakan bahwa Raib mengenal baik Hugo, tanpa menjelaskan seberapa kenal. Belum lagi desas-desus Pak Juna yang berusaha membunuh Raib. Mau tak mau, Daffa menaruh simpati pada lelaki yang tampak pucat di depannya.

“Iya, tadi abis dari kampus.” Jawab Raib singkat, ia masih berusaha meraup udara sebanyak mungkin.

“Kampus mana? FISIP?”

Raib mengangguk.

Daffa menghela napas. Pantas Raib kelelahan. Kepalanya ditolehkan ke seluruh arah. Mencari tempat yang bisa menjadi tempat istirahat Raib.

“Duduk sana, gue ambilin minum.” Seru Daffa, menunjuk lampu jalan di trotoar di seberang kos. Area itu cukup kosong karena semua orang sedang berkerumun tepat di depan kos. Tangannya memapah Raib, menggiring kesana.

Raib menurut. Pinggangnya terasa kaku dan seluruh kulitnya seperti terbakar. Ia butuh tempat yang lapang—paru-parunya tak akan sanggup berebut oksigen dengan puluhan orang di kerumunan.

Raib duduk di trotoar. Kakinya diluruskan. Punggung disandarkan di tiang lampu jalan yang sedikit hangat karena tersengat sinar mentari.

Daffa sudah berlalu mengambil air minum, entah di mana.

Mata Raib mengamati keramaian di depannya. Ada alat berat—yang Raib tak tau namanya—di halaman kos. Puluhan petugas dan wartawan stand by. Garis polisi dipasang dari area pagar.

Di antara lautan manusia di sana. Tak ada satupun yang Raib kenal.

Saat alat berat mulai digerakkan, beberapa orang mulai bergeser ke satu sisi, ingin melihat alat berat itu lebih dekat.

Ketika kerumunan mulai berat sebelah, mata Raib mengenali beberapa orang dari belakang—di sisi yang hanya tinggal satu baris.

Keluarga Hugo.

Papanya—Bima dan Mamanya—Kania yang saling mengenggam tangan, tak lama, keduanya dipersilakan masuk ke halaman,

dan tepat di belakang pagar, terdapat Jibran yang dipapah Pak Jo.

Raib baru menyadari, ada beberapa orang berjas hitam di sekitar mereka.

Mungkin pengawal?

Yahya. Sedang berdiri di samping sosok tegap berjas biru tua.

Mungkin ayahnya?

Raib menggigit bibir bawah. Jantungnya seperti dipukul berkali-kali. Rasa sesak yang telah memudar seminggu belakangan kembali tercetak dengan jelas.

Hugo.... nyata.

Walau seluruh kenangannya terasa tak masuk akal. Namun segala hal yang ia rasakan bersama Hugo, adalah kenyataan.

Raib mengusap dadanya yang terasa sesak.

Semua ini... nyata, kan?

Rasa nyeri di dada Raib setiap mendengar nama Hugo, adalah sebuah nyata juga, kan?

Napas Raib kembali tersengal. Ia memejamkan mata, membiarkan beberapa bulir panas jatuh dari ujung mata. Tangannya masih mengusap bagian dada, mengharap kelapangan dari sana.

Di antara gelap mata Raib, di antara suara langkah yang terburu, di antara ratusan percakapan di depan mata.

“Raib.”

Tiba-tiba sebuah suara terdengar.

Samar. Namun Raib mengenali suara ini.

“Raib.”

Suara ini...

Mata Raib kontan terbuka. Menengok ke seluruh arah.

Hugo?

Ia berdiri. Matanya dipicingkan. Mencari asal suara.

“Raib.”

Suara itu kembali terdengar.

Raib terus mencari.

Menoleh ke belakang.

Ke kanan.

Ke kiri.

Tak ada.

Kini suara kepakan beberapa burung terdengar dari belakang Raib, kumpulan burung itu terbang menuju rumah kos di seberang Raib.

Pandangan Raib mengikuti. Menatap satu per satu burung yang membentuk formasi.

Lalu pandangan Raib turun perlahan.

Hugo?

Raib mengusap mata, menyingkirkan air mata yang masih membendung dan menganggu penglihatan.

Di antara tubuh puluhan orang yang sedang riuh. Raib dapat melihat sedikit wajah Hugo. Tepat di halaman. Sedang menghadap Raib. Menatap Raib.

“Raib.”

Tanpa sadar, kaki Raib terus melangkah. Mengabaikan suara bising di sekitar, telinganya hanya terfokus pada panggilan Hugo yang sekali lagi terdengar.

Hugo?

Raib membelah kerumunan. Tangan sibuk mendorong beberapa orang agar ia bisa berada di baris depan. Tubuh berkelit dari satu celah ke celah lain. Kepala mengangguk tak acuh saat beberapa orang meneriaki.

Raib tak peduli. Matanya fokus pada sosok Hugo yang makin terlihat. Arwah itu sedang berdiri beberapa langkah dari teras.

“H—Hugo?” Panggil Raib lirih. Ia telah berada di barisan paling depan. Tepat di hadapannya, ada petugas yang berjaga.

Dari depan sini, Raib dapat melihat halaman kos yang sibuk. Beberapa petugas yang sedang berkoordinasi. Sebuah tenda sederhana yang dibangun di depan jendela kamar Yudha—untuk beberapa petugas dan orang tua Hugo.

Raib tertegun. Sudah berapa lama persiapan ini dilakukan? Mengapa Raib baru tau sekarang? Saat kondisi sudah seramai ini?

Pintu depan sedikit terbuka, Raib dapat melihat bagian dalam rumah yang tak kalah riuh. Beberapa orang sibuk mondar mandir.

Tak lama, suara Hugo yang tak kalah samar dari arwahnya, kembali terdengar,

“Raib, sini.”

Hugo tersenyum.

Raib menahan air mata yang siap turun. Bagaimana Hugo bisa tersenyum setelah meninggalkannya seminggu belakangan?

Tubuh Raib semakin menerjang maju.

“Tolong tetap di belakang garis.” Petugas di depan Raib memasang badan. Melarang Raib memasuki area halaman.

“Pak, saya harus masuk.” Ucap Raib dingin, tak acuh dengan petugas di depannya. Ia merangsek maju.

Tubuh Raib ditahan, “Yang tidak berkepentingan dilarang masuk.” Petugas itu sedikit mendorong Raib ke belakang, nyaris mengenai wartawan yang sedang berdiskusi dengan rekan.

Raib tak menyerah, ia kembali maju, “Pak saya harus—”

Kepala Raib berdenging.

Ia mengangkat tangan, menyangga bagian kepala yang terasa berputar. Tangannya yang lain meremas lengan petugas di depannya. Samar-samar terdengar petugas polisi yang panik dan memanggilnya berkali-kali.

Raib menggelengkan kepala, berusaha mengembalikan penglihatannya yang kabur. Suara dengingan di kepala makin keras, memekakkan telinga dan menyebarkan rasa ngilu dari pelipis hingga belakang kepala.

Raib memejamkan mata, tak mampu lagi menahan berat di kepalanya.

Sedetik setelah matanya terpejam, rasa berat dan suara denging hilang bersamaan.

Raib membuka matanya.

Eh?

Raib tak lagi berada di depan kos. Suara kerumunan telah menghilang diganti senyap. Ia menginjakkan kaki di tempat yang tak ia kenali.

Sejauh mata memandang, yang dilihat Raib hanyalah kegelapan.

Raib memperhatikan tangan dan kakinya, terlihat jelas. Ia mendongak, menyipitkan mata. Seolah lampu sorot sedang dihadapkan padanya.

Hanya ada Raib di tempat gelap itu. Ia celingukan, bingung. Tak tau harus melangkah kemana.

Saat sedang berusaha mengamati apa yang ada di depannya. Suara helaan napas terdengar dari belakang.

Raib segera menoleh.

Matanya membulat sempurna.

Tiba-tiba ia sudah berada di kamar mewah bernuansa emas. Raib berdiri di depan pintu masuk kamar.

Kamar hotel?

Jantung Raib berdegup kencang.

Mengapa tiba-tiba Raib ada di sini?

Terdengar suara percakapan dua orang dengan latar musik suara... film?

Raib melangkah, mendatangi sumber suara walau hatinya ragu. Terakhir ia 'membobol' rumah orang, ia berakhir dengan nyaris dikubur hidup-hidup.

Tubuh Raib sampai di sebuah ruangan yang lebih terang. Ada sofa dan TV raksasa di sana. Di belakang sofa, terdapat sebuah ranjang bergaya eropa dengan tirai-tirai yang menutupi.

Raib sedikit mengintip di antara tirai.

Mulut Raib ternganga.

Hugo...?

Pak Juna?

Kedua lelaki itu sedang berpelukan di atas ranjang. Pak Juna tengah bersandar di headboard dengan bertelanjang dada, Hugo sedang menyandarkan kepala di dada bidang Pak Juna—sama dengan Pak Juna, Hugo juga bertelanjang dada. Keduanya asyik menonton televisi.

Oh, shit. Raib tak mau berada di tempat ini. Entah ini khayalan atau mimpi atau apapun, ia akan mencari jalan keluar.

Baru saja Raib membalikkan badan, terdengar suara Pak Juna.

“Jibran ikut beasiswa Golda?”

Raib menoleh. Mendapati Pak Juna sedang mengusap rambut Hugo, sesekali memberi kecupan ringan di ujung kepala. Matanya masih fokus di televisi.

Hugo sedikit mendongak, “Emang kenapa?”

Jantung Raib tertusuk saat melihat tatapan lembut dan penuh kagum dari mata Hugo.

Entah mengapa, Hugo yang ada di hadapannya sekarang, tak seperti Hugo yang ia kenal. Hugo yang ini, terlihat lebih ceria dan tenang di waktu yang bersamaan.

Tangan Pak Juna turun, mengusap pipi Hugo, “Nah, kemarin ada staff yang bilang, salah satu keluarga Sadewa ada yang lolos beasiswa Golda. Tapi karena aku nggak ada urusan sama that shit jadi aku nggak tau siapa yang keterima.”

Oh, that's me!”

Raib terlonjak. Apa yang baru saja ia dengar?

Ia mendengar suara Hugo menggema di sekitarnya, dengan volume yang lebih besar dari suara lain di kamar ini. Anehnya, Hugo yang ada di hadapan Raib tak menggerakkan mulut sama sekali.

Kepala Raib ditolehkan ke seluruh ruang, mencari sumber suara. Apa ada Hugo lain di ruangan ini?

Nihil.

Raib kembali menoleh pada pasangan di ranjang.

Hugo menggeleng manja dalam dekapan Pak Juna, “Nggak sih, sepupu aku kalik.”

Wait...

Raib terpaku di tempat, menyadari sesuatu.

Matanya kembali mengedar, sibuk mencari penunjuk waktu.

Oh.

Benar saja.

Tepat di samping ranjang, terdapat jam digital.

Pukul sebelas malam. Tanggal 14 Mei 2021.

Sependek ingatnya, satu hari setelah tanggal ini, Hugo menulis list goodbye gift?

Jadi, hadiah perpisahan di bukunya Hugo, emang ditulis karena Hugo udah tau dia keterima beasiswa? Karena Pak Juna sendiri yang bilang?

Raib menutup mulutnya yang ternganga.

Oh My God.

Raib...

Berada dalam ingatan Hugo?

Nggak masuk akal...

Yang terjadi berikutnya lebih tak masuk akal.

Seluruh warna di ruangan mendadak bercampur menjadi satu bagai ratusan warna cat dalam satu wadah yang diaduk asal.

Lalu gelap.

Hening.

Raib kembali berpijak di ruangan gelap dengan lampu sorot mengarah padanya.

Pandangan Raib mengedar. Berusaha mencari jalan keluar.

Tak ada.

Tapi kalau bukan gue gimana?

Raib menoleh ke belakang saat ia kembali mendengar suara Hugo yang menggema.

Perlahan, gelap berubah menjadi remang, remang menjadi terang.

Sedikit demi sedikit, senyap mulai diganti suara percakapan dan musik yang berpadu menjadi satu.

Raib sedang berdiri di sebuah ruang keluarga dengan atap tinggi dan dinding bernuansa emas-krem. Terdapat sofa merah muda berbentuk setengah lingkaran yang membentang luas dengan karpet oval berwarna senada di tengah.

Seorang wanita sedang menonton televisi sambil memainkan tab-nya.

“Mam!” Seru seseorang dari belakang Raib.

Hugo.

Lelaki itu lewat begitu saja di samping Raib dengan celana kain dan kemeja. Terlihat formal.

Yes?” Kania, yang sebelumnya sedang memainkan tab, menoleh sekilas pada Hugo.

Hugo duduk di samping Kania, menyandarkan kepala di bahunya, “Tau nggak, saudara Papa siapa aja yang ikut beasiswa Golda?”

Kania berhenti sejenak, menggumam pelan, “Mama taunya cuma kamu yang ikut? Kenapa?”

Hugo menggeleng, membenarkan posisi sandarannya, “Nggak apa-apa.”

“Tapi bisa sih, sepupu kamu dari Om Tanu itu ikut, kalian seangkatan, kan?”

Perlahan, suara-suara di sekitar Raib menghilang. Seluruh ruangan berputar dan warnanya memudar, bercampur menjadi satu.

Gelap.

Raib belum sempat berkedip ketika sebuah cahaya berpendar kuat, menyilaukan. Ia menyipitkan mata, tangannya terangkat, menghalau cahaya.

Kegelapan di sekitar Raib berubah jadi remang lalu digantikan terang. Kanan-kirinya ramai orang lalu lalang.

Raib berdiri di tengah trotoar. Terdengar riuh keramaian dan deru mesin kendaraan.

“Entar kalau Kak Daffa nggak mau bayar gimana, ya?”

Sekali lagi, suara Hugo menggema di telinga Raib, mengalahkan bising di sekitar.

Raib segera menoleh pada bangunan yang berada tepat di sampingnya. Sebuah restoran. Dari dinding kaca di depannya, Raib dapat melihat Hugo tengah duduk sendiri. Terlihat menanti seseorang. Di depannya terdapat satu loyang pizza.

Otak Raib berputar cepat.

Ini...

Lunch bareng Mas Dafffa- Mas Yudha?

Suara keramaian sekitar memenuhi telinga Raib. Tempatnya berdiri terlalu bising. Ia memutuskan untuk memasuki restoran.

Baru saja kakinya hendak dilangkahkan, Raib sudah didahului oleh dua sosok yang ia kenal, Daffa dan Yudha.

Yudha berjalan lebih dulu. Langkahnya terburu. Saat sampai di depan Hugo, ia menghempaskan diri.

Waduh.

Raib segera mengikuti di belakang. Seingatnya, Yudha akan memarahi Hugo habis-habisan.

Terdengar riuh suara musik, pengunjung saling mengobrol dan kesibukan dapur saat Raib memasuki restoran minimalis dengan sedikit sentuhan gaya Eropa itu. Ia berjalan cepat, mendahului Daffa yang berjalan lambat.

Berikutnya, suara di sekitar Raib menghilang. Seolah dibisukan. Ia seperti menonton pantomim.

Gerakan mulut Yudha terlihat dengan ekspresi penuh kesal. Sepertinya ia sedang memarahi Hugo habis-habisan. Terlihat pengunjung lain yang ikut menoleh ke meja Hugo.

Raib mengusap kedua telinganya. Mengapa tak terdengar apapun?

Setelahnya, pemandangan di depan Raib seolah bertransisi. Semua hal yang dilihatnya berubah menjadi hitam putih lalu... gelap. Seolah seseorang baru saja mematikan televisi tanpa persetujuan Raib.

Secepat kilat, seluruh kegelapan di depannya seolah terbawa angin. Melesat pergi lalu digantikan cahaya lain. Sebuah lampu gantung raksasa.

Terdengar samar-samar suara benda alumunium saling bertemu. Suara sendok dan piring saling beradu. Dan suara gelak tawa dari beberapa orang.

Cahaya dari lampu gantung perlahan menyebar. Raib tengah berada di ruang makan.

Apa yang terjadi?

Raib menoleh ke sekitar, ruang makan ini memiliki meja kaca di tengah berbentuk persegi dengan enam kursi saling berhadapan. Terdapat dapur yang terhubung langsung dengan ruang makan.

Rumah ini bernuansa biru muda, dihias dengan akuarium di setiap sisi.

Suara di sekitar Raib semakin mengeras. Seolah seluruh peristiwa yang terjadi memang ada di depannya.

Lalu, Raib nyaris terlonjak saat beberapa orang tiba-tiba menduduki meja makan itu.

Hugo dan Yahya.

Mereka sedang asyik berbincang. Sesekali Hugo tertawa, sesekali Yahya tertawa, sesekali keduanya tertawa bersama.

“Bun, udah jangan masak banyak-banyak.” Hugo menoleh ke arah dapur. Seorang wanita dengan dress polos merah dan apron abu-abu muncul. Rambutnya diikat setengah, ia terlihat anggun dan ramah.

“Nggak apa-apa, kan kamu suka.” Wanita itu—yang sepertinya ibu Yahya—Bubun.

Beberapa hidangan kembali disajikan.

“Bun, Hugo keterima beasiswa Golda, lho.” Seru Yahya, ia tertawa sambil menerima piring yang diulurkan Bubun.

“Oh ya? Bagus, Nak,” Bubun tersenyum cerah, “Kapan berangkatnya?”

“September!” Yahya menyahut lebih dulu, “Cepet banget ya, Bun? Kayaknya Hugo sengaja mau cepet-cepet ninggalin aku.” Tawanya kembali terdengar, namun Raib dapat merasakan bahwa tawa itu dipaksakan.

Hugo dan Bubun ikut tertawa. Percakapan kembali dilanjutkan dengan percakapan-percakapan ringan lain. Bubun bergabung di meja makan.

Hanya Yahya yang tampak tak bersemangat mengikuti percakapan meriah itu. Sesekali ia terdiam, sesekali ia melamun.

Raib menyadari situasi di depannya. Hugo dan Bubun tengah bersuka cita merayakan kelulusan Hugo. Sedang Yahya menjadi satu-satunya pihak yang berduka.

Raib mengamati gurat wajah Hugo yang memberi senyum lebar pada Bubun. Gerakan tubuhnya sopan dan gurat wajahnya lembut. Hugo memberi tawa-tawa kecil pada setiap lelucon yang dilempar Bubun.

Tanpa sadar, senyum Raib ikut tersungging. Hugo yang ada di depannya memang tak seperti Hugo yang selama ini dikenalnya, namun senyum dan tawanya, masih sama. Masih menenangkan dan renyah di telinga.

Pipi Hugo yang bulat terangkat sempurna, matanya menyipit dan bibirnya yang mungil terbuka—menampakkan gigi-gigi yang berbaris rapi.

Ada rasa hangat yang menyentuh seluruh tubuh Raib.

Andai gue bisa liat ini semua tiap hari.

Setelahnya seluruh ruang berputar. Awalnya lambat, hingga Raib merasa mual.

Lalu semakin cepat.

Sangat cepat.

Raib mengerjapkan mata beberapa kali.

Apa yang terjadi?

Gelap.

Hening.

Mata Raib melirik was-was. Setelah beberapa kali mengalami perpindahan tempat, Raib mulai sedikit paham. Mungkin ruang gelap ini adalah jeda perpindahan dari satu memori ke memori lain?

“Kak! Dengerin aku nggak?”

Raib menoleh. Matanya langsung disambut dengan cahaya terang lampu kamar. Ia ingat, ini kamar Hugo. Masih dengan dua almari penuh penghargaan dan satu ranjang besar di tengah.

Hugo sedang tertidur di sana, sedangkan Jibran duduk di sisi Hugo. Yang lebih muda sibuk bercerita. Hugo memeluk guling, dapat terlihat jelas matanya sudah terkantuk.

“Iya dengerin kok, apa tadi? Wujud mesin waktu kayak langit?” Hugo terkekeh.

Jibran mengangguk antusias, “Katanya cahaya bintang yang kita liat malem-malem itu dipancarkan sejak zaman dinosaurus.”

Hugo mengernyitkan dahi, “Bukannya cahaya bintang itu dari pantulan—”

“Bentar, Kak, jangan dipotong.”

Hugo tertawa, “Oke, oke, lanjutin.”

Berikutnya Raib kembali disuguhi pertunjukan pantomim. Ia melihat Hugo dan Jibran tertawa, raut muka Hugo menahan kantuk, dan raut sebal Jibran melihat Hugo yang mulai tertidur.

Tapi tak ada satupun suara yang didengar.

Raib mengamati Hugo yang memberi tatapan lembut pada Jibran dengan mata sayunya. Untuk pertama kalinya, Raib melihat bagaimana hubungan Jibran dan Hugo.

Apakah Jibran selalu di kamar Hugo setiap malam? Sama seperti Hugo yang selalu di kamar Raib setiap waktu?

Raib menghela napas. Pasti Jibran merasa jauh lebih kehilangan darinya, kan?

Satu minggu penuh tanpa Hugo. Raib merasa ada yang kurang. Mendadak setiap tempat yang ia datangi terasa lapang. Tak ada lagi yang menjawab tiap ucapannya di kamar. Tak ada lagi yang bertanya tiap ekspresi wajahnya berubah. Tak ada lagi diskusi tiba-tiba.

Kalau boleh jujur, Raib merindukan kehadiran Hugo. Bahkan untuk setiap omelan yang selalu dilayangkan Hugo jika Raib melakukan sedikit kesalahan, ia tetap merindukannya.

Jika Raib yang baru dua bulan mengenal Hugo sudah merasa sehampa ini. Bagaimana dengan Jibran yang telah terbiasa dengan kehadiran Hugo seumur hidupnya?

Mendadak Raib memahami.

Bahwa mungkin, Jibran merasa lebih kehilangan darinya, namun ia tak tau bagaimana cara menunjukkannya.

Mungkin bagi Jibran, ini pertama kalinya ia menghadapi kehilangan.

Dan mungkin, itu sebabnya, Jibran terlihat biasa walau hatinya binasa.

Mungkin, di Keluarga Sadewa, tak ada kesedihan yang ditunjukkan. Karena begitulah cara mereka saling menguatkan. Orang tua Hugo yang terlihat biasa saja agar Jibran tak kalut. Dan Jibran yang ikut terlihat biasa saja agar orang tuanya tak takut.

Semua bagai pilar yang menopang satu sama lain. Jika satu pilar roboh, maka yang lain akan hancur. Seperti saat Raib menemukan Jibran di halaman samping—menangis di tengah hujan. Pastilah kabar yang dibawa Pak Jo hari itu menghancurkan seluruh pertahanan lelaki malang itu.

Mungkin itu sebabnya—

Tiba-tiba seluruh ruangan kembali gelap dan senyap.

Raib melirik sekitar, menunggu apa yang akan terjadi.

Tak lama, Raib mendengar suara seorang wanita dari belakang tubuhnya.

“Jibran kenapa tiba-tiba mau jadi pewaris utama?!”

Raib menoleh. Ia berada di sebuah ruangan yang lebih mirip... kantor? Ada sebuah meja kayu besar dan kursi kerja. Di depannya terdapat meja yang lebih kecil berbentuk persegi dengan sofa mengitar. Di sisi-sisi ruangan, terdapat rak-rak berisi buku dan ordner berwarna biru tua berjajar rapi.

Di sofa yang berada tepat di tengah ruangan, duduk Kania dan Bima—Papa Hugo—saling berhadapan.

Bima tengah memijat pelipis, “Sayang, aku juga nggak tau, kenapa dia tiba-tiba marah gitu?”

Kania menggeleng, “Kita nggak bisa kirim Jibran ke Jepang.”

“Kita cuma bakal kirim Hugo, setelah kuliahnya selesai.” Bima menjawab mantab.

Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan.

Raib ikut menoleh.

Hugo.

“Mam, Pap, besok biar aku yang ngobrol sama Jibran.” Ucap Hugo dari pintu, tangannya masih menggenggam daun pintu.

“Adik kamu itu kenapa sih, Kak?” Kania memandang cemas, “Sejak kapan dia peduli sama perusahaan? Mama jadi pusing kalau dia ngambek-ngambek gitu.”

Hugo terkekeh, “Tenang Mam, nanti biar aku yang ngobrol sama Jibran, Mama sama Papa jangan bicara apa-apa ke Jibran, ya?”

“Tolong ya, Kak. Besok pas birthday dinner kamu, diusahain masalah ini udah selesai, ya?”

Hugo mengangguk, “Tenang aja, Mam, Pap. Jangan stress.” Ia tertawa sebelum menutup pintu.

“Ngobrol sama Jibran besok aja kali ya? Sekarang pasti masih kesel.”

Suara Hugo kembali menggema walau si pemilik suara sudah meninggalkan ruang kerja.

Ada apa?

Raib celingukan.

Di mana Hugo?

Kenapa belum balik ke ruang gelap?

Kemudian Raib mendengar suara senandung ringan.

Suara Hugo masih ada?

Raib segera mengikuti suara itu. Dalam dunia ini, Raib seperti arwah, ia bisa menembus berbagai benda. Badannya juga terasa ringan.

Senandung itu membawa Raib ke kamar Hugo.

Lelaki itu sedang menulis sesuatu di meja belajarnya. Sesekali ia berhenti menulis, memandang dinding yang berada di depannya, terlihat sedang berpikir.

Di lihat dari jarak sedekat ini. Raib makin menyadari, Hugo yang selama ini dilihatnya, terlihat berbeda dengan Hugo Sadewa di dunia nyata.

Hugo yang selama ini ditemui Raib, selalu memasang wajah tengil dan begitu berisik bahkan saat terdiam—misal, Hugo selalu menggumam sendiri sambil memainkan ponselnya.

Namun Hugo yang ada di depan Raib sekarang, tengah duduk dengan postur tegak. Matanya bergerak pelan dan tenang, seolah ada lautan dalam di sana. Gerakan tangannya begitu hati-hati, seolah tak ingin membuat kesalahan. Tak seperti orang kebanyakan yang matanya melirik asal saat sedang berpikir, Hugo hanya memandang satu titik.

Raib mengikuti pandangan Hugo.

FUCCKKKK.

Hugo sedang berpikir sambil melihat lukisan bergambar struktur otak manusia.

Siapa yang ngehias dinding pake gambar struktur otak manusia?

Dahi Raib mengernyit. Ia tak ingat melihat lukisan ini saat memasuki kamar Hugo dulu.

Kaki Raib dilangkahkan, berusaha mengintip apa yang ditulis Hugo.

Oh? Persiapan uang cash untuk besok?

“Kak Juna ngasih kado apa ya?”

Suara Hugo bergema.

Kak Juna?

Raib mematung.

Tunggu.

Mata Raib mengelilingi ruangan, mencari penunjuk waktu.

Malam ini... malam sebelum hilangnya Hugo?

Raib menelan ludah, “Jangan pergi.” Ucap Raib tanpa sadar.

Tak ada respon—tentunya, Hugo tak bisa mendengar Raib.

“Apa hadiah perpisahannya gue kasih besok ya?”

Raib membeku.

Kotak kado dan surat itu...

“Gue kasih apa ya?”

Hugo mengamati struktur otak manusia itu lebih dalam.

“Lobus temporal yang itu, lobus parietal yang itu....”

Raib melotot.

What the fuck is he thinking about?

“Oh iya! Kak Juna belum tau gue keterima beasiswa Golda.”

Raib terdiam.

Mengapa, sepertinya, jantung Raib berpacu dengan goresan Hugo di buku?

“Pas banget sih, Kak Juna pasti bangga banget sama gue. Ini hasil otak gue sendiri. Money can't buy this.”

Raib menelan ludah.

Isi kotak kado yang dibeli sebelum ilang itu... beneran cuma amplop?

Raib berjalan lebih dekat, mengamati Hugo yang tengah sibuk menulis.

Surat Hugo

Tangan Raib naik, menutup mulutnya yang ternganga.

Ini... surat yang gue temuin di 'kotak penuh dosa' Pak Juna, kan?

“Oh iya gue belum beli kotak kado sama amplop surat.”

Raib melirik wajah Hugo yang tenang.

Tiba-tiba mata Raib terasa panas, “Lo tau nggak besok lo mati?”

“Gue beli di toko alat tulis deket kampus aja deh, lengkap banget di situ.”

Oh.. Toko Alat Tulis Neo, tempat terakhir Hugo tertangkap CCTV.

“Beli wine nggak ya?”

Raib menggeleng, “Nggak, wine-nya lo coret.”

“Beli deh.”

Hugo menuliskan wine di daftarnya.

Sedetik kemudian, Hugo kembali memandang struktur otak di depannya.

“Nggak usah, deh.”

Setelahnya, Hugo menutup buku notes-nya. Tangannya meraih lukisan struktur otak di dinding. Berjalan menuju almari, memasukkan lukisan itu bersama lukisan lain.

Raib tersenyum. Dasar freak.

Lalu tiba-tiba gelap, seolah lampu kamar dimatikan paksa.

Hening.

Oh... no... setelah ini... hari hilangnya Hugo?

Jantung Raib berdegup kencang. Bahkan ia belum melihat apapun. Ia tak berani membayangkan apapun yang terjadi ke depannya.

Kebenaran yang selama ini dicari Raib, akan dilihatnya langsung.

Oh, no.

Mendadak Raib merasa separuh kepalanya berdenyut.

Gue nggak siap...

Mendadak kegelapan di sekitarnya sirna, digantikan cahaya remang.

Perabotan bermunculan.

Ini...

Raib memandang sekitar.

Lantai 2 Kos Pak Juna?

Hugo sedang duduk santai di sofa ruang keluarga. Ia membiarkan seluruh gorden di ruangan tetap tertutup dan lampu tetap mati. Kos ini luar biasa sepi.

Di cahaya remang itu, Hugo tengah menata rapi kotak kado dan amplopnya.

Raib mendekat. Mendapati Hugo sedang memasukkan surat di amplop dan sebuah kertas—yang sepertinya pengumuman penerimaan beasiswa?

Pikiran Raib berkecamuk.

Jadi benar... him di buku notes Hugo adalah Pak Juna. Di hari hilangnya Hugo, lelaki itu ada di Kos Juna. Dan kado yang dibelinya di toko alat tulis itu... untuk Pak Juna, dengan isi surat pengumuman beasiswa Golda Group dan sebuah surat...cinta?

Raib menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.

Lalu apa yang terjadi?

Hugo meletakkan kotak kado yang ada di pangkuannya, menoleh ke arah dapur.

“Ada makanan apa ya? Kata Kak Juna kalau mau cari makanan di lantai 1 ...”

Mendadak Raib teringat dengan kebiasaan Pak Juna memberi makanan gratis pada seluruh penghuni kos.

Cih. Kedok.

Hugo turun, menuju lantai satu. Raib mengekor di belakangnya.

Hugo mengenakan pakaian yang sama seperti yang dideskripsikan di brosur. Kaos hitam dan jeans belel. Ia mengambil beberapa potong roti dan selai lalu memakannya di meja makan, tangan yang lain sibuk mengusap layar ponsel.

Tak ada yang spesial. Hanya Raib yang terus mengunci pandangannya pada Hugo. Menikmati gambaran-gambaran baru yang tak pernah ia lihat selama ini.

Sependek ingatnya, Raib tak pernah melihat Hugo menikmati makanan. Hari ini kali pertamanya.

Setelah selesai, Hugo mencuci tangan.

Cklek.

Pintu depan terbuka.

Raib menoleh santai sementara Hugo dengan panik menuju ujung tangga. Sepertinya, Hugo tau itu bukan Pak Juna.

Dan benar, seseorang yang memasuki pintu itu adalah Jerri.

“Hugo? Kok di sini?” Jerri dengan santai berjalan masuk.

“Eh, iya.” Hugo merapikan rambutnya, matanya terlihat sedikit gugup, “Mau ngambil barang ketinggalan di kamar Jibran. Lo baru pulang ya?”

Raib membeku.

Jadi, Jerri jujur?

Dan Hugo yang berbohong?

Jerri mengangguk, “Baru balik rapat.”

Hugo menggumam pelan, “Nggak balik ke rumah?”

“Ini baru mau balik ke rumah, abis ini.” Jerri menunjuk kerah baju—mungkin akan ganti baju lebih dulu?

“Oooh,” Hugo mengangguk paham, “Eh iya!” Ia menoleh girang, “Gue pernah bilang sama lo nggak sih kalau gue ikut beasiswa Golda?”

Jerri terdiam untuk sesaat sebelum menunjukkan senyum di matanya, “Iya. Gimana?”

“Gue keterima!” Ucap Hugo bangga.

“Wah.” Pandangan Jerri mulai tak fokus, ia melirik sekitar, “Selamat ya!” Ia mengangkat ujung bibir, memberi senyum.

Oh, Raib tau.

Bagaimanapun Jerri berusaha menyembunyikannya, senyuman itu terlihat pahit dan dipaksakan.

Pasti... sulit ya memberi selamat pada seseorang yang mengalahkan kita?

Tiba-tiba, Raib telah berada di ruang gelap itu lagi.

Hening.

Eh, kenapa?

Bukankah seharusnya Raib melihat apa yang terjadi setelah Hugo bertemu Jerri?

Sreeek!

Raib celingukan. Menoleh ke seluruh area.

Tak ada apa-apa.

Mengapa Raib mendengar suara kertas dirobek?

Kenapa nggak keliatan apa-apa?

Raib berjalan ke sembarang arah. Tangannya dijulurkan, meraba apapun yang ada di depannya.

Kosong.

Raib mulai berjalan ke kanan.

Kosong.

Kiri.

Kosong.

Belakang.

Kosong.

Tak ada apa-apa.

Ruangan ini hanyalah ruang gelap tanpa ujung.

Mengapa tak terdengar suara apapun?

“Sayang, no!

Raib menoleh. Suara Pak Juna?

What?! Kenapa nggak boleh?! Ini beasiswa bergengsi lho!”

Suara Hugo terdengar, namun Raib tak tau asalnya dari mana.

“Setelah lulus kuliah kamu bakal dikirim ke Jepang! Terus sekarang kamu mau setahun di Kalifornia? Yang bener aja!”

Oh, tidak. Suara Pak Juna meninggi.

What did you expect?! Aku bakal selalu ada buat kamu?! Why?! Kamu bahkan nggak mau nyeraiin istrimu!”

Raib mengusap wajah frustasi. Dari mana suara ini berasal?

“Aku minta kamu buat sabar! Kenapa kamu malah pergi sejauh ini?!”

Oh, no. Jangan sampe mereka cek cok karena ini?

“Pergi sejauh ini? Babe, it's just California! Ini juga cuma setahun!”

Raib menggigit bibir bawah. Ia gugup mendengar percakapan ini. Mengapa Hugo begitu berani? Bagaimana kalau terjadi sesuatu?

It's on the other side of the world!! Aku nggak akan bisa ngunjungin kamu, Shania pasti bakal tau kalau aku tiba-tiba ke Kalifornia!”

“Makanya aku minta kamu buat ceraiin dia, kan? Aku kira surat ceraimu bakal jadi hadiah buat ulang tahunku tahun ini, kayaknya ekspektasiku ketinggian ya?”

DEG.

Hugo...

Kenapa... Hugo seperti ini?

Raib menggeleng cepat, tangannya mengusap rambut frustasi, Ini bukan Hugo yang gue kenal.

Terdengar suara derap langkah yang berat.

Perlahan, cahaya remang-remang mulai terlihat.

Raib sedang berada di lantai 1 kos. Tepat di ujung tangga bagian bawah.

Sementara di ujung tangga atas, terdapat Hugo yang tangannya dicekal Pak Juna. Keduanya saling memberi tatapan tajam satu sama lain.

“Lepasin!” Hugo mengibaskan tangan Pak Juna, namun cekalannya tak kunjung lepas.

“Jangan tiba-tiba pergi gini, kita omongin dulu.” Geram Pak Juna.

“Ngomongin apa? Kamu cuma bakal ngelarang aku berangkat ke Amrik, kan?!” Balas Hugo galak.

“Sayang, kita jarang ketemu, lho. Apa iya pas udah ketemu gini kita malah mau berantem? Apalagi ini ulang—”

“Lepasin.” Desis Hugo tajam.

Pak Juna justru menguatkan cekalannya, “Nggak. Kita ngobrol dulu.”

“Lepasin!” Hugo menarik tangannya kasar.

“Nggak!” Pak Juna menarik lengan Hugo tak kalah kasar.

Oh, no. Entar kalau Hugo jatuh dari tangga gimana?

Raib menatap pias dua orang yang sedang saling berseru di atas sana.

“Lepasin!!” Hugo berteriak makin keras.

“Nggak, dengerin dulu!”

“Lepas!!”

Terjadi aksi saling tarik menarik di tangga.

Raib mengepalkan tangan.

Please jangan...

“Lep—”

Mata Raib membulat sempurna.

Tak seperti dugaannya, yang mengira bahwa Hugo akan jatuh menggelinding di tangga.

Hugo terjengkang ke belakang. Melewati pegangan tangga yang rendah.

Semuanya terjadi begitu lambat.

Pak Juna juga melotot di atas sana, tangannya berusaha menggapai namun tubuh Hugo lebih dulu melayang.

Kepala Raib luar biasa berdenyut saat menyaksikan kepala Hugo berada di posisi yang lebih rendah dari tubuhnya yang lain.

Oh no...

Buku notes dan ponsel Hugo yang ada di tangan terlempar begitu saja. Ponselnya jatuh di meja sedangkan bukunya jatuh di lantai.

Raib baru saja hendak berlari menadah tubuh Hugo namun...

PRANG!

BRUK!!

“HUGOOOO!”

Raib berteriak panik saat bagian belakang kepala Hugo menghantam vas bunga di meja hingga hancur berantakan. Benturan yang amat keras. Sepertinya tenaga Hugo di tangga luar biasa kuat. Ia benar-benar jatuh dengan energi penuh.

Tubuh Hugo terkapar di atas meja.

Deg.Deg.Deg.Deg.Deg.Deg.

Raib dapat mendengar jelas detak jantungnya yang berpacu cepat.

Raib terkulai lemas di lantai.

Matanya menyaksikan darah Hugo yang mengalir deras dari belakang kepala.

Dari tempatnya, Raib dapat melihat—seperti yang dibilang Hugo saat itu—darah yang mengalir bercampur dengan air sehingga beberapa tetes darah kembali memasuki kolong meja.

Raib memijat pelipisnya.

Seketika dapur menjadi lautan darah.

“Hugo...” Rintih Raib pelan. Matanya tak berani menatap tubuh di atas meja.

Sial.

Ada beban pekat di dalam rongga dada Raib.

SIAL.

Tubuh Raib bergetar. Ia tak mampu menahan rasa panas di pelupuk mata.

Hugo... kenapa lo bikin gue liat ini semua?

Raib menelungkupkan wajahnya di antara dua tangan.

Terus gue harus gimana?

Jantungnya berdenyut membawa perih.

Mengapa Hugo membuatn Raib merasa makin tak berdaya?

Apa yang harus Raib lakukan?

Namun, di tengah kebingungan, Raib melupakan satu hal.

Di area itu, masih ada Pak Juna yang tak kalah terkejut dengannya.

“Kak... Ju... na...”

Raib melotot. Suara Hugo baru saja terdengar.

Itu...

Suara pikiran Hugo... kan?

“Hugo?!” Raib segera berdiri. Menatap ngeri genangan darah di atas meja.

Mata Hugo masih tertutup.

“Hugo lo masih sadar?!” Raib berseru panik.

Pak Juna baru saja berlari menuruni tangga. Namun lelaki itu hanya diam menyaksikan Hugo dari ujung tangga.

“KENAPA DIEM AJA?!” Teriak Raib saat Pak Juna tak kunjung bergerak.

“Kak Juna, to...long...sa...kit...”

Raib meraung. Menjambak rambutnya frustasi, “GERAK SEKARANG! TOLONGIN HUGO! DIA UDAH—” Raib tak mampu melanjutkan kalimatnya.

Raib terduduk lemas di lantai. Ia teringat kalimat Pak Juna di halaman belakang saat itu, Pak Juna bilang, tak bisa menyelamatkan Hugo.

Terus gimana?

Terus siapa yang nolongin Hugo?

Raib mengusap wajah. Tangannya terkepal kuat.

“KENAPA?!” Teriak Raib keras-keras. Tenggorokannya terasa perih.

Pak Juna, justru lari ke lantai 2.

“MAU KEMANA?!” Raib mengepalkan tangan kuat. Giginya bergemelutuk.

SIAL.

PAK JUNA SIAL.

Pak Juna kembali turun dengan sekop besar.

Raib ingat sekop itu. Sekop yang digunakan Pak Juna untuk menggali calon kuburan Raib di halaman belakang.

Raib tertegun.

Pak Juna, mau ngubur Hugo?

Setelahnya, Pak Juna menurunkan tubuh Hugo dari atas meja. Darah segar mengenai seluruh kemeja Pak Juna. Beberapa darah menetes cepat ke lantai. Beberapa menetes kembali ke kolong meja—seperti teori yang dijelaskan Hugo.

Tapi Pak Juna membiarkan tubuh Hugo begitu saja, di lantai dapur yang dingin.

Raib mematung.

Apa yang terjadi?

Apa rencana Pak Juna?

Lalu Pak Juna berlari ke lorong kamar.

Raib mengamati dalam diam. Pak Juna membuka pintu ke halaman samping, di dekat kamar Jerri dan Yahya.

Dia akan mengubur Hugo di halaman samping?

Raib menghapus air matanya kasar. Susah payah menelan ludah dan seluruh perih yang tersisa. Ia menguatkan hatinya.

Benar. Hugo udah mati. Gue udah tau sebelum ini.

Raib bangkit dari duduknya.

Hugo udah mati.

Raib sekali lagi menguatkan hatinya. Namun buliran panas dari pelupuk mata tak kunjung berhenti.

Raib menarik napas dalam-dalam.

Yang penting gue tau di mana badan Hugo...

Napas itu dihembuskan Raib perlahan.

It's okay...Raib, lo bisa.

Tubuh Raib bergetar.

Demi Hugo.

Baru saja Raib mengambil beberapa langkah ke lorong kamar, terdengar gema suara yang cukup lirih dari belakangnya.

“Kak Juna....”

Raib menoleh cepat.

“Hugo?”

Kedua mata Raib terbelalak saat mendapati mata Hugo yang sedang terbaring miring, sedikit terbuka.

Hugo masih sadar?

Raib segera berlari, kembali menghampiri Hugo.

“Hugo?”

Tak ada jawaban.

“Kak Juna, nggak sayang lagi sama gue?”

Suara Hugo kembali terdengar.

Raib terduduk di lantai, tepat di depan Hugo.

Lelaki ini, terlihat ratusan kali lebih menyedihkan daripada arwahnya yang berlumuran darah.

Hugo sedang terbaring di lautan darahnya sendiri. Padahal ia kemari untuk mendapatkan kebahagiaan dari kekasihnya. Tapi yang didapat Hugo adalah perih, sakit, kecewa, dan ajal.

Mata sayu Hugo memandang lurus ke depan.

“Sakit...”

Satu tetes air mata jatuh dari ujung mata Hugo.

Bau anyir yang pekat menusuk hidung Raib. Entah karena bau ini atau melihat keadaan Hugo di depannya, mata Raib terasa panas.

“Hugo, maaf gue nggak bisa ngapa-ngapain...” Ucap Raib di antara napasnya yang terengah. Tubuhnya bergetar.

“Kak Juna...”

Sesak kembali menyelimuti rongga dada Raib, berjejalan mencari tempat. Ia menunduk dalam, tak berani melihat keadaan Hugo di depannya.

“Buku gue...”

Raib mendongak.

Buku?

Mata Raib membulat ketika kaki Hugo bergerak.

“Hugo,” Bibir Raib menggigil, “Luka lo... nggak separah keliatannya... kan?” Ucapnya terbata, susah payah diucapkan di antara napasnya yang terengah.

Tak ada jawaban.

Benar. Luka Hugo tak separah itu kan?

Lihat, Hugo masih dapat menggerakkan kakinya.

Raib mematung ketika kaki Hugo membuat gerakan menendang lalu...

Sreeet!

Sebuah buku meluncur hingga area kulkas.

Apa?

Buku itu... sengaja ditendang Hugo ke bawah kulkas?

Napas Hugo semakin berat. Lelaki itu mulai terengah.

“Hugo?!” Raib terus memanggil. Walaupun sia-sia, tapi Raib masih berharap Hugo dapat mendengar panggilannya.

Mata Hugo mulai tertutup perlahan.

Jangan...

“Kak Juna, kamu nggak akan bisa nyembunyiin aku.”

Mata Hugo tertutup sempurna.

Fuck.

Jantung Raib bagai menggelinding ke lantai.

“Hugo...?” Panggil Raib pelan.

Tak ada jawaban.

Raib menyandarkan tubuhnya di dinding.

Matanya menatap kosong tubuh Hugo yang tak lagi bergerak di depannya.

Bagaimana Raib akan melanjutkan hidupnya... saat ia menyaksikan Hugo meregang nyawa?

Jahat banget...

Perih.

Hanya itu yang dirasakan Raib. Seluruh dadanya terasa perih.

Kenapa...

Kepala Raib terasa luar biasa pening dan berat. Seolah seseorang baru saja mengikat kepalanya kuat-kuat.

Perutnya terasa mual.

Ini... mimpi ya?

Di antara kekosongan yang dirasakan Raib, terdengar derap langkah dari lorong kamar.

Raib menoleh, mendapati Pak Juna datang dengan napas tersengal. Lelaki itu meraih ponsel Hugo di meja.

PRANG!

PRANG!

PRANG!

Pak Juna baru saja memukul ponsel Hugo berkali-kali dengan sekopnya.

Anjrit.

Ponsel yang telah hancur itu dikantonginya. Tak lama, ia mulai mengangkat tubuh Hugo. Menggendongnya melewati lorong kamar dan keluar ke halaman samping.

Raib berdiri. Mengikuti Pak Juna. Di sepanjang lorong yang remang itu, tetesan darah Hugo berentetan di lantai.

Dan,

Raib mematung di pintu.

Ia melupakan hal yang amat penting.

Saat ini semua terjadi, Pak Juna tengah melakukan pembangunan untuk penambahan dua kamar.

Kamar Raib dan Ruang Laundry.

Gemetar tubuh Raib melangkah di halaman samping.

Pembangunan kamar baru sampai di pekerjaan galian. Patok tanah dipasangkan di tiap sudut.

Raib menggigil.

Ada dua lubang besar di depannya. Lubang galian untuk kamarnya sendiri, dan lubang galian untuk Ruang Laundry.

Tapi...

Pak Juna...

Menggali lubang baru di ujung galian kamar Raib.

Oh no...

Jangan bilang...

Fuck.

Raib dapat melihat dari punggung Pak Juna, lelaki itu tengah meletakkan tubuh Hugo.

“JANGAN!!” Teriak Raib sekeras mungkin. Pada titik ini, Raib tak peduli jika tenggorokannya pecah,

Kemudian, masih di lubang yang sama, Pak Juna membuang ponsel yang dikantonginya.

“JANGAN!!!!” Raib berteriak dengan seluruh sisa tenaga yang ada, rasanya seseorang sedang mencakari pita suaranya. Kakinya terpaku di tanah yang dipijaknya.

Tapi semua berlalu cepat. Raib hanya bisa meraung pada langit malam saat Pak Juna menimbun kembali tanah galiannya. Esok, pekerjanya akan datang dan menimbun seluruh area galian ini dengan tanah dan pasir.

Raib memijat kepalanya yang mendetingkan rasa nyeri berkali-kali. Seolah ada tombak yang dihunuskan di sana. Tangannya turun mengusap seluruh area wajah.

Napas Raib tersengal.

Tubuh Hugo, selama ini ada kamarnya?

Jauh di bawah almarinya?

Hugo...

Please kalo ini mimpi, gue mau bangun sekarang...


Pak Juna telah selesai menuntaskan tugasnya. Ia kembali masuk ke rumah. Tangannya cekatan membersihkan seluruh rumah. Mengepel, menyingkirkan serpihan vas, mengelap meja. Dan seperti dugaan Raib, Pak Juna luput mengelap bagian bawah papan meja.

Raib termangu di lorong kamar. Menatap kosong Pak Juna yang sedari tadi sibuk membersihkan semuanya dalam remang.

Memang benar, Pak Juna tak secara langsung membunuh Hugo. Tapi jelas, Pak Juna membunuh Hugo perlahan.

Raib menelan ludah. Ia tak akan memaafkan Pak Juna, ia akan membalas seluruh sakit yang dirasakan Hugo. Ia akan—

“Hhh—hhhh—hhhh....”

Raib mematung.

Suara napas?

Siapa yang bernapas?

Raib menengok cepat pada pintu halaman samping.

Hugo?

“Gelap....”

Hugo masih hidup?

Raib bangkit dari duduknya. Kakinya tertatih menghampiri pintu samping.

“Sesak....”

Hugo.... masih hidup?

“Tolong...”

Lirih.

Suara Hugo begitu lirih.

Begitu lemas.

Begitu parau.

Begitu menyakitkan.

Hening.

“JUNA BRENGSEK HUGO MASIH HIDUP!!!!” Raib meraung di lorong kamar. Kakinya tak mampu lagi menahan beban tubuh.

“JUNA BRENGSEK!!!”

Tak lama Raib terbatuk.

“AAAAARRRGGHHH!!”

Tangan Raib dipukulkan pada lantai kamar berkali-kali.

“BANGSAT!!”

Raib tak peduli. Ia terus meneriakkan sesak yang dirasakan.

“Hugo...” Terdengar isakan lirih di ujung lorong.

“BRENGSEK!!!!” Raib berlari, berhenti tepat di depan Pak Juna yang tengah bersandar pada dinding di dekat kulkas.

“Hugo....” Pak Juna menangis hebat, tubuhnya bergetar, “Maaf...” Ia membenamkan wajahnya di antara kedua lutut yang ditekuk.

“JANGAN CUMA MINTA MAAF!!!” Raib ambruk di depan Pak Juna, tangannya menjambak rambut sendiri, “HUGO MASIH HIDUP!!!” Isakannya terdengar pilu.

Hugo... pasti sakit banget ya di bawah sana?

Napas Hugo yang menggema dan isakan Pak Juna menjadi hal terakhir yang didengar Raib sebelum hening menerpanya. Ia masih terduduk dan menangis hebat.

Ia tak peduli kemana lagi semua ini akan membawanya.

Menemani Hugo ke alam baka?

Ayo.

Raib tak takut.

“Hugo...” Raib terus terisak tanpa suara, napasnya tersengal. Tangannya terus mengusap air mata yang bercucuran.

Jahat.

Bangsat.

Juna bangsat.

Juna brengs—

“Raib?”

Raib mendongak. Mendadak ruang gelap tanpa ujung di sekitarnya menjadi sebuah lorong dengan ujung remang.

Berdiri sepuluh meter di depan Raib...

“Hugo?”

Suara Raib nyaris tak terdengar.

“Hugo?”

Raib bangkit, kakinya dilangkahkan secepat mungkin.

“Hugo?”

Jarak keduanya tinggal satu langkah.

“Raib,” Hugo tersenyum, “Apa kabar?”

Raib tak menjawab. Ia memeluk Hugo erat. Menangis kuat-kuat di sana.

Hangat.

Tubuh Hugo, sangat hangat.

Hugo membalas peluk, tangannya dilingkarkan pada tubuh Raib, “Maaf...” Ucap Hugo di dekat telinga Raib.

Raib tak membalas. Tangannya masih erat dilingkarkan pada pinggang Hugo, menumpahkan seluruh lelah dan sesak.

“H—Hugo...” Ucap Raib, suaranya serak karena terlalu banyak berteriak.

“Iya?” Hugo menjawab lembut, tangannya naik, mengusap rambut Raib perlahan, “Kenapa?”

Kenapa?

Setelah semua yang dilihat Raib, Hugo hanya mengatakan 'kenapa?'

“Lo masih ada kesempatan...lo masih—” Raib tak mampu melanjutkan kalimatnya, kembali terisak dalam pelukan Hugo.

Hugo menggeleng, “Udah nggak ada. Sejak awal kita ketemu, udah nggak ada.”

Raib memejamkan mata, memeras seluruh air matanya, “Pak Juna jahat...” Rasanya, Raib ingin mengadukan semua yang dilihatnya pada Hugo.

Hugo sekali lagi menggeleng, “Enggak.”

Raib menarik wajahnya, menatap kedua mata Hugo, “Dia ngubur lo pas lo masih idup... bayangin sakitnya—” Ia tercekat, ada gumpalan sesak yang memenuhi tenggorokan.

“Raib,” Tangan Hugo naik, mengusap air mata di pipi Raib, “Jangan benci Kak Juna, karena dia, gue bisa ketemu sama lo.”

Raib meremas punggung Hugo kuat, “DIA YANG BIKIN LO MATI!” Teriak Raib, suaranya parau.

Sssht, jangan teriak-teriak gitu,” Hugo menatap cemas kedua mata Raib, tangannya masih mengusap pipi kecil di depannya, “Gue seneng, bisa ketemu sama lo, Raib.”

Raib menggigit bibir bawah, menahan isakan.

“Lo gimana?” Hugo merapikan anak rambut Raib, “Nyesel nggak ketemu sama gue?”

Raib menggeleng cepat, “Nggak.” Jawabnya mantab.

Tak perlu berpikir dua kali. Raib memang tak pernah menyesal bertemu Hugo.

“Berarti seneng bisa ketemu sama gue?” Hugo tersenyum, memastikan. Ada sesak yang menggumpal di rongga dada, tapi ia abaikan.

“Seneng...” Jawab Raib lemah, ia masih berusaha menahan isaknya.

Tapi gue nggak mau pisah kayak gini... Lanjut Raib dalam batinnya.

Hugo mengusap pipi Raib, “Mau gue temenin terus?”

Raib mematung.

Apa maksudnya?

“Kalau lo nggak mau gue ke langit, gue bisa nemenin lo terus di bumi. Mau?”

Tangan Raib mengepal kuat hingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia ingin berteriak mau sekeras-kerasnya.

Namun, sama saja.

Hugo hanya akan menjadi arwah terbuang, kan?

Bukankah menjadi arwah terbuang, sama saja dengan membunuh Hugo dua kali?

Raib menelan ludah.

Sejenak ia bimbang.

Tapi, mengingat proses kematian yang menyakitkan, Raib menyadari, Hugo berhak mendapatkan kebahagiaan juga, kan?

Raib juga menyadari,

Pada akhirnya, perpisahan adalah ujung dari pertemuan, kan?

Pada akhirnya, ada ego yang harus dilawan.

Pada akhirnya, cinta adalah pengorbanan.

Tangan Raib ikut naik, mengusap pipi Hugo lembut.

Raib menggeleng lemah, “Pergi aja,” Susah payah memberi senyum terbaiknya, “Tapi jangan lupain gue, ya?”

Air mata Hugo menetes. Ia membalas senyum Raib, “Nggak akan.”

Hugo memajukan wajahnya pelan, menatap kedua mata Raib sebelum memejamkan mata, mendaratkan bibirnya di bibir Raib. Memberi kecupan ringan dan melumatnya lembut. Tangannya mengusap pipi Raib yang terus dibasahi air mata.

Raib membalas ciuman Hugo. Melumat bibir itu lambat, seolah tak ingin ciuman ini cepat selesai. Bulir air mata ikut membasahi ciuman ini. Memberi sedikit rasa asin di bibir yang terasa manis.

Hugo melepas ciumannya, dahinya ditempelkan di dahi Raib, “I love you.

I love you more.”

Mata Hugo menatap kedua mata Raib yang mengkilat.

Ada banyak hal yang ingin Hugo sampaikan pada Raib.

Ada sedikit harapan bahwa Raib akan menahannya pergi.

Tapi Hugo percaya, dalam setiap pengorbanan, ada hal baik menanti. Dalam senyum getir dan kesedihan yang berdesir, Hugo akan memastikan kebahagiaan Raib mengalir.

“Terima kasih, Sayang.” Akhirnya menjadi kalimat penutup yang dipilih Hugo. Ia memberi senyum terlebarnya, tak lupa, ia tambahkan doa dalam wujud salam penutup, “Sampai ketemu lagi.”

Ujung bibir Raib terangkat, mengamini doa Hugo, “Sampai ketemu lagi, Hugo.”

Raib menatap Hugo yang masih tersenyum padanya.

Perlahan, tubuh Hugo menjadi agak samar.

Benar-benar samar.

Lalu menghilang.

Raib hanya memeluk udara kosong.

Hening.

Raib tertegun.

Udah ya, gini aja?

Hugo...

Udah bahagia... kan?

Menelan seluruh egonya, Raib memaksakan seulas senyum.

Gue... juga harus bahagia... kan?

Satu tetes air mata kembali jatuh.

Dua tetes.

Tiga tetes.

Raib kembali berlinang air mata.

Ia terjatuh di lantai, tangannya memukul dada berkali-kali. Berusaha menghalau sesak yang terus mendera.

Hugo udah bahagia...

Napas Raib tersengal. Rongga dadanya benar-benar ditelan sesak.

Gue gimana?

Raib memejamkan mata, membiarkan air matanya turun menghujani pipi.

Ia meraung, tanpa suara, berteriak pada ruang kosong.

Saat Raib masih sibuk memukuli dada, samar-samar terdengar riuh dari kejauhan.

Suara riuh itu semakin dekat.

Semakin dekat.

Semakin dekat.

Sangat dekat.

Lalu seseorang berteriak di telinga Raib,

“Mundur! Tetap di belakang garis polisi!”

Raib membuka mata.

Terkesiap.

Ini di mana?

Raib menoleh ke sekitar. Ramai. Orang-orang heboh berteriak dan berdesakan.

Tangan Raib mengusap pipinya, kering. Tak ada bekas air mata atau apapun.

Apa yang baru saja terjadi?

Raib mengamati halaman di belakang punggung petugas.

Kosong.

Tak ada Hugo di sana.

Mendadak satu teriakan keras terdengar.

Hening.

Semua mata tertuju pada bangunan kos.

Di ujung rumah, dinding ruang Laundry dan kamar Raib telah hancur, lantainya juga telah luluh lantah.

Seorang petugas—Detektif Lui—pemimpin investigasi ini, tengah berdiri di atas gundukan tanah.

Entah semua orang memang terdiam atau hanya telinga Raib yang terbisukan. Suasana menjadi luar biasa senyap. Bahkan hembusan angin atau suara napas tak lagi menembus gendang telinga.

Tangan kanan Detektif Lui teracung ke atas, membuat sebuah simbol 'oke' dengan tiga jari lurus.

Sebuah tanda untuk semua orang yang menyaksikan.

Tubuh Hugo, telah ditemukan.

Hening yang panjang di telinga Raib dipecahkan oleh sebuah lengkingan panjang.

Kania.

Raib menoleh, mendapati Kania sedang berteriak histeris dan ditenangkan oleh Bima.

Raib kembali mengedarkan pandangan, Jibran tengah terisak di pelukan Pak Jo. Yahya tengah berteriak di depan petugas polisi paling depan—memaksa masuk.

Suara kamera dan kedipan blitz muncul dari seluruh arah.

Riuh.

Kacau.

Suasana benar-benar kacau.

Raib hanya bisa mematung, ia biarkan tubuhnya di desak puluhan orang dari belakang. Menatap kosong rerumputan yang tertiup angin.

Suasana semakin ramai.

Yahya telah menerjang maju, berlari hingga halaman, merangsek dan menendang pintu depan.

Pak Juna.

Pak Juna dengan tangan diborgol dan masker terpasang di wajah. Tengah berdiri di dekat meja makan.

Tiga petugas polisi menghalangi Yahya yang meneriakkan sumpah serapah. Tinjunya teracung sempurna. Ia meraung dan memaki Pak Juna.

Raib melirik ke arah kamarnya. Matanya menajam, mendapati baju berwarna hitam dan jeans belel tengah di angkat dari lubang.

Raib menahan napas ketika benda berikutnya diangkat.

Tulang belulang.