The Thought of Losing You (Scares Me)
Tak ada cara mencintai yang sederhana, kecuali baris pertama puisi Sapardi, baris selanjutnya tak sederhana. Kenyataan memang tak sederhana – raedubasha
Regan memandang pelayan yang datang membawa dua gelas kopi panas.
Satu milik Regan, satu milik Musa.
“Kamu naik apa tadi? padahal aku bisa lho jemput kamu.” Musa mengambil gelas kopinya. Senyumnya mengembang sejak ia duduk di kursinya dua menit lalu.
“Ojol.” Regan menjawab singkat.
Ia merindukan Musa.
Ia rindu menatap mata Musa lama-lama. Ia rindu berecengkerama ringan dengan Musa. Ia rindu mendengar Musa mengkritik kopi di cafe-cafe yang mereka datangi. Ia rindu melihat tulang pipi Musa membulat setiap kali tersenyum.
Ia sangat merindukan lelaki di depannya.
“Regan, i miss you too.”
Regan nyaris tersedak ludahnya sendiri, “Apa sih, Kak?”
Musa terkekeh, “Kamu liatin aku terus dari tadi, pasti nggak denger kan aku ngomong apa?”
Yang lebih kecil hanya diam. Ia memang tak mendengar apapun perkataan Musa baru saja.
“Aku tadi bilang, aku seneng banget ketemu kamu lagi. You have no idea how much i miss you.” Senyum Musa kembali terkembang, lebih cerah dari sebelumnya.
Regan terdiam, Musa juga tak tau kan seberapa dalam rindu yang ia tahan selama beberapa hari belakangan?
Musa mulai bercerita tentang ratusan pesan yang ia kirim pada Regan beberapa hari terakhir.
“Aku sedih banget kamu nggak bales chat-ku. Aku nggak tau kalau break ini artinya kita nggak komunikasi sama sekali, kalau aja aku tau, aku nggak akan mau break sama kamu.”
Regan masih terdiam.
Sebuah pertanyaan melintas dalam kepalanya.
Mana yang lebih sulit? ditinggalkan atau meninggalkan?
Dalam kasus yang lebih sederhana, posisi mana yang lebih pelik? Musa yang gusar karena pesannya tak dibalas, atau Regan yang menahan diri untuk tak membalas?
Berhari-hari Musa mengirim pesan dan mengutarakan apa saja dirasa. Sedih, senang, tenang, susah, gusar, rindu, resah, amarah. Regan menerima berbagai jenis pesan dari Musa.
Tapi Regan? ia bahkan tak mampu sekadar mengucap salam.
Menahan diri adalah senjata paling ampuh untuk menyakiti diri sendiri.
“Kak.”
Regan memotong cerita Musa.
“Iya?” Musa menaikkan dua alisnya, antusias mendengar suara Regan.
“Kamu tau kan beberapa hari ini aku mikirin banyak hal.” Regan membenarkan posisi duduknya, kakinya mendadak terasa tak nyaman.
Musa mengangguk, “Aku juga mikir banyak hal.”
“Kak, aku—”
“I'll go first.”
Regan menghela nafas, “Go on.“
Musa menatap kedua mata Regan dalam, “Aku pengen banget balikan sama kamu.” Ia menekan kalimatnya.
Musa menarik nafas dalam lalu menghembusnya pelan. Ada banyak yang ingin ia bicarakan pada Regan.
Kekasih kecilnya tak akan tau seberapa besar usahanya menahan diri untuk tak mendobrak masuk ke dalam kamarnya saat rindunya kian membuncah.
Musa merasa ada yang hilang setiap harinya.
Ia tak terbiasa dengan ketiadaan Regan.
Ia tak terbiasa dengan hari yang terlewati tanpa ucapan selamat malam dari Regan.
Ia tak terbiasa menaiki motor tanpa ada tangan Regan yang melingkar di pinggangnya.
Musa merindukan keberadaan Regan.
Mungkin kalimat You don't know what you've got until it's gone, ada benarnya.
Absensi Regan membuat Musa sadar betapa berharga presensinya.
Hal-hal yang dulu terlihat kecil di matanya. Sekarang terlihat begitu berharga.
Tatapan Regan, misal. Dulu ia terbiasa ditatap kagum oleh Regan, dengan mata yang berbinar dan sorot yang lembut.
Namun kini, Musa tau, sorot mata yang ia dapat adalah sebuah kemewahan.
Ia masih ingat jelas bagaimana sorot kecewa yang mengantarnya keluar kamar. Ia tak ingin mendapatkannya lagi.
Ia ingin terus ditatap oleh sorot lembut Regan.
Sebuah sumpah ia rapal dalam hati, ia tak akan—sekalipun—menghadirkan tatapan kecewa dari Regan.
“Aku banyak salah sama kamu, Regan. Aku minta maaf.”
Matanya menatap Regan lurus-lurus. Ia mencondongkan badannya, meraih tangan Regan di ujung meja lalu mengusapnya perlahan.
“Maaf banget. Aku nggak tau mau ngomong apa lagi,” Musa menghela nafasnya, “Aku salah banget sama kamu. Aku minta maaf, aku—” Ia hembuskan nafasnya sekali lagi,
“The thought of losing you, it scares me.“
Musa mengeratkan tangannya pada Regan, “Please, stay.“
Regan menahan nafasnya.
Matanya terfokus pada tangannya di atas meja yang diselimuti telapak tangan Musa. Merasakan kehangatan dari tangan yang dulu selalu ia genggam.
“Kak,” Regan membalas tatapan Musa, “Boleh peluk?”
Musa mengangkat satu alisnya, “Sekarang?”
Regan mengangguk.
“Disini?”
Regan kembali mengangguk.
Musa terdiam, memandang sekitar. Keadaan cafe cukup ramai.
Tapi katanya, saat kamu menyayangi seseorang, tatapan aneh beribu orang tak pernah sebanding dengan tatapan orang yang kamu sayangi.
Dan begitulah, Musa berdiri, menggeser tubuhnya lalu membuka kedua tangannya. Membiarkan Regan menjatuhkan diri pada dekapnya.
Musa tersenyum merasakan tubuh kecil Regan diantara lengannya.
Tangannya menyelimuti Regan, tapi kenapa tubuhnya yang terasa hangat?
“Regan, aku sayang banget sama kamu. Kita mulai semuanya dari awal, ya?”
Bisikan Musa memasuki daun telingan Regan perlahan lalu berputar di pikirannya tanpa permisi.
Regan memejamkan matanya, merasakan detak jantung Musa yang terdengar samar. Membiarkan tubuhnya merasakan ketenangan dan melepas beban rindunya yang sudah lama bersemayam di ujung hatinya.
“Kak,” Ucap Regan masih dalam dekapan Musa,
“Kita udahan aja ya?”
Musa membeku.
Ia melepas peluknya, “Kamu tadi bilang apa?”
Regan memundurkan langkahnya. Ia tak sanggup menatap mata Musa yang memancarkan panik dan kecewa.
Mengucapkan satu kalimat pendek tadi saja sudah membuat Regan hampir kehabisan nafas. Ia mungkin akan menarik kembali kalimatnya jika melihat tatap Musa.
“Ayo putus, Kak.”
Musa mengusap wajahnya resah, “Kenapa? Kamu baru aja minta peluk—”
“Regan, aku nggak paham,” Tangannya mencengkeram kedua lengan Regan, “Bukannya kita baik-baik aja?”
Musa mencari canda di mata Regan, namun nihil. Mata Regan hanya memberi sorot sesal dan pasrah.
“Kak, nggak bisa.” Regan menepis tangan Musa.
“Kenapa? semuanya bisa dibicarain baik-baik...”
Regan setuju.
Regan lebih dari setuju dengan kalimat Musa.
Semuanya bisa dibicarakan baik-baik.
Kepalanya terus mengulang skenario yang ia buat bersama Naim.
“Im, gue harus ngasih alesan putus apa ke Kak Musa?“
“Semua kesalahan yang lo temuin di hubungan lo, sebutin aja.“
“Tapi semuanya bisa diperbaikin?“
“Anggep semuanya nggak bisa diperbaikin, anggep nggak ada lagi solusi buat hubungan lo selain udahan.“
Regan menggigit bibir bawahnya, ragu akan mengucap setiap kalimatnya,
“Kak, kamu tau aku nggak bisa liat Mama dipukulin Papa, tapi—” Regan hampir kehabisan nafasnya, “Tapi kamu malah—”
“Regan, maaf,” Musa memotong cepat, tangannya mencekal pergelangan tangan Regan, “Maaf, aku janji nggak akan ngulangin itu lagi.”
Regan berusaha melepaskan cekalan Musa yang terlalu kuat pada gelang tangannya, “Kak... lepasin...”
Musa mendekatkan tubuhnya pada Regan, “Regan, kita bisa omongin semuanya baik-baik...” ucapnya dengan nada rendah.
“Kak...sakit...” Regan merasakan telapak tangannya mulai kebas dan pucat karena cekalan tangan Musa.
“Regan, please...” Musa mempererat cekalan tangannya pada Regan, enggan melepasnya.
“Kak—”
Sebuah tangan dengan sigap melepas cekalan tangan Musa dari Regan. Membuat telapak tangan Regan terasa hangat karena aliran darahnya mulai kembali normal.
“Kalau Regan bilang lepasin, ya lepasin dong.”
Naim mencekal pergelangan tangan Musa sebelum mendorongnya menjauh.
“Naim?” Bisik Musa perlahan, “Lo ngapain disini?!” Ia menatap Naim dan Regan bergantian, “Kalian—”
“Nggak.” Potong Naim cepat, “Kalau Regan mau sama gue udah dari lama kita pacaran.”
“Naim.” Protes Regan dari belakang punggung Naim.
“Sorry, bercanda.” Jawab Naim cepat.
Musa memicingkan matanya, “Lo ngapain disini? gue lagi ngobrol sama pacar gue.”
“Udah bukan lagi. Jangan ngaku-ngaku.”
Naim maju mendekati Musa, “Gue kesini buat mastiin Regan pulang dengan selamat. Udah ya, dia udah dicariin nyokapnya.”
Naim berbalik, tangannya menggiring tubuh Regan untuk berjalan ke pintu keluar.
“Regan!”
“Regan!”
Musa terus memanggil Regan dan mengejarnya.
“Regan!!” Musa kembali berteriak, kali ini bukan hanya Regan dan Naim yang menoleh, seluruh pengunjung cafe ikut menoleh.
Musa berjalan cepat menuju Regan dan Naim yang sudah hampir mencapai pintu keluar.
Mata Musa penuh dengan kilatan emosi. Amarah, kecewa, putus asa, semua terpancar jelas.
Jantung Regan berdegup kencang, ia ingin berlari dan memberi ketenangan pada lelaki yang ia kasihi.
Namun Regan tetap diam di posisinya.
Dan sekali lagi, ia berhasil membuktikan, sebenci apapun ia pada kondisi Mama, sebanyak itu pula kasihnya.
Bahwa dalam keadaan apapun, sesakit apapun, Regan pada akhirnya akan memilih Mama.
Sama seperti bagaimana Regan menahan sakitnya saat melihat Papa, Regan akhirnya ikut menyakiti lelaki yang ia kasihi.
Melepaskan Musa akan menjadi pengorbanan terakhirnya untuk Mama. Setelah ini, ia tak ingin lagi mengorbankan apapun untuk kebahagiaan Mama.
Regan membenci dirinya sendiri dan keputusannya untuk meninggalkan Musa.
Regan membenci Mama.
Namun sebuah gambaran tawa lepas Mama dan seluruh tubuhnya yang bersih tanpa luka menguatkan hati Regan.
Ia tetap diam di tempatnya. Memegang teguh janjinya pada Mama, memegang teguh rasanya untuk Mama, memegang teguh pada harapan Mama juga akan menepati janjinya.
Sedang mata Naim awas, ia memasang badan di depan Regan. Tangannya terkepal, siap meloloskan tinju kapan pun.
Namun Musa tak datang untuk memukul Naim atau menggunakan kekuatannya.
Lelaki itu benar-benar putus asa.
Kedua lututnya menyentuh lantai cafe yang dingin. Ia abai pada seluruh mata yang tertuju padanya.
Matanya menatap lurus-lurus pada Regan yang berada di belakang punggung Naim,
“Regan... jangan gini...please...”