Tidur

Disini, tenang.

Regan sampai di depan kos Naim. Rumah dua tingkat bergaya American classic dengan nuansa putih.

Pukul empat lebih empat puluh lima menit.

Perkiraan Regan untuk berjalan lima belas menit meleset lebih dari sepuluh menit. Mungkin karena langkahnya terlalu pelan, mungkin karena ia menangis sejenak di tengah jalan.

DING DONG!

Regan menekan bel.

Tiga tarikan napas kemudian, seorang wanita paruh baya dengan daster batik coklat membuka pintu, rambutnya hanya diikat sembarang,

“Cari siapa?”

Regan berusaha tersenyum, “Naim, ada Bu?”

Wanita paruh baya itu mengamati Regan dari ujung atas hingga bawah, “Masuk dulu, yuk?”

Ia tersenyum, membuka pintu lebar-lebar.

“Ibu yang jagain kos di sini. Biasalah anak laki-laki kalau disuruh bersih-bersih rumah agak nggak becus, anak-anak biasa panggil saya Bu Celin.”

Bu Celin terus bercerita selama perjalanan singkat mereka melewati koridor pendek menuju ruang tamu,

“Duduk sini ya, saya pang—kaki kamu lagi sakit?” Bu Celin segera menghampiri Regan, memapah dan membantunya untuk duduk di sofa ruang tamu.

Regan menelan ludahnya. Entah karena ia lelah atau nasibnya sedang payah, bantuan kecil dari Bu Celin membuat rasa haru bermunculan di rongga dadanya, ia nyaris meneteskan air mata.

“Makasih, Bu Celin.”

Bu Celin tersenyum, “Nama kamu siapa?”

“Regan, Bu.”

“Tunggu sebentar ya, Regan.”

Bu Celin berjalan menuju kamar di ujung koridor, kamar nomor 7.

Setelah dua kali ketukan, Naim membuka kamarnya,

“Apa Bu? kaos kaki saya nyelip di mesin cuci lagi ya?” Naim muncul dengan kaos oblong putih dan celana training hitam, rambutnya berantakan dan matanya menyipit, khas seseorang yang dibangunkan paksa.

“Enggak, kamu dicariin temenmu.” Bu Celin menunjuk arah ruang tamu.

“Hah? temen saya? siapa Bu?” Naim semakin menyipitkan matanya namun pandangannya tak cukup sehat untuk melihat sosok di ruang tamu.

“Namanya Regan.”

Dan seluruh saraf di tubuh Naim langsung memberi respon tercepat. Belum ada dua detik setelah nama Regan diucapkan, Naim telah sampai di ruang tamu.

“Regan?”

Entah mengapa jantung Naim bekerja keras sepagi ini.

Rasanya masih terlalu dini untuk kepala Naim memikirkan mengapa Regan yang pamit menginap di rumah pacarnya semalam justru ada di depannya sepagi ini.

“Naim...”

Regan tak paham mengapa seluruh pertahanannya roboh saat melihat Naim. Sakit, nyeri, perih, kebas, panas, gundah, sesak. Semua rasa kini berjejalan meminta perhatiannya.

Tatap resah dan bahu lebar Naim membuat Regan ingin menangis dan mengadu.

Lampu ruang tamu tak menyala seluruhnya dan cahaya matahari masih bersembunyi di peraduan namun mata Naim masih dapat menangkap tetesan air mata yang menurun perlahan dari ujung mata Regan.

Naim segera berlutut di depan Regan. Matanya melekat pada seluruh tubuh Regan.

“Lo kenapa?”

“Gue—”

Regan tercekat. Ia menggigit bibir bawahnya lalu menunduk dalam. Tak tau kata mana yang tepat untuk merangkum seluruh kisahnya malam ini.

“Gue capek, Im...”

Sepertinya ada yang lebih penting dari mengetahui alasan Regan disini, dengan keadaan seperti ini, di waktu ini.

“Sekarang masuk dulu ke kamar gue, kita obatin dulu.” Naim memapah Regan menuju kamarnya.

“Bu, makasih ya, biar saya urusin temen saya dulu.” Naim mengangguk pada Bu Celin saat melewatinya.

“Nanti kalau butuh apa-apa, Ibu ada di halaman depan ya?” Bu Celin mengusap lengan Naim perlahan sebelum berlalu.


“Sakit nggak?”

Naim sedang berlutut di depan Regan, membasuh kaki lelaki mungil itu dengan air hangat di baskom. Regan bersikeras ingin membersihkan diri di kamar mandi namun Naim melarangnya.

“Jalan aja pincang! lo boleh ke kamar mandi deh asal ada gue di samping lo. Pilih mana?”

Akhirnya Regan mengalah. Ia duduk di tepi ranjang dan menunggu Naim menyiapkan air untuknya. Naim segera mengambil baskom di dapur, diisinya dengan air hangat dari kamar mandi.

“Makasih ya, Im.”

Naim hanya mengangguk.

Ia mengamati telapak kaki Regan. Sependek ingatnya, lelaki ini datang dengan slipper dan entah mengapa kakinya penuh dengan noda tanah kering dan pasir. Seolah ia berjalan tanpa alas kaki.

“Udah, bentar.” Naim mengambil handuk dari lemarinya, mengusapnya perlahan pada kaki Regan.

Naim kembali berdiri, membuang air di baskom dan menggantinya dengan yang baru. Ia kembali mengambil handuk kecil dari almarinya.

“Sini tangannya.” Naim meminta tangan Regan.

“Biar sendiri aja—”

“Sini, nggak apa-apa.” Naim kembali meminta tangan Regan.

Regan memberi tangannya, “Makasih ya.”

Naim membersihkan telapak tangan Regan hati-hati.

Tangannya sempat berhenti sejenak saat melihat garis tak beraturan di pergelangan tangan Regan.

Luka? diiket tali? tapi nggak terlalu dalem buat bekas ikatan tali.

Naim memeras handul kecilnya, mencelupkannya di baskom air lalu membersihkan tangan lain Regan.

Ada bekas merah sama dengan garis yang berbeda, hampir mirip dengan tangan satunya.

“Mau ganti baju?” Tanya Naim setelah selesai membersihkan tangan-kaki dan mengoleskan obat merah di bibir Regan.

Regan menggeleng.

“Mau sarapan?”

Regan menggeleng.

“Tidur aja ya?”

Regan terdiam, “Udah jam segini, nggak bisa tidur.”

“Yaudah tiduran aja.”

Regan menurut, ia menidurkan tubuhnya. Naim menyelimuti tubuh Regan dengan selimut tebalnya. Ia menarik kursi dari meja belajar kemudian duduk di samping ranjang.

Regan memiringkan tubuhnya menghadap Naim.

“Duhh...” Regan meringis saat merasakan nyeri karena menggerakkan tubuhnya.

Naim menahan diri untuk tidak bertanya mengapa.

“Naim.” Panggil Regan pelan.

“Hmm?”

“Makasih ya.”

Naim terkekeh, “Makasih mulu.”

“Makasih udah nggak nanya apa-apa.”

Naim terdiam.

“Regan, sini.” Naim meminta tangan Regan.

“Kenapa?”

“Sini dulu.”

Regan menerima uluran tangan Naim.

Naim mengusap tangan Regan pelan,

“Disini cuma ada lo sama gue. Nggak akan ada yang nuntut lo apa-apa, nggak akan ada yang nyakitin lo, nggak ada yang berani gangguin lo. Gue jamin. Gue bakal selalu disini, nungguin lo, jagain lo,”

Regan terdiam.

“Jadi, tenang aja. Everything will be alright. Everything is fine. Untuk saat ini, lo bisa istirahat. All is well.”

Regan tersenyum.

Satu percakapan kemudian, matanya terpejam.

Sleeping Regan


Sudah sepuluh menit Regan tertidur dengan mengenggam tangan Naim.

Dan sudah sepuluh menit Naim menerka-nerka.

Merah di pipi, luka di bibir, pasir di kaki, garis merah di tangan, nyeri di badan, sembab di mata.

Naim ingin tau.

Dua puluh menit berlalu.

Tiga puluh menit berlalu.

Hingga satu jam berlalu.

Naim sudah cukup baik menahan rasa ingin taunya namun luka lain menganggunya.

Garis merah di leher.

Sampai sini sudah Naim menahan rasa ingin taunya.

Ia melepas perlahan genggamnya pada tangan Regan lalu beralih pada ponselnya.

Mati.

Jelas Regan sedang menghindari seseorang.

Naim menunggu nyala ponsel Regan sambil merapalkan sumpah serapah.

Katanya nginep di rumah Musa, kenapa sekarang malah kayak gini. Dasar nggak bisa jagain, dasar bangsat. Gue ancurin mukanya kalau ternyata ini semua ulah dia.

Ponsel menyala.

Ada puluhan pesan dan panggilan tak terjawab.

Belum ada satu menit menyala, ponsel berdering.

Mama.