Tak Ada Hal yang Benar-Benar Rumit, Kamu Hanya Perlu Lebih Banyak Waktu Untuk Memahami

tw // divorce

“Kamu udah makan?” Menjadi kalimat pembuka dari Julian begitu Raden memasuki mobil. Lelaki itu tersenyum saat aroma segar bercampur manis vanilla menyapa hidungnya.

Parfum khas Raden yang sebelumnya hanya dianggap wangi oleh Julian, namun sekarang—setelah lama tak mencium aromanya—menjadi wangi banget.

“Udah.” Lelaki berkaos putih itu menjawab, tangannya bergerak pelan memasang sabuk pengaman, “Kita mau ngobrol di mana?” Raden bertanya tanpa menoleh pada Julian—pura-pura sibuk memasang sabuk pengaman.

“Di mobil aja gimana?” Julian mengusulkan, matanya memandang lekat Raden yang masih berusaha menghindari tatapannya.

“Di dalem mobil?” Raden menoleh dan oh.... matanya tak sengaja bertemu dengan mata Julian. Ia segera melirik hal lain—dagu, kaos, kursi kemudi, “O—oke.”


“Raden.” Julian kembali memanggil saat mobil telah melaju selama tiga menit namun suara di mobil masih didominasi sunyi.

Lelaki berkaca mata yang dipanggil justru menggigit bibir, sedikit menoleh, “Iya?”

“Kamu tau Danau Ungu?” Mata Julian masih fokus pada jalanan, mobilnya tengah membelah jembatan.

“Tau.” Jawab Raden.

Entah karena sudah lama tak saling bicara atau udara dari jendela yang kacanya sedikit diturunkan memang sedingin ini, namun Raden dapat merasa beku di lidah.

Apa berbicara dengan Julian memang secanggung ini?

“Kita mau kesana.” Ucap Julian.

Raden hanya membalas dengan anggukan singkat sementara Julian menjelaskan tentang danau itu.

“Kalau malam gini biasanya banyak orang yang di sana, ada yang duduk-duduk doang, ada juga yang camping. Nanti kita di bagian parkiran aja, ada tempat khusus buat yang nggak mau turun dari mobil tapi pengen liat danau.”

Raden kembali memberi anggukan. Ia sedikit terheran, mengapa Julian terlihat biasa saja?

“Atau kamu mau sambil duduk di pinggir danau?” Julian menoleh sekilas, mendapati Raden yang masih dalam lamunan.

Ditoleh demikian, Raden refleks ikut menoleh, mengangguk cepat, “Eh—hmm, di parkiran aja, Mas.”

Julian tersenyum.

Lima belas menit berlalu, mobil keduanya telah memasuki area danau.

“Buka sampai jam sebelas ya, Mas.” Ujar penjaga di jalan masuk danau sembari memberi tiket pada Julian.

“Siap.” Julian tersenyum, menerima tiga tiket yang diberikan. Dua tiket masuk untuk dirinya dan Raden, satu tiket untuk memasuki area parkir.

Area parkir yang dibicarakan Julian cukup ramai. Setelah melewati dua belas mobil—sekaligus mengitari setengah danau, Julian menemukan tempat kosong.

Julian menurunkan kaca jendela lalu menoleh pada Raden, memberi tanda agar lelaki itu ikut menurunkan kaca jendela.

“Kapan terakhir kamu kesini?” Tanya Julian sembari melepas sabuk pengaman.

Raden terdiam sejenak, “Sekitar...” Ia berusaha mengingat, “2015?”

“Udah lama ya?”

Raden mengangguk.

“Ada yang berubah nggak?”

“Hmmm....” Mata Raden menyisir pemandangan danau di depannya sembari melepas sabuk pengaman, “Dulu nggak ada yang jagain kayak tadi, jadi masuknya gratis,” ia memandang pohon dan tiang lampu yang mengelilingi danau, “nggak terlalu terawat juga.”

Julian ikut memandang danau di depan yang luas membentang, terlihat kerlip-kerlip lampu kecil di ujung dan cahaya rembulan yang dipantulkan.

Cantik.

Ada rasa damai yang mendesir saat melihat tenangnya muka air.

Raden mencuri pandang pada Julian. Sebuah rasa bersalah menitik diri. Dulu, di mobil yang sama, ia dan lelaki di sampingnya pernah saling berbagi banyak hal. Namun sekarang, mulut Raden seolah dikunci kecanggungan.

Tapi mengingat lika-liku hubungan yang telah dilewati Julian....

Jujur, Raden tak nyaman. Dan ia pikir, rasa tak nyamannya beralasan kuat.

Coba bayangkan, selama ini ia dan Julian terlihat searah, sekalinya sebuah perbedaan muncul—yang muncul adalah perbedaan fundamental.

Dalam hal ini—masalah hubungan pernikahan, Raden merasa ia berseberangan dengan Julian. Teramat jauh hingga—mungkin—akan sulit untuk berjalan beriringan. Sementara Raden hanya mau berjalan seiring dengan orang di sekitar.

Apakah Raden tak takut kehilangan dengan jalan hidup demikian?

Dulu, iya.

Sekarang, tidak.

Terlebih setelah pertemuan dengan Helmi beberapa hari lalu, Raden menyadari sebuah hal.

Kadang, beberapa orang ditakdirkan bertemu hanya untuk saling berpapasan. Yang membedakan hanyalah waktu. Beberapa saling tatap untuk waktu yang lama—belasan tahun misal. Beberapa hanya melirik sebatas pandang lalu saling berpaling.

Dan mungkin, mungkin, inilah yang terjadi antara Raden dan Julian. Mereka hanya akan saling tatap sekilas, saling mengangkat gelas untuk menyesap pertemanan yang manis, lalu selesai.

Raden menoleh ke jendela, wajahnya segera disambut angin malam yang lembut menyentuh.

“Kamu tau nggak kenapa danau ini dinamain Danau Ungu?”

Kepala Raden segera menoleh pada sumber suara—mendapati Julian telah menatapnya lebih dulu.

Raden mengangguk, “Dulu Eyang Kakung pernah jelasin.”

“Oh?” Julian mengangkat dua alis, tersenyum lebar, “coba ceritain.”

Raden menatap bentangan air di depannya, “Kata Eyang Kakung, dulu ada kerajaan di sekitar sini—” cerita Raden terhenti saat ia merasa Julian sedikit memiringkan kepala dan dua alis dinaikkan—seolah terkejut dengan hal yang diucapnya baru saja, “kenapa?” Tanya Raden.

Julian menggeleng, “Nggak apa-apa,” Ia tersenyum lalu membenarkan posisi duduk, “lanjutin.”

“Waktu itu rajanya lagi pergi berburu selama sebulan, terus ratu—” Raden melirik sekilas, mendadak teringat nama istri pertama Julian namun lelaki yang dilirik tak merespon apapun, “Terus ratunya bikinin kain buat si Raja, katanya kain itu spesial banget, semua bahannya diambil dari tanamanan langka sampai kainnya jadi warna item—motif emas. Pas Raja balik, ada salah satu selir yang ngefitnah Ratu. Katanya, kain itu buat cowok lain.”

Raden sedikit berdeham—aneh rasanya ia mengucap sebutan Ratu berkali-kali, “Raja sama Ratu langsung berantem, tepat di danau ini. Sampai Ratu sumpah-sumpah tapi Raja nggak percaya. Akhirnya Ratu bilang, dia bakal terjun ke danau ini bareng kainnya, kalau danau ini berubah warna jadi warna kainnya berarti Ratu bohong, kalau berubah warna lain berarti Ratu jujur.”

“Oh, jadi danaunya berubah jadi warna ungu?” Julian mengangguk pelan, mulai merasa paham dengan cerita Raden.

“Enggak,” Raden menggeleng, “sebelumnya danau ini keruh, terus jadi bening kayak sekarang.”

Dahi Julian mengernyit, “Terus kenapa dinamain Danau Ungu?”

“Nama ratunya Ungu.”

Julian menggigit bibir, menahan tawa, “Oh... gitu.”

“Kenapa?” Raden menyadari wajah Julian yang sedikit memerah dan pipi yang meninggi karena menahan tawa.

Julian menghadapkan tubuhnya pada Raden, “Aku juga pernah diceritain sama Papa tentang asal-usul nama danau in.”

Dua alis Raden terangkat, “Kamu udah tau? Terus kenapa nanya?”

“Cuma pengen bandingin ceritanya,” Julian tersenyum, “kalau kata Papa, dulu ada pohon sakura ungu di sekitar sini, muterin danau.” Jari telunjuk Julian bergerak membentuk putaran.

Raden terdiam, entah mengapa ceritanya sendiri terdengar konyol dibanding cerita Julian.

“Danau ini mantulin warna pohon-pohon itu, bunga-bunganya juga kadang gugur ke danau. Jadi kalau diliat sepintas, warna danaunya jadi agak keunguan gitu, makanya orang-orang sini nyebutnya Danau Ungu.” Lanjut Julian, “Tapi itu udah lama banget, sekarang pohonnya udah nggak ada, tapi orang-orang masih nyebut danau ini Danau Ungu.”

Mata Raden menatap Julian yang berusaha menutup senyum dengan jemari.

Oh...

Pantas Julian nyaris tertawa setelah mendengar cerita Raden.

“Ceritaku nggak masuk akal ya?” Mendadak Raden merasa malu dengan ceritanya. Harusnya ia ingat cerita ini adalah pengantar tidurnya saat kecil. Tentu lebih menarik menceritakan tentang kisah raja dan ratu pada anak-anak daripada bunga sakura ungu.

Julian tertawa, “Masuk akal, sih,” ia menutup mulut dengan tangan, “cuma kebayang nggak sih Ratu terjun ke danau terus Raja cuma ngeliatin doang padahal Ratu nggak langsung tenggelam?”

Sebuah rasa geli menyerang perut Raden, ia terkekeh pelan, “Kamu sengaja ya mau bikin aku malu?” Kepalanya tertoleh pada Julian.

Julian makin tertawa, lesung pipinya terlihat jelas, “Aku beneran pengen tau—cuma nggak nyangka cerita versimu kayak gitu.”

Di antara mata yang menyipit karena tertawa, Julian mencuri pandang untuk melihat wajah Raden yang memerah karena rasa malu—dibasuh cahaya lampu mobil dan ditimpa gelap malam.

Cantik.

Suara tawa Raden mengerling memasuki daun telinga. Menggelitik setiap ujung wajah Julian, membuat senyum lebar tersungging di ujung bibir.

Tawa keduanya melebur membakar beku dan mencairkan rasa kaku.

Begitulah, bongkah canggung telah dihancurkan.


“Kamu apa kabar?” Tanya Julian setelah ia meredam tawa—mereka baru saja menghabiskan sepuluh menit penuh pingkal untuk membahas Danau Ungu.

“Baik.” Raden sedikit mengangkat kaca mata untuk mengusap air di ujung mata—ia terlalu banyak tertawa, “Kamu gimana?” Mulutnya refleks bertanya balik tanpa ia sadari.

Julian tersenyum, “Baik.” Ia mengurungkan niat untuk bertanya tentang Helmi, toh sepertinya Raden memang terlihat lebih baik—itu yang paling penting.

“Tapi nggak baik-baik banget,” Lanjut Julian, “Kamu jauhin aku.”

Tawa Raden padam perlahan.

Danau ini ramai—sebenarnya, tapi terasa sunyi karena jarak tiap pengunjung yang saling jauh. Telinga Raden hanya dapat mendengar sayup-sayup gelak tawa dan kerik jangkrik yang bercampur dengan sibuknya warung makan di belakang sana.

“Kayaknya ada beberapa hal yang harus kita bahas, ya?” Julian menoleh, membuat Raden refleks ikut menoleh balik namun segera menurunkan pandang.

“Iya, aku juga mau nyampein beberapa hal ke kamu.” Raden membenarkan posisi kaca mata yang melorot.

“Kamu mau mulai dulu?”

“Kamu dulu aja, Mas.”

Julian sedikit mencondongkan tubuh, “Ceritaku bakal lumayan panjang, lho. Yakin mau aku dulu?”

Raden melirik sekilas lalu mengangguk.

Tubuh Julian kembali dimundurkan, ia menegakkan posisi duduk. Matanya tak sengaja menangkap jemari Raden yang saling usap—memperjelas rasa gugup dari lelaki itu, “Aku paham kamu mungkin aja salah paham dan mikir yang nggak-nggak tentang aku,” ia memulai pembicaraan, “jadi aku pengen ceritain beberapa hal biar semuanya lebih jelas.”

Raden tak menyela, ia hanya memberi angguk ringan—sebagai tanda ia sedang khusyuk mendengar.

“Ya—kamu tau—tentang alasan aku cerai,” Julian menggigit bibir. Ia memang pernah mengatakan tak akan tersinggung bila hal ini dibahas—namun topik ini tetap sensitif untuknya, “Itu nggak seabu-abu yang aku bilang ke kamu waktu itu. Kamu juga udah tanya ke Mama 'kan?” Lanjutnya, mengusir rasa ragu yang hinggap.

“Iya.”

“Mama bilang apa?”

Mata Raden mengerjap dua kali, ia tak menyangka akan ditanya demikian.

Pikiran Raden melayang pada peristiwa sore tadi, “Sebenernya nggak jauh beda dari apa yang kamu ceritain, Mas,” ia mengusap tengkuk, “Mama kurang tau yang pertama, tapi katanya yang kedua, kalian ribut terus…” Matanya melirik Julian, lidahnya tak nyaman untuk mengucap, “Tiap hari.” Lanjutnya.

Julian mengangguk paham.

Kenang demi kenang menjamah tanpa permisi.

“Ratu sama Shelin orang yang baik, Raden,” Julian tersenyum simpul, “kita cocok di banyak hal, kecuali jadi suami-istri. Atau mungkin sebenernya cocok, kalau aja aku lebih dewasa.”

Alis Raden saling beratut, lebih dewasa?

“Ratu baik banget, dia cewek lembut, hobinya baca. Aku jarang baca buku tapi aku jadi kayak kutu buku karena dia selalu nyeritain setiap buku yang abis dia baca ke aku,” ujung bibir Julian tertarik lebar, menunjukkan gigi-gigi, “Dia juga sabar banget, selalu ngertiin aku dan nuntun aku pelan-pelan kalau aku salah,” lelaki berkaus hitam itu menunduk sejenak sebelum melanjutkan kalimat, “Dia juga yang bikin aku ngikhlasin cinta pertamaku. Ratu bener-bener berpengaruh buat aku.”

Terus kenapa pisah? Raden menatap Julian, rasa takut menyergap—bagaimana kalau alasannya begitu menyakitkan?

“Ratu ini pacar sekaligus istri pertamaku. Bisa dibilang aku masih idealis banget. Sebelum nikah, Ratu bilang, dia mau ngikut aku terus. Kita pindah tiap tiga bulan sekali. Waktu itu aku nggak mikirin tentang hal lain selain kerja karena sumber pendapatan cuma dari aku.”

Julian sedikit memberi jeda untuk menyisir rambut dengan jari-jari.

“Setelah dua tahun, akhirnya Ratu bilang, dia nggak bisa lagi ngikut aku kemana-mana,” Julian menggigit bibir, masa itu telah lalu namun kilatnya nyata menyambar, ia seperti kembali di rumah petak abu-abu yang mereka kontrak dengan pembayaran tiap bulan,

“Aku marah. Aku nggak bisa jelasin seberapa kacau waktu itu. Nggak ada hari tanpa kita nggak berantem. Dia nyuruh aku resign atau pindah divisi. Tapi aku nggak mau,” Julian membasahi bibir yang terasa kering,

“Aku inget perdebatan paling gede—dua hari sebelum kita mutusin buat cerai, dia bilang aku nggak mikirin masa depan, pindah-pindah kayak gini bakal susah misal kita udah punya anak. Aku bilang, aku cari kerja juga biar suatu saat pas kita punya anak semuanya bakal tercukupi—aku nyuruh Ratu lebih sabar buat nunggu.”

“Tapi yang aku nggak tau, Raden,” bibir Julian menyunggingkan senyum getir, “ternyata selama ini Ratu udah sabar. Hari di mana dia mulai protes itu—kesabarannya udah abis. Akhirnya, Ratu bilang dia capek,” kalimat Julian terhenti, ia sedikit menarik napas lalu menghembusnya pelan,

“Aku marah, beneran bingung kenapa Ratu bisa bilang capek perkara rumah pindah-pindah, padahal kita pindah juga bareng-bareng, belum lagi aku masih harus kerja—turun ke lapangan seharian—kalau ngomongin capek, aku juga capek.”

Raden dapat merasa secercah emosi dari tempo bicara lelaki di hadapannya yang makin cepat. Ia belum pernah menikah namun ia tau seberapa dalam kata capek dalam sebuah hubungan. Kata yang sebenarnya pantang diucap. Ibarat seorang pelari yang hanya akan merasa lelah ketika ia telah mencapai garis finish.

“Ternyata, ada banyak banget pengorbanan Ratu yang nggak aku liat,” lanjut Julian,

“Hal yang bikin dia ngerasa capek tapi aku nggak tau. Dari awal kita ketemu malah—mulai dari aku yang masih berusaha ngikhlasin cinta pertamaku dan dia yang nunggu aku; pas awal nikah juga, dia udah ngorbanin mimpi-mimpinya, milih buat jadi ibu rumah tangga.”

“Selama di rumah, kegiatannya monoton banget, mana dia lebih sering sendiri di rumah,” Julian mengulum bibir sejenak, “pengen cari kerja tapi dia takut aku nggak keurus. Belum lagi dia harus adaptasi tiap masuk lingkungan baru.” Pandangnya dibuang—meminta ketenangan dari danau di hadapan—lalu kembali menatap Raden.

“Aku nggak kepikiran sampe situ,” susah payah Julian menarik senyum, “pas aku nyadar kalau aku salah banget, semuanya udah telat. Keputusan dia udah bulat. Aku pengen mohon-mohon sama dia dan minta kesempatan sekali lagi—pengen banget, tapi aku nggak mau dia ngalah lagi sama aku,” Tangannya mengusap lutut, “akhirnya, kita selesai.”

Raden tak memberi jawaban. Pikirannya terus berputar mencerna tiap kata dari lawan bicara.

“Abis cerai, aku masih tetep kerja—dan masih pindah-pindah. Aku harus ngelupain Ratu,” Julian melanjutkan ceritanya, masih sempat memberi senyum,

“Terus aku ketemu Shelin. Kayak yang kamu liat kemarin, Shelin ceria dan care banget ke orang lain, dia supel karena udah biasa temenan sama banyak orang.”

Ah, iya. Raden mengamini penjelasan Julian. Shelin emang keliatan kayak gitu.

“Tapi aku sama Shelin ketemu di keadaan yang nggak pas. Kita udah pacaran, kita udah rencanain semua sebelum nikah. Mau menetap di mana, dan dia nggak masalah misal aku pergi-pergi, aku juga udah mulai ngambil job lebih dikit. Semuanya udah siap. Kita nikah.” Tangan Julian bergerak seiring penjelasan.

“Baru sebulan nikah, aku dapet kabar Papa meninggal.”

Raden menelan ludah, matanya menatap Julian penuh bela sungkawa.

“Semuanya langsung berubah,” Julian menggigit bibir untuk kesekian kali,

“Aku anak tunggal, Raden. Aku nggak bisa biarin Mama sendirian di rumah. Aku bujuk Shelin—dan itu kesalahan pertama. Shelin anak bungsu, dia ngerasa punya tanggung jawab buat selalu deket sama orang tuanya.”

Julian menegakkan posisi duduk sebelum kembali melanjutkan, “Sebelumnya, kita tinggal di daerah yang deket sama rumah orang tuanya—dua jam perjalanan darat. Kalau kita pindah ke kampung sini—butuh sembilan jam perjalanan darat; enam jam perjalanan udara—transit sekali.”

Oh… jauh juga ya….

“Akhirnya Shelin pindah. Tinggal di rumah bareng Mama,” Julian kembali melanjutkan, “Masalahnya, Shelin sama Mama sering…” Julian mencari kata yang pas, “selisih paham....”

Ah…

Pantas tadi sore Bu Ares terlihat kurang yakin menceritakan tentang Shelin—seolah ia tau banyak tapi tak ingin menceritakan terlalu banyak.

“Apalagi pas awal-awal pindah itu aku baru mulai bangun toko—mulai semuanya dari awal. Aku terlalu sibuk ngurus banyak hal jadi kurang aware sama kondisi rumah. Aku sama Shelin sering banget berantem,” Julian mengusap dahi, merasa diri paling payah,

“Sampe akhirnya, pernah satu hari, aku pulang dan Shelin nggak ada di rumah, dia balik ke rumah orang tuanya—ternyata, paginya pas aku pergi, Shelin berantem sama Mama.”

“Aku nggak mau kamu salah paham,” Julian menyambung kalimatnya cepat,

“Tapi Shelin orangnya baik. Cuma Mama sama Shelin emang beda generasi, beda pemikiran, beda cara pandang. Shelin selalu nganggep cara pikir Mama kolot—nggak salah sebenernya, karena emang iya. Mama juga nggak bisa mahamin cara pikir Shelin yang lebih terbuka—nggak salah juga karena emang Shelin kayak gitu.”

Raden menggigit bibir, mengangguk pelan sebagai tanda ia paham.

“Shelin yang inisiatif buat cerai. Dia bilang, kita emang udah nggak bisa lanjut lagi—sikonnya udah nggak ngedukung. Aku nggak siap cerai lagi, aku sampe nanyain dia empat kali, dan dia tetep yakin mau cerai,” Julian mengusap dagu,

“Tapi Shelin tetep dewasa banget, abis resmi cerai, dia masih dateng ke rumah—ngobrol sama Mama, dan minta maaf banyak banget, dia juga minta maaf sama aku.” Lanjut Julian.

Terdengar deru mobil yang lewat di belakang mereka diiringi suara tawa dari dalamnya. Angin malam melingkari keduanya tanpa permisi. Raden masih mencerna dan Julian merana.

Topik ini jelas sensitif. Kelewat sensitif untuk dibicarakan setelah legenda asal-usul Danau Ungu.

“Terus,” Raden membuka percakapan yang sempat terhenti, “Sekarang Shelin nikah sama…?”

“Dia tunangan sama orang dari kota sebelah.” Jawab Julian cepat.

“Terus orang tuanya gimana?”

“Mereka tinggal di deket rumah orang tua Shelin. Cuma acara tunangan emang dilakuin di sini.”

“Oh…”

Hening.

Telapak tangan Raden saling mengusap untuk mengusir dingin. Matanya fokus menatap jemari sendiri.

“Ceritaku udah selesai,” Julian menyuguh senyum, “Apa yang pengen kamu sampein?”

Raden menoleh, ia telah selesai mencerna semua cerita yang diberikan, “Berat ya, Mas?”

“Apanya?”

“Jadi istri kamu.”

Julian terhenyak.

“Tadi aku bilang tentang hal yang mau aku sampein ke kamu,” Raden menggigit bibir, “Jujur, dari kemarin, aku nggak nyaman sama status kamu…” Ibu jari dan telunjuknya saling usap—menipiskan gugup, “Yang udah cerai dua kali.”

“Aku punya alesan.” Lanjut Raden cepat saat dirasa Julian sudah membuka mulut untuk menyanggah,

“Yang pertama, awalnya karena aku ngerasa alesan kamu pisah kurang—” ia berusaha mencari kata yang tepat, “kayak yang kamu bilang tadi, masih abu-abu.” Jari pertama Raden terbuka.

“Yang kedua, karena menurutku, jangka waktu nikah-ceraimu terlalu cepet.” Jari kedua terbuka.

“Yang ketiga, pendapat kita berseberangan tentang ini—tentang pernikahan sama perceraian.” Jari ketiga terbuka.

Julian menelan ludah, masih terdiam—membiarkan Raden melanjutkan ucapan.

“Makasih banget kamu udah jelasin alesan kamu pisah jadi seenggaknya semuanya lebih jelas,” Raden terdiam sejenak, menimang kalimatnya, “Tapi menurutku kamu egois.”

Jantung Julian berdegup dua kali lebih kencang. Bukan hanya karena tatapan Raden yang dalam, namun juga karena ucapan Raden yang tajam.

“Egois?” Julian mengulang ucapan Raden, takut ia salah dengar.

“Iya.” Raden menarik napas sebelum kembali melanjutkan, “Kamu egois. Terlalu fokus sama tujuan-tujuan kamu sampe kamu nggak peduli apa yang terjadi di sekitar kamu.”

“A—aku—” Julian nyaris terbata menjawab ucapan Raden, ia tak menyangka lelaki di depannya akan mengucap demikian, “Aku ngelakuin apa yang terbaik buat rumah tanggaku, Raden. Aku kerja.”

“Yang terbaik buat kamu belum tentu terbaik buat istri kamu, Mas. Kamu pisah sama Ratu karena hal itu, bisa-bisanya kamu ngulangin kesalahan yang sama ke Shelin?!” Dahi Raden mengernyit,

“Harusnya kamu peka buat lebih jagain Shelin. Kamu bilang kalian udah bikin rencana sebelum nikah? Kamu bilang semua rencanamu gagal karena ada kejadian yang nggak terduga? Kenapa kamu malah fokus lagi ke kerjaanmu?” Lanjut Raden—masih terheran.

Julian tak menjawab. Ia menyadari apa yang diucap Raden, ia tau betul letak kesalahannya di mana. Tapi ia tak bisa membela diri.

Ah… jadi begini rasanya dihakimi.

“Kamu nggak berubah, Mas. Dan itu jadi alesan keempatku buat ngerasa nggak nyaman sama kamu.” Lanjut Raden saat dirasa Julian tak kunjung menjawab,

“Makasih banget buat semua hal yang udah kamu kasih ke aku selama ini—semua hal yang kita obrolin selama ini,” Raden menarik napas dalam lalu menghembusnya perlahan, “Tapi kayaknya kita cuma bisa saling kenal sampe sini.”

Lengang.

Julian masih tak percaya dengan barisan kata yang memasuki telinganya. Apakah itu suara Raden atau sebuah takut yang bergaung di sunyi malam?

Kalimat Raden bagai sebuah peluru yang membidik jantung. Menembus dan bermekaran hanya untuk menancapkan duri-duri.

Menyakitkan.

Dan Julian tak paham, mengapa ucapan demikian harus dilayangkan padanya.

“Raden,” panggil Julian pelan, “Aku boleh tanya sesuatu?”

Yang dipanggil menoleh setelah sibuk memandang jemari di pangkuan, “Apa?”

“Masa laluku …nyakitin kamu ya?”

Tak ada jawaban.

“Apa perceraianku—yang ada di masa lalu, nyakitin kamu yang sekarang?” Julian memperjelas pertanyaan.

Raden masih terdiam, matanya sekilas melirik Julian yang menatapnya lurus-lurus.

“Selama kita kenal, apa aku pernah nyakitin kamu?”

Kali ini Raden menjawab dengan gelengan.

“Masa laluku bagian dari aku yang sekarang, Raden,” Ucap Julian pelan, “Aku yang sekarang terbentuk karena hal-hal yang udah aku lewatin sebelumnya.”

Raden masih terdiam. Ia butuh waktu untuk meresapi kalimat Julian.

“Terus kamu tadi juga bilang—” Julian menyadari tempo bicaranya yang makin cepat, ia menarik napas—berusaha memperlambat, “Terus kamu tadi bilang tentang jangka waktu yang terlalu cepet selama nikah-cerai, bisa kamu jelasin?”

Raden mengusap leher yang mendadak terasa dingin diterpa angin dari jendela, “Kamu terlalu—” ia membasahi bibir yang kering,

“Terlalu cepet nglewatin semua hal. Dari apa yang kamu ceritain, kayaknya kamu ngerasa telat sadar, nyesel, patah hati. Tapi aku heran gimana semua itu bisa kamu lewatin dalam waktu yang…” Raden sampai kehilangan kata-kata—terasa sulit menjelaskan,

“Kamu nikah sama Ratu dua tahun, ngerasa sedih; nyesel; patah hati, terus nggak sampe setahun, kamu udah pacaran sama Shelin, kalian pacaran setahun terus langsung nikah. Bertahan 1,5 tahun terus kalian cerai. Dan sekarang kamu udah biasa aja sama Shelin.”

“Raden.” Tegur Julian cepat, lagi-lagi ia tak percaya dengan apa yang baru didengar, “Apa salahnya kalau menurut kamu aku cepet nglewatin itu semua?”

“Terlalu cepet, Mas. Seolah semuanya nggak ada artinya buat kamu. Kamu gampang buat jatuh cinta, yakin banget kalau secinta itu sampe kamu nikahin, kamu telat nyadarin kesalahanmu, kamu nyesel-sedih-patah hati, tapi semua itu kejadian gitu aja—cepet banget. Gimana bisa?”

Kini Julian yang mengernyit, “Raden, kalau kamu ngomongin tentang gimana aku bisa ngikhlasin semuanya secepet itu—” Ia terdiam, memikirkan kembali jawaban yang dirasa terlalu—amat terlalu—personal, “Aku udah biasa ngikhlasin banyak hal.”

Raden tertegun.

“Aku anak tunggal, Raden. Satu-satunya harapan Mama-Papa, banyak hal yang aku ikhlasin dari kecil,” impian, cita-cita, tujuan, kebebasan, lanjut Julian dalam hati, “Cuma karena aku nglewatin semuanya secepet itu, bukan berarti aku nggak ngerasain sakit.”

Julian membenarkan posisi duduk, “Kamu tau sendiri gimana sakitnya nglepasin hal yang masih pengen kamu pertahanin, ‘kan?”

Dua alis Raden terangkat, hubunganku sama Helmi?

“Sakitnya sama, Raden.”

Raden menunduk—tak menjawab.

Enam puluh detik ke depan yang terdengar hanyalah sepi dan sunyi yang saling melebur. Kadang sayup tawa dari kejauhan terdengar, kadang suara dedaunan tertiup angin ikut meramaikan.

Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Mata Raden menatap kaca spion, melihat tenda warung makan yang bayangannya terpantul. Sementara pandangan Julian tenggelam di danau.

“Kamu beneran mau jauhin aku?”

Ditanya demikian, Raden menoleh, jemarinya mengusap telinga. Ia telah memikirkan pertanyaan ini enam puluh detik belakangan.

Tapi cara pandang Raden bukan hanya sebatas enam puluh detik, pemikirannya telah dibangun—hancur—dibangun lagi selama beberapa tahun.

Raden mengangguk pelan—yang langsung mendapat respon helaan napas dari Julian.

“Kenapa, Raden?”

Selama mengenal Julian, Raden tak pernah melihat lelaki itu sefrustasi ini. Nadanya terdengar kesal namun berusaha menahan kesal.

Raden barus aja akan menjelaskan, tadi udah aku sebutin empat alesan. Namun Julian lebih dulu melanjutkan tanya, “Kenapa temenan aja nggak bisa?”

Raden menggigit bibir.

“Justru itu, Mas,” balas Raden setelah ia terlalu lama menatap balik nyala mata Julian, “Aku punya hak buat mutusin mau temenan sama siapa. Justru karena kita cuma temen makanya aku mau ambil keputusan ini. Toh, kita juga baru awal kenal, bentar lagi aku pergi dari sini dan kita nggak akan ketemu lagi.”

Ah, bagaimana bisa kalimat Raden berubah menjadi besi tajam yang mematahkan Julian berkali-kali?

Tangan Julian meremas celana jeans, “Aku mau temenan sama kamu, Raden.”

Raden nyaris mendecak keras mendengar balasan Julian, namun ia menelan kesal. Kenapa Julian menjadi luar biasa keras kepala?

“Kalau kamu pikir aku nggak pernah belajar dari kesalahan, kamu salah.” Ucap Julian, matanya melekat pada Raden, “Walaupun aku telat nyadar sama kesalahanku, tapi aku belajar. Aku belajar cara ngalah, cara menghargai hubungan, dan cara mertahanin hubungan.”

Raden sedikit menoleh pada Julian yang telah memandangnya dengan tatapan dalam. Bibirnya terkunci.

“Aku mau mertahanin kamu, Raden.”

Satu alis Raden terangkat, “Kenapa?”

Lidah Julian membeku dibelenggu ragu.

Antara yakin tak yakin,

Sadar tak sadar,

Bibir Julian mengucap, “Aku mau kenal sama kamu lebih dari temen.”

DEG!

Mungkin dentum itu menjadi degup terakhir di jantung Raden. Ia dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak lalu menggelinding begitu saja.

Lidahnya hilang direnggut kelu.

“Mas?” Raden menutup mulutnya yang ternganga, “Kamu udah gila?”

Dan bukan itu yang ingin didengar Julian.

Setidaknya bukan itu kalimat yang ingin ia dapat setelah susah payah memecah ragu.

“Mas? Yang bener aja?” Raden melepas kaca mata, memijat bagian tengah alis, kepalanya berdenging, “Aku baru aja bilang tentang kamu yang terlalu cepet naksir orang, aku juga bilang kalau jadi pasangan kamu berat—” ia menghela napas, “Tapi kamu naksir aku?!”

Mulut Raden terbungkam. Kepalanya terlalu penuh untuk dijejali informasi baru.

Sementara Julian terdiam di ujung, tangannya ditumpukan pada lubang jendela yang seluruhnya terbuka.

Batinnya menggerutu. Ia salah langkah.

Ah, bagaimana bisa Julian melupakan aturan penting saat bersama Raden?

Menyesuaikan tempo.

Pantang bagi Julian untuk bergerak terlalu cepat.

Sekarang sia-sia usaha Julian untuk bergerak perlahan selama ini, sia-sia usahanya menghancurkan bongkah canggung.

Semuanya, sia-sia.

“Mas,” Panggil Raden gemas—lebih mirip kesal, “Aku mau bilang dari sekarang, kita nggak cocok.”

Julian menggigit bibir cemas.

“Kamu ngerasa cocok sama mantan istrimu aja kalian akhirnya cerai, gimana sama aku yang dari awal udah nggak cocok gini?”

Julian memejamkan mata, menahan untuk tak mengumpat diri sendiri.

“Jalan pikir kita beda, Mas. Buat aku nikah itu sekali seumur hidup. Kayak lahir sama mati yang cuma sekali, nikah sama cerai juga gitu. Selalu ada jalan lain selain cerai, Mas—terus—” Raden menghela napas berat. Isi kepalanya dipenuhi benang-benang yang saling menyilang, mendadak ia tak tau bagaimana cara menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lain, tak tau mana konjungsi harus digunakan, tak tau istilah mana yang harus digunakan—kepala Raden kosong.

Tangan Raden diangkat untuk memijat pelipis yang terasa berat.

“Raden,” Julian akhirnya mengeluarkan suara setelah hanya berani menatap Raden yang sibuk mereda pening, “Aku keluar sebentar, kamu tunggu ya.”

Sebelum Raden sempat menjawab, Julian telah membuka pintu mobil lalu berjalan keluar.

Yang ditinggal segera meraup oksigen banyak-banyak lalu menghembusnya cepat. Tangannya mengusap wajah kasar.

Kenapa jadi gini?

Raden menatap hamparan air dari balik kaca depan. Begitu tenang dan lengang, begitu kontras dari kepalanya yang penuh cemas.

Angin malam berhembus—menggelitik pipi Raden lalu berlari mengitari mobil, dua detik kemudian, angin itu berlalu.

Dalam diam Raden menelaah benang-benang di kepala satu per satu. Diurainya tiap bongkah menjadi satu untai yang yang saling terhubung satu sama lain.

Pusing.

Tiga menit kemudian, Julian kembali. Tangannya membawa dua botol air putih.

Ah, harusnya Raden titip korek dan rokok.

Bagi Raden, untuk saat-saat seperti ini, mengatur pernapasan dengan linting tembakau jauh lebih berguna daripada meminum air putih.

“Minum dulu, napas dulu.” Julian menyerahkan sebotol air setelah memasuki mobil.

Raden menerimanya, memaksakan diri tersenyum, “Makasih.”

Keduanya sama-sama menenggak air dari botol.

Walau Raden lebih menginginkan rokok, namun bibir dan tenggorokannya terasa kering setelah semua kata yang dilontarkan.

Berikutnya, sepi.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Empat menit.

Lima menit.

“Raden,” Julian mencengkeram botol, mata melirik Raden, “Aku boleh tanya?”

Raden—yang terlihat lebih tenang dari sebelumnya, sedikit menoleh, “Apa?”

“Kalau kamu punya banyak red flags buat nyeleksi orang-orang, green flags-nya ada nggak?”

Raden mengerjap beberapa kali, green flags?

“Menurutku—saranku aja,” Julian mengulum bibir sebelum melanjutkan, “Daripada kamu langsung jauhin orang yang punya red flags, mending kamu pertahanin orang yang punya green flags.”

“Karena, menurutku, menurutku,” Julian menekankan, “Nggak ada orang yang bener-bener sempurna di dunia ini. Daripada nilai orang dari keburukannya, mending diliat hal baik apa yang keliatan, ya ‘kan?”

“Kamu ngomongin diri kamu sendiri?” Tembak Raden cepat.

“Nggak, Raden, dengerin—”

“Mas, kita nggak bisa temenan lagi, bener-bener nggak bisa karena—” Raden, lagi-lagi, menghela napas, ia (nyaris) tak dapat melanjutkan kalimat.

“Urusanku sama Helmi baru aja selesai—” Raden baru teringat ia belum menceritakan tentang hal ini pada Julian—eh tapi masih perlu cerita nggak ya? “Helmi sempet dateng terus kita nyelesaiin urusan. Bener-bener selesai—baru aja selesai. Aku belum siap buat nerima perasaan orang lain atau terlibat di hubungan sejenis itu, Mas.”

Julian tau. Ia mendengar semuanya hari itu, sehingga ia hanya memberi respon, “Oh, udah selesai?”

Raden mengangguk pelan—nyaris tak terlihat kalau saja Julian tak benar-benar memperhatikan seluruh geraknya.

“Oh, ngomongin tentang Helmi, aku pengen nyampein sesuatu.” Julian mengusap botol di tangan, ia menatap Raden hati-hati. Kalimat ini telah ia susun baik-baik saat ia berjalan dari mobil ke warung. Setidaknya ia telah memikirkannya sembari menerima hembusan angin dan sejuknya alam terbuka.

“Apa?”

“Ada baiknya, sekarang kamu mulai nglepasin diri dari bayang-bayang Helmi.”

Untuk kesekian kali, dahi Raden mengernyit, “Maksudnya?”

“Aku ngerasa kamu susah percaya sama orang karena kamu takut hubunganmu bakal berakhir kayak hubunganmu sama Helmi.”

Bukan, sebenarnya ini bukan hanya perasaan Julian. Tapi ia yakin. Amat yakin—apalagi setelah tak sengaja mendengar perbincangan Raden dan Helmi hari itu.

Dan benar saja, ucapan Julian berhasil membuat Raden tertegun. Mendadak tenggorokan yang telah dilewati 300mL air terasa gersang, ia menelan ludah.

“Nggak semua orang kayak dia.” Suara Julian kembali terdengar.

Lidah Raden terjulur sekilas—membasahi bibir. Ia tak menajwab.

“Kamu masih bisa mulai semuanya lagi dari awal.” Mata Julian menatap pandangan Raden yang makin layu.

“Aku mau nemenin kamu—buat mulai semuanya dari awal,” Ucap Julian lembut, “Atau kamu mau mulai sendiri dulu, aku siap nunggu.” Lanjutnya.

“Atau kamu bisa lanjutin apa yang kamu lakuin sekarang, aku siap buat selalu ada di samping kamu.” Julian masih mendominasi percakapan.

Raden menoleh, mata bulatnya menatap Julian dari balik lensa. Seluruh ucap lelaki berlesung pipi itu memasuki telinganya namun terlalu sulit dicerna kepala.

Jadi Raden endapkan puluhan kata itu. Kelak, mungkin, ia akan memunculkan rangkaian kata itu ke permukaan.

“Apapun keputusanmu, aku selalu siap dukung,” Julian menunduk sebelum kembali menatap kedua mata Raden, “Berlebihan nggak misal aku minta satu kesempatan?”

“Satu aja,” Julian menggigit bibir, “Seenggaknya biarin aku berusaha dulu.”

Hening.

Pada danau yang bening, Raden bergeming.

Kepalanya memandang danau yang membentang, memantulkan kerlip langit yang terang. Airnya tenang dalam remang.

Apa yang membuat danau terlihat elok?

Apa karena danau tak pernah menaruh curiga pada apapun di atasnya?

Ah, mendadak Raden berandai menjadi danau.

Andai ia bisa menerima segala hal seperti cekung danau yang suka rela menadah langit, menerima apapun yang dijatuhkan—air hujan, sengatan matahari, cahaya rembulan, gugur daun.

Andai ia danau, mungkin ia akan terbiasa dengan tatap terpana dari puluhan mata.

Andai ia danau, mungkin ia akan terbiasa dengan orang yang hanya singgah sejenak.


Cukup lama mobil Julian disergap sepi.

“Mas.”

“Iya?”

“Aku boleh mikir dulu, ‘kan?”

Ujung bibir Julian terangkat, wajahnya memerah menahan senyum, “Boleh banget!”