Teh Panas dan Seutas Napas
Malik baru saja akan mengetuk ketika ia menyadari pintu kamar Jerri tak sepenuhnya tertutup. Ia menghembuskan napas lega, tangannya sedang membawa nampan berisi dua gelas teh panas, cukup sulit untuk mengetuk pintu.
Didorongnya pintu kamar Jerri dengan lengan, “Jerri?” Kepalanya melongok, mendapati Jerri yang sedang menempel ponsel di telinga, duduk di ujung ranjang.
Jerri terjingkat, ia nyaris melempar ponsel di tangan, “Raib? K—kok nggak ngetuk pintu dulu?” Ditaruh ponselnya sembarang, dengan sedikit sempoyongan ia menerima nampan yang dibawa Malik, menaruhnya di meja belajar, “Kenapa bawa teh?”
“Iya deh, kenapa bawa teh?” Hugo ikut bertanya, ia mengekor dari belakang Malik bersama Raib.
“Biar tenang, kan tadi dia kedengeran panik.” Raib yang menjawab.
Melakukan wawancara pada orang yang panik cenderung akan membuat narasumber menahan informasinya karena rasa tertekan dan defensif yang meningkat. Untung saja Malik cepat tanggap.
Raib dan Hugo memilih duduk di depan pintu kamar yang baru saja ditutup Malik.
“Tadi kita ada kesepakatan berbincang, lo lupa?” Malik tersenyum. Ia duduk di kursi belajar setelah Jerri mempersilakan.
“Oh, iya, sorry.” Jerri kembali duduk di ujung ranjang, “Nggak perlu repot-repot bikin teh, sih.”
Malik tak menjawab, memilih mengamati kamar Jerri yang cukup kosong. Ada dua koper raksasa yang ditaruh di dekat almari dan dua koper kecil di dekat ranjang. Meja belajar hanya dihiasi dengan beberapa buku dan alat tulis dalam wadah kecil.
“Mau keluar kos?” Tanya Malik, membuka percakapan.
“Eh—i—uhuk.” Tiba-tiba Jerri tersedak, Malik segera mengulurkan teh yang baru dibuatnya, “Thanks.” Jerri sedikit menyisip tehnya, ia menurunkan tehnya sebelum kembali menjawab, “Iya, gue mau pindah.”
Malik mengusap lutut setelah memberi anggukan ringan pada Jerri, cukup sulit membangun percakapan dengan lelaki di depannya karena informasi yang ia miliki tentang Jerri cukup terbatas. Belum lagi topik yang dibicarakan sudah terlanjur menjurus, terlalu cepat jika Malik menanyakan alasan kepindahan Jerri.
“Mending langsung bilang tujuan lo apa.” Usul Raib setelah satu detik penuh keheningan.
“Nggak terlalu cepet?” Tanya Hugo.
Raib menggeleng, “Kayaknya Jerri beneran lagi panik, mungkin dia curiga gue tau sesuatu? Makanya, kita harus yakinin Jerri kalau gue dateng kesini tanpa kecurigaan apa-apa, biar dia percaya terus lebih nyaman pas ditanya-tanya.”
“Oh My God, sejak kapan lo jadi sabar dan understanding gini?” Hugo mencubit pelan pipi Raib yang langsung mendapat tangkisan.
“Jerri,” Malik akhirnya bersuara, ia setuju dengan pernyataan Raib, “Lo tahu kan gue jadi sukarelawan untuk pencarian Hugo?”
Jerri menegakkan duduknya, mengangguk, “Kenapa?”
“Gue bisa minta tolong?”
Dahi Jerri mengernyit, “Minta tolong?” Ulangnya, takut salah dengar, “Minta tolong apa?”
“Gue butuh informasi tentang Hugo. Kemarin gue udah dengar dari keluarga sama teman-temannya, terus gue ingat, lo kenal juga kan dengan Hugo?”
Genggaman Jerri pada gelas mengerat, ia sedikit menyisip tehnya sebelum menjawab, “Gue nggak sedeket itu sama Hugo.”
“Jerri,” Malik tersenyum, “Ada beberapa orang yang lebih nyaman berbicara dengan orang asing, orang yang mungkin hanya ditemui sesekali.”
“Maksudnya?” Satu alis Jerri terangkat.
“Iya deh, maksudnya apa?” Raib membeo.
“Begini,” Malik membenarkan posisi duduknya, “Lo memang nggak terlalu kenal dengan Hugo, tapi lo tahu informasi yang hanya satu-dua orang yang tahu.”
Jerri tak memberi jawaban, ia masih tak mengerti arah pembicaraan Malik.
“Misal,” Lanjut Malik, “Hanya Yahya yang tahu hubungan Daffa dan Hugo. Bahkan keluarganya tak tahu—tapi lo tahu.”
“Yahya?” Jerri tampak bingung untuk sesaat, “Oh—” Matanya sedikit membesar, “Oh iya, Yahya kan temennya Hugo ya...” Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal, “Iya sih, emang kadang Hugo cerita beberapa hal ke gue. Tapi gue nggak tau kalau itu rahasia.”
“Kayaknya lo dulu naksir Jerri deh.” Komentar Raib tiba-tiba yang langsung membuat Hugo melotot tak setuju.
“Nah, kan lo nggak sadar yang diceritakan Hugo ini rahasia atau bukan, jadi bisa tolong ceritakan lagi ke gue apa saja yang dibilang Hugo?” Malik memandang Jerri dengan tatapan teduh dan senyum hangat.
Raib mendekatkan bibirnya pada telinga Hugo, “Sumpah lama-lama cara bicara Malik annoying banget!” Bisiknya pelan agar tak terdengar oleh Malik.
Hugo mengangguk, “Kayak orang lagi belajar ngomong.” Ucapnya cukup keras.
Sebuah pukulan mendarat di lengan Hugo, “Jangan keras-keras entar orangnya denger!” Bisik Raib kasar yang hanya dibalas kekehan kecil oleh Hugo.
“Cerita Hugo ya,” Jemari Jerri mengusap pelan gelasnya, merasa hangat di genggaman, “Gue nggak terlalu inget sih, tapi awalnya dia cuma ngenalin diri sebagai kakaknya Jibran, abis itu baru gue tau namanya Hugo, jurusan Akuntansi dan seangkatan sama gue,”
Malik duduk di tempatnya, memberi sedikit anggukan, membiarkan Jerri melanjutkan kalimatnya.
“Kita seringnya ketemu di dapur—gue baru masuk kos, dia baru mau keluar, terus kita ngobrol-ngobrol biasa—dia nanya gue abis dari mana dan dia cerita abis ngapain, biasanya dia ke kos buat ketemu Jibran sih,” Jerri terdiam sejenak, “Pernah sekali dia bilang abis nemuin Mas Daffa, pas gue tanya, katanya mereka dulu pacaran dan ada urusan apa gitu.”
Jerri terdiam untuk beberapa saat.
Plak!
Hugo menepuk lengan Raib, “Mulutnya biasa aja, bisa nggak?”
Raib segera menutup mulutnya, “Apaan sih? Gue cuma lagi fokus dengerin.” Balasnya kesal.
Setelahnya tak terdengar suara apa pun di kamar.
“Jerri, minum dulu.” Ucap Malik.
“Oh—eh, oke.” Jerri menyisip tehnya yang mulai hangat lalu meminum beberapa teguk.
“Hugo bilang apa tentang urusan dengan Mas Daffa?”
“Hugo... bilang apa ya...” Jerri mengusap tengkuknya dengan satu tangan, “Kalau nggak salah sesuatu tentang barang dia yang masih ada di Mas Daffa?” Pandangannya terus beredar sebelum akhirnya kembali menatap Malik, “Oh! Dia juga pernah cerita tentang Mas Yudha yang salah paham sama dia.”
Malik balas menatap Jerri sebelum memberi beberapa anggukan, “Ah... gitu ya.” Tangannya mengambil teh di meja belajar, menenggak beberapa tegukan sebelum kembali menaruhnya di meja.
Raib sempat mengernyit, “Jerri kok ngos-ngosan gitu sih? Kayaknya capek banget, perasaan dia ngomong nggak panjang-panjang amat.”
Hugo yang awalnya tak tertarik menatap Jerri kini memandangi lelaki itu dengan seksama lalu memberi anggukan, setuju dengan ucapan Raib.
Napas Jerri agak tak teratur, terlihat lebih cepat dan agak keras.
“Berarti kalian hanya sebatas teman basa-basi?” Malik memastikan.
Jerri mengangguk cepat.
“Sejak kapan lo tahu kalau Hugo hilang?”
“Sejak...” Jemari Jerri mengetuk pelan gelas di tangan, “Sejak—eh kan gue tau dari elo, pas waktu itu—pas elo bawa brosurnya Hugo di dapur.”
“Ohhh, iya bener, dia tau karena gue bawa brosur Hugo ilang di dapur.” Raib menimpali.
“Bo'ong.” Hugo berujar, nadanya rendah dan dingin.
“Gue bo'ong?” Protes Raib, “Beneran kok, gue—”
“Apa hal terakhir yang lo bahas bersama Hugo?” Malik lebih dulu melempar pertanyaan.
Mendadak napas Jerri terdengar dua kali lebih keras dari sebelumnya.
Setelahnya, ruang kamar terasa dingin dan hening, napas Jerri tak lagi terdengar.
Lelaki itu cepat-cepat meminum teh di genggaman, tangannya terlihat sedikit... bergetar?
Berikutnya kembali hening. Jerri terdiam sembari menatap lantai kamar.
“Jerri?” Panggil Malik pelan.
Yang dipanggil mengangkat wajah, “Iya?”
“Hal terakhir—”
“Oh iya!” Jerri menghela napas panjang sebelum akhirnya lanjut menjawab, “Dia sempet cerita kalau dia keterima beasiswa dari Golda Group.” Ia kembali menundukkan kepala, terlihat jelas sedang berusaha mengatur napas.
Tanpa sadar Raib menggigit ujung kukunya. Setiap gerakan Jerri membuatnya bingung. Engahan napas dan heningnya kamar menambah ketegangan yang tiba-tiba tercipta di antara Jerri dan Malik.
“Stop.” Tangan Hugo meraih kedua tangan Raib, menjauhkannya dari mulut, “Jangan digigitin.”
“Beasiswa Golda ini... beasiswa bergengsi ya?” Malik menyilangkan kakinya.
Jerri mengangkat wajah, memberi anggukan singkat.
“Sebergengsi apa?”
“Bergengsi...” Jerri membenarkan posisi duduknya, ikut menyilangkan kaki, “Banget...”
Malik menaikkan satu alisnya, “Bergengsi banget di mata siapa?”
Jerri berdeham, “Di mata semua orang—mahasiswa, dosen, beberapa perusahaan—intinya semua orang.”
“Di mata lo?”
Jerri terdiam beberapa saat, tak berkutik sama sekali. Terlihat jelas napasnya tertahan—membuat Raib ikut membeku di tempat.
Raib bergantian memandangi Jerri yang mematung dan Malik yang hanya memberi tatapan hangat.
“Malik!” Seru Raib setelah ruangan dipenuhi senyap yang panjang, “Coba panggil Jerri, dia kesurupan apa kenapa sih?”
“Jerri?” Panggil Malik akhirnya, lebih pelan dari sebelumnya.
“Oh?” Jerri mengerjap beberapa kali, “Penting—eh maksudnya bergengsi juga buat gue.”
“Lo daftar?”
Hening.
“Kita keluar aja, yuk?” Raib berdiri.
Hugo menggeleng, “Nggak usah, ngapain?” Ia meraih tangan Raib, menariknya untuk duduk kembali.
“Gue takut anjir, kayaknya bentar lagi Jerri pingsan, liat mukanya pucet banget.” Mau tak mau Raib kembali terduduk.
“Nggak akan.” Jawab Hugo dingin.
“Jerri?” Panggil Malik setelah belasan detik Jerri terdiam.
“Ya?” Manik mata Jerri bertemu dengan Malik, seolah ia tak mendengar pertanyaan yang diajukan sebelumnya.
“Lo juga mendaftar beasiswa Golda?” Tanya Malik sekali lagi.
Samar-samar terlihat anggukan dari Jerri.
“Ah, gitu...” Malik mengangguk perlahan, “Lulus?”
Jerri menggeleng cepat.
“Nggak lulus?”
Jerri kembali menggeleng.
Dua alis Malik saling bertaut, “Lalu?”
“Eh...” Jerri menggumam pelan, satu tangannya naik untuk menggaruk pipi, “Nggak keterima...”
“Ah... gitu ya,” Malik mengedarkan pandang, menatap jendela kamar yang sedikit terbuka dan koper di samping almari, sebelum akhirnya kembali menatap Jerri, “Masuk daftar tunggu?”
Ruangan kembali hening.
Tak ada suara hingga terdengar hembusan angin mengetuk jendela kamar.
Wajah Jerri memucat dan tangannya bergetar. Terlihat satu peluh menetes di ujung pelipis yang langsung dihapus punggung tangan.
Malik mengubah posisi duduk, “Jerri,” Ia mencondongkan badan, sikunya bertumpu pada kedua lutut, “Masuk daftar tunggu?” Tanyanya sekali lagi.
Dan saat itu lah, Raib menyadari sesuatu.
“Jerri... bo'ong?” Ia menoleh cepat pada Hugo.
Hugo mengangguk.
Raib mengusap wajahnya dengan dua tangan.
Bego... Ia merutuk diri sendiri.
Hugo ilang 3 hari setelah pengumuman beasiswa, 3 hari kemudian ditetapin ilang sama polisi. Pihak Golda pasti ngabarin Jerri tentang ini, karena Jerri penggantinya Hugo.
Raib mengepalkan tangan.
Jadi dia cuma pura-pura kaget pas liat brosur yang gue bawa ke dapur?
Kepalannya makin erat, tangannya bergetar hebat.
“Raib...” Hugo segera menggenggam punggung tangan Raib, mengusapnya pelan, “Tenang.” Ucapnya sembari membuka perlahan kepalan tangan Raib.
“Gue bego...” Raib balas menggenggam tangan Hugo erat. Tak lama pandangannya menajam, melirik Jerri, “Bisa-bisanya—”
Tak sempat Raib menyelesaikan kalimatnya, suara langkah yang cukup keras dari luar ruangan terdengar, berdebam menggetarkan jantung siapa pun yang mendengarnya.
Langkahnya semakin mendekat dan...
BRAK!
Pintu kamar Jerri terbuka.
Bersamaan dengan itu, Hugo mendorong tubuhnya dan tubuh Raib ke depan, menjauh dari siapa pun yang membuka pintu dengan kasar.
Seluruh mata di ruangan tertuju pada sumber suara.
Seorang lelaki, terengah-engah dan penuh peluh memegang gagang pintu dengan erat. Menatap nyalang pada Malik dan Jerri bergantian.
“Nathan...?” Cicit Jerri pelan.
Berikutnya, semua hal terjadi dengan cepat.
Raib tak sempat mengedipkan mata ketika sosok lelaki bernama Nathan itu menghampiri Jerri, memeluknya erat.
Raib tak sempat terjingkat saat gelas teh di tangan Jerri jatuh—tak pecah, namun suaranya memekakkan telinga.
Cairan teh yang masih tersisa, bercecer di lantai. Mengenai kaki Jerri dan Nathan, membasahi ujung karpet.
Mendadak seluruh kamar membeku.
Tak ada suara, tak ada gerakan.
Kecuali suara Nathan yang terdengar lembut.
Ia melepas pelukannya pada Jerri, berlutut di depannya, mengucapkan kalimat panjang yang lebih mirip bisikan lembut—terlalu lembut hingga hanya daun telinga Jerri yang mampu menangkapnya.
Semua orang di ruang terdiam. Bahkan Malik tak berkutik dari tempatnya. Seseorang di hadapannya sekarang tentunya bukan orang yang dikenal Raib—tak diceritakan, variabel baru, faktor tak terduga—atau apa pun namanya.
Semua rencana sudah disusun di kepalanya. Percakapannya dengan Jerri berjalan sesuai apa yang ia harapkan. Kehadiran Nathan bukan sesuatu yang ia perhitungkan. Di saat seperti ini, Malik harus berpikir cepat.
“Dia pacarnya Jerri.” Ucap Hugo.
Raib menoleh cepat, melotot, “Lo kenal?”
Hugo menggeleng. Kalau soal berpikir dan menarik kesimpulan, tak perlu diadu, Hugo paling cepat.
“Jangan sampe berantem.” Hugo melirik Malik yang langsung dibalas anggukan pelan oleh lelaki itu.
“Sayang, biar aku yang ngomong.” Nathan mengusap pipi Jerri perlahan.
“Anjrit beneran pacarnya!” Seru Raib kesal, tangannya memukul lengan Hugo, “Yang bener aja gue ngewe sama pacar orang!” Ia membalikkan badan, enggan melihat kemesraan Jerri dan Nathan.
“Lo ngewe sama gue.” Koreksi Hugo cepat.
“Tapi badannya—”
“Raib.” Nathan menoleh pada Malik.
“Dia kenal gue?” Raib melotot, menutup mulutnya yang ternganga.
“Kita kenal?” Tanya Malik.
“Oh,” Nathan berdiri, menghampiri Malik, “Nathan, pacarnya Jerri.” Tangannya terulur.
Malik menyambut tangan Nathan, “Mal—Ehem, Raib.”
Nathan menarik tangannya kembali, “Sorry, bukannya lancang—tapi telfonku sama Jerri masih nyambung dari tadi.” Tangannya merogoh saku celana, menunjukkan layar ponselnya pada Malik.
“Anjir, iya.” Raib ikut mengintip, mendapati telfon Nathan dan Jerri masih tersambung—hingga sekarang.
“Berarti dia nguping ya dari tadi?” Hugo ikut mengintip.
“Raib.” Nathan menarik kembali ponselnya, menyimpannya di saku celana.
Malik sedikit mendongak, menatap mata Nathan yang berdiri tak jauh darinya.
Hembusan angin kembali mengetuk jendela. Suaranya mengisi keheningan di antara Malik dan Nathan
“Apa pun yang kamu cari,”
Ia menatap Malik lurus-lurus,
“Nggak ada di Jerri.”