Takut
Julian sedang menunggu di dalam mobil. Satu sikunya disandarkan pada lubang jendela mobil yang kacanya sengaja dibuka. Separuh wajahnya diterpa angin bersama sinar matahari yang menyapa hangat.
Di kanan-kiri mobil tak terlihat warga yang sedang kerja bakti—justru sepi, mungkin karena beberapa warga tengah membersihkan area lain.
Julian sedang asyik memainkan ponsel ketika matanya tak sengaja menangkap sosok ramping dibalut kaos putih dan celana biru dongker berjalan berpuluh-puluh meter di depannya.
Oh, Raden.
Beberapa hari belakangan, Julian sibuk—kelewat sibuk. Akhir bulan, saatnya Julian—selaku pemilik, manajer, akuntan, pegawai—semua posisi jadi satu—harus mulai menyiapkan laporan keuangan, mulai menyusun strategi baru untuk bulan berikutnya, dan memikirkan nasib puluhan produk yang tersisa di gudang namun tanggal kadalaursa makin dekat.
Selama itu pula ia tak lagi berjumpa dengan Raden—bahkan sekadar berkabar di pesan.
Kemarin, saat Raden melintas di kepalanya karena ia ingin meminta bantuan, Julian kembali teringat kondisi Raden beberapa hari sebelumnya. Puluhan pertanyaan segera menghinggapi,
Kabar Raden gimana ya?
Apa dia udah baik-baik aja?
Apa Raden udah bisa dihubungi?
Oma sama Raden baik-baik aja, 'kan?
Namun melihat langkah pelan dan raut wajah Raden sekarang, semua pertanyaan Julian terjawab.
Raden baik-baik saja.
Lelaki itu sudah kembali menjadi Raden yang tenang, Raden yang memiliki dunia dan temponya sendiri.
Di antara angin yang bergerak dua puluh kilometer per jam, langkah Raden hanya satu setengah meter per detik. Wajah yang diterpa hembus angin seolah tak peduli, lebih memilih terdiam sesekali memberi senyum simpul saat mata di balik lensa bertemu dengan gumpal awan di langit biru.
Tangan Raden sibuk, sesekali menyingkirkan anak rambut yang menyapu wajah, sesekali membenarkan bingkai kaca mata yang melorot.
Mata Julian terus mengikuti Raden hingga lelaki itu membuka pintu mobil.
“Siang, Mas.” Sapanya, sebuah senyum yang lebih lebar mulai terbit.
“Pagi, Raden.” Julian membalas dengan senyuman yang tak kalah lebar.
“Udah siang, Mas.” Raden memasang sabuk pengaman.
“Masih pagi.” Julian terkekeh, sempat melirik jam tangan yang menunjukkan pukul setengah sebelas.
“Kamu kalau bangun jam segini, pasti bilangnya bangun siang.”
“Belum jam 12, masih pagi.” Julian ikut memasang sabuk pengaman, “Kamu capek nggak? Mau minum dulu? Ada air putih di kardus belakang kursi.” Lanjutnya.
Raden segera menolehkan tubuh, tangannya meraih satu botol air putih, “Makasih, Mas.”
Mobil hitam itu bergerak perlahan, memulai perjalanan singkat.
Cukup singkat, sebenarnya.
Tak sampai satu jam, kedua orang itu telah membagikan makanan di taman. Seluruh warga telah menyelesaikan kerja bakti hari itu.
“Ini sisanya mau diapain, Mas?” Raden menunjuk beberapa kotak nasi yang masih tersegel di bangku taman.
“Taruh di situ aja, nanti habis sendiri, pasti ada yang bawa pulang.” Julian memberi senyum simpul, ia mengambil dua kotak nasi lalu yang satu diserahkan pada Raden, “Makan, yuk?”
Tangan Raden terulur, menerima kotak nasi yang diberikan, “Makasih.”
Raden dan Julian makan siang bersama di pinggir taman, duduk di rerumputan. Beberapa warga telah pulang—termasuk Eyang dan Bu Ares yang sebelumnya sempat bercakap ringan dengan keduanya.
Makan siang tak memerlukan waktu lama. Raden telah menyelesaikan makannya dalam lima menit—ia kelaparan. Sedang Julian selesai satu menit setelahnya.
“Kamu apa kabar?” Akhirnya, pertanyaan itu tetap ditanyakan Julian. Ia masih ingin memastikan.
“Baik.” Jawab Raden setelah menegak air putih, “Kamu gimana?”
“Jelek.” Sebuah senyum muncul dari bibir Julian, menunjukkan lesung pipi di kanan kiri.
Raden tertawa, “Kok bisa?”
“Akhir-akhir ini sibuk banget.”
Raden terdiam selama beberapa saat, “Bukannya kemarin kamu bilang aku nggak sesibuk yang kamu pikirin?” Ia masih mengingat pesan singkat yang dikirim Julian beberapa hari sebelumnya.
Kini Julian yang tertawa, “Kayaknya aku kena karma karena bilang gitu. Abis itu langsung banyak kerjaan.”
Sebuah senyum menjadi respon Raden, “Terus sekarang gimana? Udah beres sibuknya?”
“Udah, udah banget. Jauh lebih mending dari kemarin-kemarin.”
“Hari ini masih ada kerjaan?”
“Ada, tapi bisa aku kerjain entar sore. Sekalian nunggu Satya sama Asahi balik.”
Raden mengangguk paham, ia sempat memandang botol minuman selama beberapa saat sebelum kembali menatap Julian, “Aku udah pernah bilang belum sih sama kamu? Kalau menurutku kamu hebat banget.”
Dua alis Julian terangkat, “Hebat? Maksudnya?”
“Ya itu... kamu bisa ngelepasin kerjaan kamu yang sebelumnya, yang income-nya mungkin lebih tinggi, kerjaannya per proyek selesai,” Raden memberi jeda sejenak, “Sedangkan di sini, kamu nggak tau kerjaan kamu kapan bakal selesai, risikonya juga tinggi.”
Julian tersenyum, “Menurutmu aku sehebat itu?”
“Iya,” Raden mengangguk, botol minumnya ditaruh di atas pahanya yang duduk bersila, “Menurutku, kamu keren banget bisa ngambil keputusan itu dan tetep bertanggung jawab sampe sekarang.”
“Thanks.” Senyum Julian makin lebar, ia menerima pujian Raden dengan tangan terbuka. Julian bukan orang yang haus akan pujian, namun di saat pikirannya sedang dipenuhi berbagai terkanan seperti sekarang, sebuah pujian bagai memberi peregangan sementara. Memberi rasa lega sesaat.
“Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja,” Raden mengubah posisi duduk, menghadap Julian, “Aku belum tentu bisa bantu, sih. Tapi bingung berdua lebih baik daripada bingung sendirian.”
Julian tertawa, cukup panjang, hingga ia harus menyeka ujung mata yang berair, “Beneran?”
“Iya.” Raden mengangguk mantab.
“Oke, deh. Besok kalau aku bingung, aku bakal hubungin kamu. Biar kita bingung bareng.”
Raden ikut tertawa.
Pukul satu siang. Raden dan Julian masih asyik berbincang di pinggir taman.
Bukan perbincangan serius, hanya Julian yang membicarakan kelakuan ajaib para karyawannya.
“Ningsih yang paling sering bikin pusing,” Tangan Julian mengusap surai ke belakang, “Dia sering banget alasan ke orang tuanya mau ke toko padahal dia pergi ke tempat lain.”
“Pernah sekali dia nggak bisa pulang karena udah malem banget, nggak ada kendaraan umum, mau pesen ojol juga nggak ada yang mau nerima,” Lanjut Julian, “Gimana aku nggak kaget jam 12 malem ditelpon orang tuanya, ditanyain, anaknya di mana?”
Raden tertawa, “Terus kamu jawab apa?”
“Aku bilang, saya cek dulu, bu,” Jemari Julian membentuk gestur seperti gagang telpon, ditempel di telinga, “Terus aku telpon si Ningsih. Makin kaget pas diangkat dia malah nangis.”
Tawa Raden makin menjadi, “Ningsih ini yang kamu bilang sering nangis tadi ya?”
Julian mengangguk, “Ya udah, karena dia udah nangis, langsung deh aku jemput, aku anter pulang dan minta maaf ke orang tuanya.”
Satu alis Raden terangkat, “Kamu yang minta maaf?”
“Iya, aku bilang Ningsih kekunci di toko.”
Raden terkekeh, “Kok bohong sih?”
“Kalau jujur, makin panjang urusan.”
Tawa Raden kembali terdengar, “Bagus sih, seenggaknya dia jadi tau, nggak boleh pulang jam segitu lagi.”
Julian mengangguk.
Pembicaraan terus bergulir. Sesekali tawa Raden terdengar, namun tawa Julian lebih banyak terdengar.
“Oh iya,” Raden seolah baru teringat sesuatu, “Aku lupa mau bilang.”
Tawa Julian segera reda, “Apa?” Ia menunggu Raden melanjutkan kalimat.
“Omongan kamu waktu itu, banyak benernya, Mas.”
“Omongan?” Julian menggigit bibir, berpikir omongan yang dimaksud, “Pas di mobil itu?”
Raden mengangguk, “Yang kamu bilang kita nggak tau perasaan orang lain itu, tentang temen-temenku, tentang Eyang, banyak deh.”
Julian tersenyum, “Contohnya?”
“Ya itu... selama ini kan aku selalu ngehindarin temen-temen karena aku takut bikin mereka kejebak di antara aku sama... si itu,” Raden sedikit memberi jeda, hari masih terlalu siang untuknya menyebut nama lelaki itu, “Aku kira mereka jadi nggak peduli sama aku karena aku ngejauh,”
Julian masih mendengar dengan seksama, tak menyela.
“Ternyata enggak,” Raden tersenyum, “Kemarin mereka semua nge-chat aku. Jujur aku sampe bingung mau respon gimana,” Ia menatap mata teduh Julian, “Tapi aku seneng.” Sebuah senyum yang lebih cerah dari terik mentari tertarik dari ujung bibir.
Angin sepoi-sepoi di taman mencapai delapan belas kilometer per jam. Namun kali ini, si angin kalah cepat dari ujung bibir Julian yang ikut tertarik saat melihat senyum Raden.
“Manusia emang gitu ya?” Julian menimpali.
“Apa?”
“Gampang takut sama hal-hal yang nggak pasti.”
Raden terkekeh, “Iya.”
“Aku juga pernah gitu.”
Kedua mata Raden membulat, “Iyakah? Kapan?”
“Sering.” Ganti Julian yang terkekeh.
“Nggak keliatan.”
Julian melirik Raden sekilas, lalu sebuah senyum terulas, “Iya, kan bahasa inggrisnya takut itu fear.”
Raden terdiam, berusaha berpikir sendiri maksud kalimat Julian, sepuluh detik kemudian ia menyerah, “Maksudnya?”
“Aku pernah baca, FEAR bisa punya dua arti: Forget Everything And Run atau Face Everything And Rise. Tinggal pinter-pinternya kita milih aja.”
Dua mata Raden melebar, kali ini penuh dengan binar kagum, “Wow.“