Unfold

POV: FUJI cw / tw / mention of blood

Aku tidak pernah menakar kebodohan Bang Erde. Satu, karena aku tidak berminat. Dua, karena aku tidak pernah memiliki waktu dan kesempatan.

Tapi malam ini, aku tidak sengaja menimbang kebodohan sekaligus kepolosannya. Ah, mau dilihat dari segi manapun, aku yakin beratus-ratus persen Haya benar-benar menaruh perasaan dengan Bang Erde. Dua mataku, satu mata batinku, bahkan mata kakiku dapat dengan jelas melihatnya.

Pukul dua pagi, aku tidur di kasur dalam kamar Haya—yang ternyata jarang digunakan sehingga tadi aku harus membersihkannya lebih dulu, sementara si pemilik kamar dan Bang Erde sedang duduk di ruang tamu, suara keduanya menembus dinding tipis rumah ini.

Setengah jam telah berlalu semenjak kami baru saja menemukan keterkaitan orang-orang dari Mandala Group dengan Yayasan Kasih Abadi, yang ternyata berkaitan dengan—amit-amit aku sangat benci menyebut nama ini—Panti Asuhan Kasih Abadi.

Nama itu seharusnya telah tertinggal jauh. Kami (aku dan Bang Erde) telah berlari ratusan kilometer dari tempat itu. Entah bagaimana, akhirnya, aku percaya bumi itu bulat. Kami telah berlari jauh, tapi saking jauhnya, kami justru kembali ke garis awal.

Tempat itu dan semua yang ada di dalam sana terasa pahit.

Aku tidak mau membahasnya. Aku membencinya. Aku sangat membenci tempat itu. Aku lebih memilih pura-pura tidur ketika Bang Erde berniat menceritakan kisah itu pada Haya. Bahkan aku sudah memilih untuk tidur di kamar Haya agar mereka bisa bebas bercerita di ruang bawah tanah—alias ruang kerja HOKU—tapi entah bagaimana, justru mereka berdua memutuskan untuk mengikutiku ke atas dan duduk berdua di ruang tamu.

Mau tidak mau, akhirnya aku mendengar kembali cerita itu. Lebih menyebalkan lagi, Bang Erde menceritakan tentang panti terkutuk itu dengan santai seolah semua anak di dunia ini mengalami hal yang kami rasakan.

“Gue sama Fuji sama-sama dari panti itu. Pas tau mereka jualin anak-anak panti, kita kabur.”

Kira-kira begitulah cerita singkat Bang Erde. Sisanya hanya berisi kekagetan Haya dan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan—yang menurutku—amat personal.

“Lo pernah mau dijual juga sama mereka?” Dengan jawaban, “pernah, lah. Kan gue anak panti situ juga.”

“Kok lo bisa masuk panti? Orang tua lo kenapa?” Yang tentunya tidak mendapat jawaban dari Bang Erde karena Bang Erde juga tidak tahu siapa orang tuanya dan mengapa dia bisa berakhir di tempat itu—begitupun aku dan semua anak di panti itu karena kami semua telah berada di panti sejak masih bayi. Bahkan selama aku tinggal di panti itu, aku tidak pernah melihat anak baru yang berusia di atas dua tahun.

Rasa kecewa berdecakan di lidahku karena Haya tidak menanyakan makanan yang kami makan dan apa kegiatan kami selama di sana. Mungkin sama seperti Bang Erde, empati Haya juga sama rendahnya. Mungkin dia berpikir satu-satunya kebusukan yang disembunyikan panti itu hanyalah perdagangan manusia berkedok adopsi, padahal kami juga diperlakukan seperti binatang di sana (bahkan aku yakin binatang diperlakukan lebih layak daripada kami).

Aku mengubah posisi tidurku. Langit-langit kamar terlihat kosong, hanya ada satu bohlam bulat berwarna putih terang di tengah.

Aku menghela napas kasar. Haya juga melewatkan kesempatan untuk bertanya bagaimana kami bisa pergi dari tempat terkutuk itu. Mungkin dia juga sama dengan Bang Erde, kemampuan sosialnya perlu dipertanyakan.

Tidak ada suara selama beberapa detik dari luar.

Aku meraih guling dan segera berbalik menghadap tembok. Ranjang Haya memang agak kotor tadinya, namun kasurnya luar biasa nyaman, tidak terlalu keras dan tidak terlalu empuk, kasur ini seperti mengikuti bentuk tubuh siapapun di atasnya.

Kamar Haya adalah kamar sederhana dengan satu ranjang dan kasur yang berwarna serba putih dan almari.

Aku pernah sekali menjemput Bang Erde di sel penjara sementara. Dan aku bisa mengatakan kekosongan di kamar ini mengingatkanku pada sel penjara. Selain karena ruangannya yang kosong, kamar ini seperti sengaja diisolasi dari dunia luar. Terdapat satu jendela di samping ranjang yang ditutup dengan tempelan kertas koran.

Sebuah helaan napas kuhembuskan saat aku sekali lagi mendengar pertanyaan Haya.

“Lo gimana sekarang?”

“Lo sedih nggak kita harus bahas panti ini?”

“Lo beneran udah nggak apa-apa?”

Pertanyaan itu kelewat aneh untuk ditanyakan pada Bang Erde yang tidak pernah memedulikan perasaannya sendiri. Orang seperti Bang Erde jelas hanya akan menganggap suatu hal menyedihkan jika dapat membuatnya menangis dan suatu hal menyenangkan jika dapat membuatnya tertawa. Dia sederhana sekaligus menyebalkan.

Mataku sudah hampir terpejam ketika tiba-tiba Bang Erde mengganti topik.

“Lo kenal Maru dari mana?”

Maru.

Kedua mataku terbuka sempurna.

“Gue udah temenan sama Maru dari lama. Kita sering mabar di warmindo.”

Otakku berputar cepat.

“Dari gue maba. Maru ini mahasiswa abadi. Dia kating tapi nggak lulus-lulus.”

Maru.

Mataku mengerjap beberapa kali saat pandanganku berubah menjadi kilasan-kilasan pancaran laptop Haya beberapa jam lalu.

Tunggu dulu...

Mandala

Mandala Group adalah pemilik PT. Neo Central Tbk yang memiliki tiga perusahaan: Neo Central Bank, Neo Central Law Firm, dan PT. Neo Central Capital.

Lalu seolah ada yang mengganti tayangan di mataku, tiba-tiba aku teringat saat aku memasuki kantor Maru bersama anak buah Edgard—salah satu penguasa wilayah yang bertugas sebagai makelar segala urusan, aku datang bersamanya setelah mengaku bahwa aku memerlukan jasa debt collector untuk menagih utang dari seorang preman dan aku terlalu takut melakukannya sendirian.

Kantor Maru berada di dekat stasiun kereta listrik. Memasuki sebuah pasar dan gang kecil, kantornya terletak di jalan kecil namun ramai. Sekilas orang-orang akan mengira kantor itu sebagai ruko biasa, tapi saat masuk, tempat itu lebih mirip kantor agen properti karena peta raksasa yang menempel di dinding dan maket perkotaan yang terletak di ujung ruangan.

Bro Yasa!”

Aku dan Yasa—nama anak buah Edgard yang sedang bersamaku—segera menoleh dan mendapati sebuah kepala yang muncul dari meja resepsionis.

Seorang lelaki dengan badan kurus menghampiri kami, ia terlihat nyentrik dengan kaos singlet dan celana pendek serba hitam serta rambut sebahunya yang dikuncir setengah.

Bro Yudhis!”

Yasa dan seseorang yang disebut Yudhis ini saling berjabat tangan. Aku ingat saat mereka sedang berjabat tangan, mataku sedikit melirik untuk mengamati ruangan. Terdapat satu karpet besar berwarna merah tua dengan sofa dan meja di atasnya, meja resepsionis biasa terletak di ujung ruangan berwarna coklat tua, sebuah telepon intercom berada tepat di antara meja resepsionis dan pintu lift dan tentunya maket perkotaan di ujung lain ruangan.

Lantai ruangan itu menggunakan parket kayu jati yang senada dengan meja resepsionis, tembok ruangannya berwarna oranye... cinnamon? Aku merasa ruangan itu terlihat gelap sekaligus terang. Nuansa merah, coklat dan oranye di ruangan itu memberikan sensasi tenang sekaligus mencekam.

Yasa dan Yudhis berbincang selama beberapa menit sebelum akhirnya Yudhis melihatku dan menyuruh kami (aku dan Yasa) menunggu di sofa sementara lelaki dengan kaos singlet itu menghilang di lift.

“Tadi gue bilang yang butuh jasa mereka gue, bukan elo.”

Satu alisku naik, kenapa?

“Dia nggak suka orang yang nanya-nanya doang kayak elo.” Yasa menoleh padaku, pipi tirusnya terlihat jelas saat aku melihatnya dari sisi yang agak serong, “Bro Edgrard emang baru mau nagih utang ke Bro Barong. Jadi biar sekalian lewat mereka aja. Orang-orang Bro Yudhis kenal juga sama Bro Barong.” Ia menepuk bahuku singkat, “entar lo perhatiin aja pas gue nanyain prosesnya gimana, harganya berapa. Kalo ada pertanyaan, tanyain dulu ke gue baru entar gue tanyain ke Bro Yudhis.”

Aku ingat aku hanya mengangguk saat itu. Sepertinya Yasa tahu aku tidak benar-benar memiliki niat menggunakan jasa penagih utang. Walau kami hanya berurusan beberapa kali, tapi Yasa adalah orang yang cepat tanggap.

“Ini anak baru. Dia baru belajar sama gue,” menjadi penjelasan yang diberikan Yasa ketika Yudhis akhirnya muncul dari lift.

Tidak ada yang menyangka apa yang kudengar berikutnya sama sekali tidak mirip sistem marketing di sebuah kantor pelayanan jasa.

Bro Barong ya. Berarti gue harus nagih baik-baik? Padahal gue udah bayangin komisi gede soalnya kemarin abis ada yang minta jantung ke sini.”

Kemudian tawanya memenuhi ruangan.

Duh, tidak lucu.

Sungguh. Dia terlihat seperti seseorang yang mampu menyiksa orang lain sampai orang itu menyerahkan jantungnya secara sukarela karena tidak tahan disiksa.

Bro Barong yang disebut-sebut dari tadi adalah rekan Bro Edgard, dulunya. Namun mereka sempat berkonflik karena batas wilayah dan terus melanjutkan konflik itu hingga saat ini.

Yudhis menanyakan beberapa pertanyaan umum terkait jumlah utang, bukti, dan kronologi. Sebagai penagih utang kelas preman, kuakui dia termasuk teliti.

Lalu aku tidak akan melupakan moment paling mengerikan yang kualami hari itu.

Tisu dan handuk penuh noda darah di dalam tempat sampah toilet dan cincin dengan noda merah kecoklatan mengering di bawah meja tamu.

Aku mual hanya dengan mengingatnya.

Tapi bukan itu ingatan yang kucari.

Saat kembali dari toilet, Yasa sedang mengisi beberapa berkas yang sepertinya menjadi perjanjian kerja sama untuk keduanya. Aku sempat mengamati map yang sedang dipegang Yudhis, ada sebuah tanda di bagian bawah selain tulisan nama kantornya yang tercetak besar.

Tunggu...

Apa nama kantornya?

Neo Central Finance...

Alisku mengernyit. Ada simbol lain di bawah nama kantornya...

CC...

Mataku terbelalak.

Neo Central Finance... milik Neo Central Capital.

Ruh dan pikiranku terpental kembali ke kamar Haya.

Aku segera bangkit dari kasur dan menerjang ruang tamu. Sayup-sayup, aku masih mendengar percakapan Bang Erde dan Haya. Namun kini aku terlalu fokus memikiran Maru untuk menganalisis kata apa saja yang mereka ucapkan.

Haya terlonjak saat melihatku muncul tiba-tiba dari pintu kamarnya, sementara Bang Erde mengernyitkan dahi, “kirain udah tidur?”

Aku menggeleng cepat. “Gue baru inget,” aku menelan ludah, “Maru—”

“Duduk dulu, deh.” Haya memotong.

Aku menggeleng keras. Tidak usah duduk untuk menceritakan ini.

“Maru kerja di bawah Mandala juga.”

Hening.

“Kantor debt collector Maru, punyanya Mandala Group.” Lanjutku.

Haya mengernyit, “tau dari mana?”

“Gue pernah ke kantornya.”

“Lo pernah ke kantornya?” Wajah Bang Erde terlihat terkejut (dan tersinggung).

“Enggak, maksud gue,” Haya menyerobot, tidak mengacuhkan Bang Erde yang baru saja bertanya, “lo tau dari mana Maru kerja di kantor debt collector?”

Aku menoleh cepat pada Haya. “Gue pernah cari tau tentang Maru.”

Tangan Bang Erde menepuk sikutku keras, “lo ngapain ke kantornya?” Alisnya mengernyit, “bukannya lo ngelarang gue—”

Haya gantian menepuk sikutku yang lain, “debt collector ini beneran debt collector atau preman-preman galak modelan lintah darat yang hobi buangin—”

“Satu-satu ngomongnya.” Aku mengibaskan tangan keduanya. Kududukkan badanku di samping Bang Erde.

Bang Erde menoleh ke arahku, “ngapain lo ke kantor Maru?”

Aku menceritakan garis besar kunjungan singkatku beberapa hari lalu. “Gue ditemenin anak buahnya Edgard pas kesana. Dia bantuin gue.”

“Lo temenan sama Edgard?”

“Edgard siapa?”

Aku menoleh pada Haya, “Edgard kepala preman di distrik satu-dua Neo.” Lalu menoleh pada Bang Erde, “enggak. Murni bisnis.”

Kepala Haya bergantian menatapku dan Bang Erde, ia jelas terlihat seperti tertinggal jauh dari kami. “Bentar, maksud lo Maru semacam preman galak tukang nagihin utang yang tatoan gitu?”

“Nggak.” Jawabku cepat. “Kita belum—”

“Nggak tau.” Bang Erde menyela, “kemungkinan besar gitu tapi kita belum tau sampe sekarang.”

Dua alis Haya terangkat, wajahnya berubah sumringah. “Bagus, dong.”

Waduh.

Tidak ada jawaban dariku dan Bang Erde.

Aku jelas paham Haya baru saja menemukan peluang untuk memanfaatkan Maru dan aku segera memberi tatapan datar sebagai tanda bahwa aku tidak setuju dengan idenya.

“Kok bagus?” Bang Erde ikut menatap (heran) ke arah Haya.

“Kita bisa pake Maru.”

Nah kan.

“Pake buat?”

“Apa aja.”

“Jangan sembarangan.” Selaku, aku mencondongkan tubuhku, “salah salah lo make dia, bisa-bisa kita semua mati.”

“Lo pikir Maru bakal bunuh kita?” Haya memiringkan kepalanya. Dia jelas tersinggung.

Bang Erde menoleh cepat padaku. “Apa aja yang lo liat di kantornya?”

Aku bergumam selama beberapa saat sebelum menggeleng pelan, “nggak ada. Kantornya biasa aja. Tapi kelakuan mereka yang nggak biasa.”

“Apa?”

“Kayaknya mereka nyiksa dan bunuh orang di kantor itu, atau nggak jauh dari situ.” Aku balas menatap Haya yang menatapku dengan seksama, “gue sempet liat bekas darah di toilet sama ruang tamu.”

“Lo yakin itu beneran darah dari mana? Kok bisa mikir itu darah manusia?” Haya ikut mencondongkan tubuhnya, kini dua sikunya ditumpukan pada lututnya. “Kenapa lo kayak tau banget mereka beneran nyiksa orang?”

Semua orang di sana tau.” Potongku cepat. Semua orang yang kumaksud mencakup anak buah Edgard yang pergi bersamaku. Seharusnya jawaban ini bisa menjawab pertanyaannya—baik yang ditanyakan maupun tidak. Haya cukup pintar untuk menyadari maksud kalimatku. Dia tahu aku pergi bersama anak buah seorang penguasa distrik. Tidak mungkin aku sengaja menyebarkan sembarang informasi.

Tidak ada suara selama beberapa saat.

“Nggak.” Haya menggeleng, ia memundurkan tubuhnya, menyandarkannya di sandaran sofa. “Maru bukan orang kayak gitu.”

Bang Erde terkekeh. “Tau dari mana?”

“Gue udah kenal Maru dari lama.”

“Terus kenapa? Lo ngerasa kenal sama dia?” Timpal Bang Erde sengak.

“Iyalah,” Haya menatap kami dengan tatapan tersinggung, “gue yang paling kenal Maru di antara kalian.”

“Lo baru tau kerjaan Maru dari kita.” Jawab Bang Erde dengan muka dua kali lebih tersinggung. “Preman-preman di sana aja cerita ke Fuji kalo Maru ditakutin di daerah situ.” Tambahnya.

“Bisa aja imej kantornya emang serem terus Maru keseret karena kerja di situ.” Kilah Haya.

Bang Erde menghela napas kasar, mulutnya ternganga seolah tidak menyangka apa yang baru didengar telinganya, “ngapain lo belain Maru?”

Haya terdiam. “Gue nggak belain.” Dia berdeham lalu membenarkan posisi duduknya, “pokoknya, kita bisa cari tau sesuatu lewat Maru.”

“Lo udah gila?” Bang Erde berdecak, tangannya dilipat di depan dada. Namun sepertinya ia tetap tertarik dengan rencana aneh dari Haya, sebuah pertanyaan mengikuti pertanyaannya sebelumnya, “gimana caranya? Emang bisa?”

Aku menghela napas. Sepertinya mereka tidak akan mendengarku jika kularang. Sepertinya pesanku tentang Maru berasal dari pihak yang berbahaya tidak tersampaikan ke telinga mereka.

“Ya bisa? Kenapa nggak bisa?” Jawab Haya sambil tersenyum pongah, “kita malah bisa dapet update paling aktual dari Maru.”

“Tapi gimana caranya?” Kini aku bertanya tak sabar.

“Gue temenan sama Maru.”

Astaga.

“Lo pikir gampang cuma karena lo temenan sama Maru?”

“Iya.” Haya mengangguk mantab.