Tiga Purnama
TW // Mentioning of domestic violence.
Kau sanggup dan aku kuat. Kau pergi, dan aku akan berlari. Hingga kita tak temukan lagi sisa-sisa pedih karena saling menyakiti – perkataKA
Katanya,
Breakups don't break you. They rob you of the ability to love someone else in the same way, ever, again.
Dan aku mengamini.
Aku menyalahkan semua orang demi tiap rindu yang menetes untuk Kak Musa.
Aku menyalahkan Mama, atas penawaran kejinya.
Aku menyalahkan Kak Musa, atas perbuatannya.
Aku menyalahkan teman-teman, atas kutukannya.
Aku menyalahkan semua orang kecuali diriku sendiri.
Tapi setelah puluhan malam panjang.
Kuputuskan, berakhirnya hubungan ini bukan salah siapapun.
Dunia telah memberi kami sedikit waktu untuk bersama.
Aku memutuskan untuk memeluk erat setiap kenang—tawa maupun duka—sebagai wujud rasaku yang utuh. Hingga nanti, tak tersisa lagi sesal karena aku menyayangi dengan seluruh.
Siang tadi aku melihat Kak Musa di acara sekolah kami.
Untuk pertama kalinya dalam tiga purnama, aku kembali bertatap dengan Kak Musa.
Aku menyelami matanya dalam waktu singkat. Sorot matanya tak menyalamiku dengan hangat. Ada banyak hal yang telah ia lewati dan beberapa hal yang kulewatkan.
Aku ingin bertanya banyak hal.
Namun ia memalingkan wajahnya dariku, bagai putri malu yang menguncup saat tertiup angin.
Dan aku akhirnya melangkahkan kaki. Menjauhkan diri melawan gravitasi.
Kepalaku terus memutar apa saja yang kutangkap dari Kak Musa hari ini.
Kaos putih dengan outer kemeja kotak-kotak merah yang ia beli di salah satu pusat perbelanjaan karena sedang diskon tujuh puluh lima persen. Aku mengingatnya karena ia menceritakannya lebih dari dua kali.
Tanpa sadar ujung bibirku tertarik.
Mengenang Kak Musa selalu semenyenangkan ini.
Sebuah detail lain terputar di kepalaku.
Luka di tulang selangka yang mengintip dari ujung kaos. Sedikit memar di garis rahang. Dan beberapa plaster di punggung tangan.
Lututku terasa lemas.
“Regan!”
Aku tersadar.
Naim berhenti tepat di depanku, nafasnya terengah, “Jangan main kabur gitu lah!”
“Hehe, maaf tadi ada Kak Musa.”
Naim mengatur nafasnya sebelum membalas ucapanku,
“Lo ngapain disini? mau beli martabak?”
Aku mengangguk.
“Udah pesen?”
Aku menggeleng.
“Yeee dari tadi ngapain aja? mau pesen rasa apa?”
“Coklat.”
“Terus?”
“Udah.”
Naim berlalu, menyebutkan pesananku pada penjual martabak mini di depan kami.
Sementara aku terdiam. Ada yang mengganjal di relung dadaku, membuat posisi dudukku menjadi sedikit tak nyaman.
Aku memandangi Naim yang sedang membelakangiku, kadang pandangku terhalang oleh satu-dua orang lewat.
“Naim.”
Ia sedikit menoleh, “Hm?” Matanya menempel pada penjual martabak mini. Memperhatikan bagaimana ia mengaduk adonan dan memanggangnya di teflon kecil.
“Kak Musa masih dijahatin Bunda.”
Naim seutuhnya menoleh.
“Regan...”
Ia melangkahkan kakinya. Berlutut di depanku.
Beberapa orang terpaksa menyingkir karena Naim menghalangi jalan. Beberapa lain melirik sinis namun ia tak peduli.
“Dia udah bukan siapa-siapa lo lagi...” Tangannya meraih tanganku.
Aku balas menatap Naim. Kak Musa pernah dan masih segalanya bagiku.
“Im, Mama sama Kak Musa posisinya sama. Mama sekarang udah bisa ketawa tanpa takut dan gue nggak perlu khawatir tiap Mama pergi. Tapi Kak Musa gimana? masih gini-gini aja.”
Naim menunduk, menarik nafas panjang lalu menghembuskannya, ia kembali menatapku.
“Regan, fokus aja sama hidup lo sendiri.”
Semilir angin berhembus melewati kursi kosong di samping dan berputar diantara tatap dinginku dan tatap resah Naim.
Kini aku menatap Naim sangsi. Mana bisa aku fokus pada hidupku sendiri saat Kak Musa adalah bagian dari hidupku?
Naim tak akan pernah tau bagaimana aku mengingat Kak Musa lebih dari aku mengingat diriku sendiri.
Aku merindukan Kak Musa saat melihat senyum Mama di pengadilan.
Aku merindukan Kak Musa saat tangis Mama terdengar semalaman.
Aku merindukan Kak Musa saat ia memalingkan wajahnya dariku.
Aku merindukan Kak Musa saat mata kami saling beradu.
“Regan.”
Aku melirik Naim, ia masih di posisi yang sama. Menatapku dengan iba.
“Jangan pikirin Musa lagi.”
“Kenapa emang?”
Ada sesuatu dalam rongga dadaku yang tergores saat mendengar ucapan Naim. Aku tersinggung.
Naim kembali menghela nafas, “Lo keliatan lebih menderita daripada pas masih pacaran sama dia. Gue jadi ngerasa bersalah.”
Aku memandang tanganku yang masih digenggam Naim, menariknya perlahan.
Aku memang lebih menderita.
Menyayangi seseorang tanpa mampu menunjukkannya adalah sebuah penyiksaan batin yang sempurna.
Sudah kubilang, menahan diri adalah senjata ampuh menyakiti diri sendiri.
Untuk sekali ini saja, bolehkah aku membebaskan diri?
“Im, gue pengen balikan sama Kak Musa.”
Naim menatapku tak percaya, “Regan...”
Tentu, aku tak bisa sembarangan membebaskan diri.
“Iya, iya, nggak kok.” Aku memaksakan tawa ringan.
Perih yang paling kubenci adalah perihal angan yang bersanding dengan awan.
Ia menyelundup dengan mendung dan menyingkirkanku di sahara.
Aku tak bisa lagi menggapainya dan ia tak mau turun menyentuhku.
Harapku hanya akan bersemayam di gumpal mendung dan selamanya terbendung.
Namun katanya, menyimpan rasa membuatmu keras kepala.
Aku tak berhenti mengucap ingin demi Kak Musa.
Sekarang, misal, aku ingin memasang senyum Mama di wajah Kak Musa.
Senyum Mama yang berhasil melepas Papa dan menemukan kebahagiaannya sendiri.
Aku ingin Kak Musa merasakan pahitnya melepaskan untuk mengecap manisnya menemukan diri sendiri.
Aku ingin Kak Musa merayakan kehilangan, seperti Mama yang menangis semalaman setelah sidang lalu tertawa hingga sekarang.
Aku ingin Kak Musa berpesta dengan tangis bahagia dan tawa yang tak reda.
Aku ingin tetap bersulang dengan Kak Musa walau dalam pestanya aku bukan tamu undangan.
Aku ingin bersorak walau suaraku tenggelam dalam tawanya.
Aku ingin menjadi orang pertama yang menerima senyum Kak Musa saat pesta kehilangannya telah selesai.
Walau di satu sisi, aku tau,
Aku tak bisa menjadi tamu undangan.
Aku tak bisa menjadi lampu pesta atau lampu jalan.
Aku adalah gurun sahara dan inginku adalah hujan.
Namun aku adalah seorang yang menyimpan rasa, aku keras kepala.
Dan ini, adalah jalan terakhirku,
menuju pestanya,
“Im, kita tolongin Kak Musa ya? sekali ini aja... ya?”