UrGenT!!!

CW // swearing;cursing; lots of talk(S) TW// mentioning of wounds, mentioning of post trauma,

“Gue yakin masih ada hal lain yang belum diceritain Naim.” Hiro yang duduk di lantai bersandar meja belajar mulai menunjuk Naim.

Naim yang sedang setengah tiduran di kasur mulai menegakkan duduknya, “Apa coba sebutin?!”

“Ya nggak tau?! cerita sepenting itu aja baru lo ceritain tadi malem!” Hiro membuang muka.

“Lo juga kenapa nggak curiga muka gue bonyok-bonyok waktu itu?!” Naim membalas ngotot.

“Eh itu udah gue tanyain ya, lo jawab biasa anak kos.” Kali ini Chleo yang sedang duduk di kursi belajar ikut menyahut.

Perdebatan mereka terus berlanjut hingga Jufferi membuka pintu kamar sambil membawa sepiring penuh cookies buatan Kak Jeff.

“Minumnya mana?” Celetuk Hiro.

“Tuh.” Chleo menunjuk tumpukan karton air putih kemasan gelas di ujung kamar Jufferi.

“Ini langsung bahas aja, kira-kira Regan kenapa, dan kita harus gimana.” Chleo mulai turun dari kursi, ikut bergabung dengan Hiro dan Jufferi yang duduk di karpet.

“Sebenernya kalau dari yang diceritain Jupri sama Hiro, gue ngerasa dia lagi ada masalah sama Musa. Kalian liat juga kan PP WA dia ilang? beneran kayak ABG lagi ngambek sama pacarnya.” Naim juga ikut duduk di karpet.

“Terus pas Regan dateng ke kos lo itu gimana?” Jufferi menyela, tangannya memegang cookies coklat.

Chleo mengangguk, “Iya, coba lo ceritain lebih detail kondisinya kayak apa.”

Tangan Naim ikut mengambil cookies di atas piring, “Waktu itu dia dateng ke kos gue pagi-pagi banget, sekitar jam lima. Dia nungguin gue di ruang tamu, pas gue tanyain kenapa, dia malah nangis.”

“Fix itu dia kenapa-kenapa.” Hiro menyela.

“Dengerin dulu!” Chleo memukul lengan Hiro pelan, “Lanjut, kondisinya gimana?”

“Kakinya kayak ada... pasir? sama bekas tanah kering gitu, kayak orang nggak pake alas kaki samsek, padahal gue liat dia pake sandal selop dia yang putih—”

Slipper putih item?” Koreksi Jufferi cepat.

“Nah iya!” Naim mengangguk, “Pipinya agak merah-merah gitu kanan kiri, kayak...”

Blushing?” Tanya Hiro.

Naim menggeleng, “Kayak agak swollen gitu, bibirnya juga luka, tangannya;lehernya kayak ada garis merah karena... diiket tali tapi bukan diiket tali—ini gue juga bingung. Yang jelas keliatan, jalannya pincang, beneran kayak orang encok.”

Jufferi menatap Naim bingung.

Hiro dan Chleo saling melempar pandang.

“Hmm....” Hiro bergumam, Chleo salah tingkah. Keduanya tampak mencurigakan.

Naim memicingkan matanya, “Kenapa?”

“Gue nggak mau bilang ini, tapi...”

Kalimat Chleo menggantung di udara,

“Kayaknya Regan abis...” Tangannya mulai membentuk sebuah gestur yang tak dipahami oleh siapapun kecuali Hiro.

Naim juga tak tau arti gestur tangan Chleo tapi merasakan atmosfer canggung yang menyebar di ruangan, mungkin maksudnya...

“HS?” Tanya Naim spontan.

Hiro dan Chleo mengangguk bersamaan.

“HS apaan?” Jufferi menyela.

“Itu...” Chleo memperagakan dengan tangannya.

Tangan Jufferi terangkat untuk menutup mulutnya yang melongo.

Naim menatap karpet di bawahnya. Ia tak kepikiran sampai sana. Mungkin itu salah paham yang dimaksud Regan? luka-luka di badannya karena ia dan Musa baru saja ehm—Having Sex?

Naim menggelengkan kepalanya, masih ada beberapa hal yang harus ia bahas dengan teman-temannya.

“Bentar gue lanjut dulu.”

Ketiga temannya memperhatikan dengan seksama.

“Dia dateng ke kos dengan keadaan HP mati. Karena gue udah kepo banget jadi gue langsung ambil, terus gue nyalain HP-nya.”

Jufferi mengangkat kedua alisnya, “HP-nya sengaja dimatiin?!”

Naim mengangguk, “Ada dua orang yang nelfon, Mamanya sama si Musa. Mama udah jelas bukan, beliau juga pengen tau Regan kenapa.”

Ketiga temannya yang lain terkejut.

“Berarti Mamanya Regan sempet liat lukanya Regan?” Ucap Hiro.

Chleo menggeleng, “Regan kan nginep di rumahnya Musa, gimana bisa Mamanya liat?”

Naim mulai mengingat perkataan Mama Regan, “Mamanya sempet minta maaf dan bilang semuanya bisa dibicarain baik-baik. Itu artinya apa?”

Suasana di ruangan semakin menggantung.

“Dipikir entar lagi, deh. Musa bilang apa?” Hiro menyela tak sabaran.

“Musa minta maaf dan bilang dia sadar udah ngelakuin hal yang buruk, katanya khilaf.”

Hiro menunjuk-nunjuk udara, “Udah sih ini emang ulah Musa, dia pasti ngapa-ngapain Regan pas dia nginep.”

“Bisa jadi Mamanya.” Chleo menoleh, tak setuju.

“Mana bisa Mamanya nyiksain Regan?” Hiro menepuk lengan Chleo.

“Regan harusnya nginep di rumahnya Musa, kenapa dia ketemu Mamanya? mungkin aja mamanya nyuruh Regan balik terus marahin Regan? atau malah mamanya ke rumah Musa terus mukulin dia—Aduh!”

Telinga Chleo sudah lebih dulu ditarik oleh Hiro, “Sembarangan banget kalau ngomong! Mamanya Regan nggak kayak gitu!”

Tangan Chleo memukul-mukul tangan Hiro yang menarik telinganya hingga Hiro melepasnya.

“Iya! iya! sorry!” Chleo mengusap telinganya yang memerah.

Jufferi menengahi, “Ini kita harus lanjutin dulu yang—”

“Bentar,” Naim tiba-tiba teringat sesuatu, “Kalian udah tau belum Musa sering dipukulin ibunya?”

Hening.

Semua orang menghentikan aktivitasnya dan menatap Naim dengan mata membulat sempurna.

“Nggak...”

“Belum tau...”

“Yang... bener...?”

Naim menutup mulutnya yang ternganga, Pantes Musa marah pas gue tau, pasti nggak sembarang orang boleh tau ini.

Ia berdeham, “Regan yang ngasih tau.”

“Kemungkinan ya, menurut gue, Musa nggak mau dipegang orang-orang karena efek dipukulin ibunya gitu.”

Chleo memicingkan matanya, “Sok tau...”

“Gue beneran pernah baca!” Naim berseru tak terima. Walaupun ia dulu aktif ikut berbagai kegiatan tambahan sekolah—balapan dan sedikit ikut berkelahi sana sini—namun segala pengetahuan yang diserap kepalanya tak diragukan lagi.

“Lo bisa aja nggak mau dipegang orang lain karena takut lo bakal diapa-apain sama mereka, makanya Musa agresif banget pas dipegang sama orang lain, dia pernah mukulin temen gue cuma karena temen gue nyenggol dia di arena, beneran gue sama temen-temen yang lain sampe emosi kita ke warung depan SMA buat nyari si Mus—”

Pembicaraan Naim terhenti saat semua teman-temannya menatap dengan heran.

Jufferi mengerjapkan matanya, “Ke warung mana?”

“Bentar...” Hiro memutar bola matanya perlahan, memikirkan kalimat yang baru saja lolos dari mulut Naim.

“Lo—” Chleo menunjuk Naim, kedua alisnya terangkat, “Anak SMA 7 yang ke Warung Pak Eko dulu itu...?”

“Lo tau nggak Regan pingsan waktu itu, Nyet?!?!”

Tangan Hiro sudah maju lebih dulu, menjambak rambut Naim.

“Anjir jangan jambak-jambak! Aduh sakit, bego!!!!” Naim berusaha melepaskan jambakan Hiro, namun cengkeraman Hiro justru makin kuat.

“Eh, hati-hati! ini ada piring cookies!” Jufferi menyelamatkan sepiring cookies yang nyaris terlindas lutut Hiro.

“Jangan berantem dulu!” Chleo berusaha menengahi Naim dan Hiro yang masih menjambak rambut satu sama lain.

Terdengar teriakan demi teriakan terus bersautan di kamar Jufferi.

“Jangan jambak gue!!”

“Lo yang jambak gue duluan!!!”

“Kalian semua tau nggak Naim ini naksir berat sama Regan?!”

“Mulut lo!!!!!!!!”

“Ngobrol dulu! Entar lagi jambak-jambaknya! Kalian udah bukan anak TK!!!”

Guys, cookies-nya gue taruh sini, ya!”


Keadaan kamar sudah lebih tenang. Keempat remaja tadi sudah mulai membicarakan satu per satu topik yang harus mereka bahas hingga semuanya lebih jelas.

“Jadi Naim naksir sama Regan?” Chleo memastikan.

Hiro dan Naim mengangguk.

“Tapi Regan naksirnya sama Kak Musa?” Jufferi ikut bertanya.

Naim melempar bantal yang sedari tadi ia peluk, “Nggak usah diperjelas!”

Jufferi membalas dengan cengiran jahil.

“Tapi kemungkinan Kak Musa ini mukulin Regan?” Lanjutnya.

“Dan Regan berusaha nutupin.” Chleo melanjutkan.

“Berarti jalan satu-satunya...” Hiro tampak berpikir.

“Putus!” Jawab Naim dengan yakin.

“Itu sih mau lo aja!” Hiro melempar remah-remah cookies pada wajah Naim.

“Hiro lo semb—”

“Iya ih, jangan ngotorin karpet gitu!” Jufferi lebih dulu menepuk pundak Hiro.

“Tapi emang harus putus nggak sih?”

“Tuh, Chleo aja setuju sama gue!” Naim balas melempar Hiro dengan remahan cookies.

“Jangan ngotorin karpet!” Protes Jufferi.

“Tapi kalau kita langsung suruh putus pasti Regan nggak mau, kan?”

“Cih, sok penting banget lo.” Hiro langsung mencibir saat mendengar pertanyaan Naim.

“Kita harus nunjukkin ke Regan kalau Musa nggak pantes buat dia.” Chleo mengusulkan.

Jufferi mengernyitkan dahinya, “Caranya? kan Kak Musa mukulin Regan itu masih kemungkinan, kita nggak tau aslinya gimana?”

“Kita harus pura-pura tau.”

Semua mata tertuju pada Naim, menuntut penjelasan lebih lanjut.

“Gini ya gue jelasin kondisinya. Pasti Regan punya alesan kenapa dia jarang cerita tentang hubungannya ke kita, ya kan? kalau dia emang diapa-apain Musa, pasti dia nggak mau curhat ke kita karena dari awal lo, lo, lo semuanya pada nentang dia sama Musa, iya apa iya?”

Ketiga temannya yang lain terdiam.

“Kalau kita pengen mancing Regan buat cerita, kita harus pura-pura tau dan kita harus selalu di pihaknya Regan.” Lanjutnya.

“Selalu di pihak Regan ini gimana? udah jelas Regan pengennya ngelindungin si Musa dan kita pengennya Regan putus sama Musa, tujuannya aja beda gimana bisa sepihak?” Protes Hiro.

“Bisa. Kita pura-pura sepihak sama Regan, padahal mah tujuan kita buat misahin mereka, tapi kita pura-pura ngertiin Regan, biar dia mau cerita lebih banyak, kita juga harus nunjukkin kalau kita juga nggak mau dia putus sama Musa, gitu, paham nggak? pokoknya tujuan utama kita: bikin Regan cerita lebih banyak ke kita, ngerti?”

Hiro mengangguk setuju, “Ide lo bagus tapi menurut gue bakal lama banget deh, keburu Regan makin naksir sama Musa.”

Chleo tampak berpikir dalam,

“Kayaknya ini udah bukan urusan kita lagi, deh.”

“Maksud lo?!” Hiro nyaris melempar remahan cookies namun tangannya ditahan Jufferi.

“Kayak yang Naim bilang, Regan nggak mau cerita ke kita. Kita jadi nggak punya akses buat tau yang sebenernya. Kemungkinan omongan kita juga nggak bakal didengerin sama Regan,”

Ketiga temannya yang lain fokus mendengar penjelasan Chleo.

“Cara yang diusulin Naim bagus tapi kayak yang dibilang Hiro, butuh waktu lama. Padahal ada satu orang yang jelas bisa bikin semuanya lebih cepet dan nggak perlu pura-pura kayak yang dibilang Naim tadi,”

“Siapa?” Hiro mendesak tak sabaran.

“Mamanya Regan.”