When I'm With You, Everything is Getting Better
Dikatakan atau tak dikatakan, itu tetap cinta– Tere Liye
Bruk!
Raib merebahkan diri di kasur. Menenggelamkan wajah di bantal.
Ia baru saja menyelesaikan dua puluh lembar makalah yang harus diserahkan besok pagi. Tugas ini sudah diberikan sejak beberapa hari lalu, namun—tentunya—Raib tak bisa menyuruh Malik untuk mengerjakan tugasnya. Akhirnya, ia menghabiskan waktu seharian untuk mengebut tugas ini.
“Capek ya?” Hugo yang sedari tadi sudah merebahkan diri di kasur sambil bermain ponsel, memiringkan tubuhnya, menghadap Raib.
Raib hanya membalas dengan gumam pelan, ia masih membenamkan wajah di bantal. Seluruh badannya pegal karena seharian duduk di depan laptop.
Hugo tersenyum, “Kayaknya badan lo juga ngerasa capek karena dipake Malik 3 hari, mending lo sekarang tidur.”
“Oh iya!” Raib segera mengangkat wajah. Membicarakan tentang Malik, ia jadi teringat satu hal yang ingin ia tanyakan sejak tadi malam.
Raib ikut memiringkan tubuh, menghadap Hugo, “Tadi malem Malik bilang apa ke elo?”
Hugo menaikkan satu alis, “Yang mana?”
“Malik kayaknya ngomong sesuatu pas kalian di dapur?” Raib meraih guling di samping lalu memeluknya, “Kenapa dia cuma bilang ke elo? Apa yang kalian rahasiain dari gue?” Tatapnya penuh selidik.
Hugo tertawa, ia menaruh ponselnya, “Oh, pas gue nemenin Malik makan?”
Raib mengangguk.
“Biasa sih, dia ngasih banyak saran,” Hugo menatap Raib, sedikit tersenyum saat menyadari mata Raib sudah mulai sayu—digelayuti kantuk, “Kan lo pernah ngobrol sama Malik, pasti paham kan maksud gue?”
Raib mengangguk lemah, sedikit menguap, “Dia bilang apa aja?”
“Katanya, kalau ternyata gue udah mati, gimana pun keadaannya, gue nggak boleh kebawa emosi, jangan sampe gue jadi arwah terbuang.”
“Nah, menurut gue juga gitu, kasian kalau sampe lo ikutan jadi arwah terbuang. Entar usaha buat nyari badan lo sia-sia.” Mata Raib mulai lebih terbuka dari sebelumnya, “Terus?”
“Katanya, kalau ternyata gue masih hidup, gue nggak boleh ngelupain lo.”
Dua alis Raib terangkat, “Emang lo bakal ngelupain gue pas udah balik ke badan lo?”
Hugo menggigit bibir bawah, mengangguk. Jujur ia juga baru mengetahui fakta ini semalam, saat Malik berbicara dengannya di meja makan. Arwah yang tak memiliki benang putih berarti tak memiliki hubungan dengan tubuhnya, yang artinya, semua ingatan yang didapat selama menjadi arwah, tak akan menjadi memori di tubuh.
Semuanya, akan hilang.
“Kata Malik,” Hugo melanjutkan bercerita, “Gue harus nyari lo gimana pun caranya.”
Ada hening selama beberapa detik.
Lampu kamar Raib telah padam, digantikan lampu tidur yang remang. Namun ucapan Hugo seolah mematikan seluruh cahaya yang tersisa.
Kamar terasa suram.
Ujung bibir Raib terangkat, tersenyum getir, ada rasa pahit saat membayangkan dirinya akan dilupakan Hugo, “Gimana coba caranya? Kan lo lupa?”
Hugo ikut tersenyum, “Pasti ada caranya. Biar gue yang cari caranya,” Ia menatap Raib dalam-dalam, “Lo cukup nunggu aja.”
Raib terkekeh lemah, memilih untuk menelan rasa pahitnya, “Beneran ya? Gue tunggu. Utang lo banyak ke gue.” Membiarkan dirinya ditelan balik rasa kantuk di mata.
Hugo ikut terkekeh, mengangguk, “Malik juga nanyain sesuatu ke gue.”
“Apa tuh?” Raib sekali lagi menguap, lebih besar dari sebelumnya.
“Dia tanya, Kau benar-benar menyukai Raib?”
Seketika pikiran Raib saling menyerbu.
Ia hendak tertawa karena aksen Hugo sangat mirip dengan Malik. Ia juga hendak terkejut karena pertanyaan yang diajukan Malik. Ditambah lagi, jantungnya yang mendadak berdegup kencang, rasanya ia gugup sekaligus takut dengan jawaban Hugo.
Raib berdeham, memilih untuk memasang wajah datar, “Terus lo jawab apa?”
Hugo nyaris tertawa melihat ujung mata Raib yang berkedut, “Gue jawab, nggak.”
Raib langsung melotot, “Cih, bagus deh, gue ju—”
“Gue sayaaaang banget sama Raib, gue jawab gitu.” Potong Hugo cepat yang langsung membuat mulut Raib terbungkam.
“Eh? Kok diem aja?” Hugo menahan senyum melihat mata Raib yang menatap kosong, “Salting ya?”
Aneh bagaimana ucapan Hugo memiliki dampak yang luar biasa pada seluruh cahaya di kamar. Satu menit lalu, kamar terasa suram. Namun sekarang, seolah sebuah lampu sorot raksasa diarahkan pada mata Raib, ia tak mampu menatapnya. Terlalu silau.
Raib melirik sekilas, “Nggak lah!! Duh amit-amit banget gue ditaksir setan!” Serunya galak.
Hugo menahan tawa, “Amit-amit kok hidungnya kembang kempis gitu?”
Arwah itu tak dapat menahan tawanya saat Raib menutup wajah dengan guling lalu berteriak tertahan,
“SETAAANN!!!”
Setelah Hugo membujuk berkali-kali agar Raib menunjukkan wajah, akhirnya lelaki itu menurut—menurunkan gulingnya, menunjukkan wajahnya yang merah padam. Seperti seorang pelari yang baru saja menyelesaikan lari maraton di bawah terik matahari.
Hugo terpingkal, “Salting banget ya?” Kalau saja Raib masih dalam wujud arwah, mungkin Hugo sudah meremas seluruh tubuh Raib dalam dekapnya.
Raib terdiam, ia sedang berusaha mengatur nafas. Jantungnya tak bersahabat apalagi lelaki di hadapannya, lebih tak bersahabat!
“Mau gue bikin lebih salting, nggak?”
Raib ragu antara mengangguk atau menggeleng. Jika mengangguk, ia tak mau! Jantungnya sudah tak karuan. Jika menggeleng, ia hanya akan mengonfirmasi pada Hugo bahwa ia sedang salting berat.
“Diem berarti iya.”
Waduh.
“Terus Malik tanya, apa sih yang bikin gue sesayang itu sama lo?”
Raib terdiam. Ia sibuk—setenang mungkin—meraup udara sebanyak-banyaknya lalu dihembuskan. Matanya sejak tadi melirik seluruh objek yang ada di kamar, semua objek kecuali mata Hugo.
“Terus gue jawab. Malik, lo nggak akan paham sesayang apa gue sama Raib,” Hugo tersenyum saat melihat Raib menggigit bibir bawahnya dan melirik kesana-kemari penuh gugup, “Albert Einstein—”
“Hah?” Kini Raib menatap Hugo dengan penuh rasa heran, “Albert Einstein?”
Hugo mengangguk, “Kenapa?”
“Kenapa tiba-tiba Albert Einstein?”
Luntur sudah momen mendebarkan malam ini.
Rasa mendebarkan yang dirasakan Raib tergantikan dengan rasa geli sekaligus rasa konyol saat mendengar nama ilmuwan ternama disebutkan tiba-tiba.
Hugo menatap jengah, “Lo bisa nggak iyain aja dan dengerin gue dulu?”
Raib terkekeh, “Oke.” Sekarang suasana di sekitarnya terasa lebih santai.
“Albert Einstein once said—”
“Pfttttt.” Terdengar Raib yang menahan tawa.
“Kenapa sih?” Hugo mendengus kesal.
“Lanjutin, lanjutin.” Raib meredam tawanya agar tak meledak.
“Albert Einstein once said, Look deep into nature and you will understand everything better.”
“Apa hubungannya gue sama alam?” Kedua alis Raib terangkat.
“Lo juga gitu,” Ujar Hugo, sedikit memajukan wajahnya, membuat kedua matanya terlihat lebih jelas di mata Raib, “The more I look at you, the more I understand you, the more I know you, the more I love you.”
Raib membuka mulut, hendak protes dengan kalimat super cheesy dari Hugo. Namun dengan semburat merah yang terbit di pipinya, dengan wajah Hugo yang hanya sejengkal darinya, dan dengan tatapan mata yang menguncinya, Raib tak mampu berkutik. Ia menutup mulut, tak jadi protes.
“Lo pasti mau ketawa ya,” Hugo menyipitkan mata, “Tapi gue nggak bercanda. Gue nggak bo'ong.” Ia menatap Raib lurus-lurus.
“Lo pernah bilang sama gue, kan? If it's not getting worse, it's getting better?”
Raib mengulum senyum, mengangguk. Ia ingat mengatakannya saat Hugo merasa penyelidikan yang mereka lakukan hanyalah sia-sia.
“Tapi lo tau, nggak? When I'm with you, everything is getting better. Nggak peduli seburuk apapun situasinya, selama ada lo, then it's fine, for me.”
Ada rasa hangat menjalar di seluruh tubuh Raib.
Kenapa ya? Apa ia lega karena kehadirannya berharga di mata seseorang? Apa ia senang karena seseorang tengah memujinya? Atau karena tatapan Hugo yang teduh? Raib tak tau, ia memilih untuk tetap diam, membiarkan Hugo melanjutkan kalimatnya.
Raib mengistirahatkan kepalanya lebih dalam di bantal, mencari posisi yang nyaman. Senyum simpul masih menghias bibir.
“Gue kadang mikir, kenapa lo selalu sendirian? Kenapa nggak ada orang yang deketin lo? Apa ada yang salah dari lo?” Lanjut Hugo,
“But after I take a closer look, at you,” Hugo mengggeleng, “No, it's not you, it's them. They need to look deeper into you. Mereka perlu ngenal lo lebih jauh,” Ia kembali tersenyum, “They need to know. Behind this messy person, there's a beautiful soul, a pretty heart, and a—”
Hugo tak melanjutkan kalimatnya, ujung bibirnya tertarik saat mendapati mata Raib yang mulai menutup perlahan.
Well, sebenarnya, Hugo memberi sedikit bumbu tentang percakapannya dengan Malik. Arwah tua itu tak benar-benar menanyakan perasaan Hugo. Sebaliknya, Malik sudah tau.
Kata Malik, Kalau kau memang mengasihinya, katakan sekarang. Biarkan seluruh kasihmu membakar jembatan pertemanan yang kalian bangun, menyulapnya jadi jembatan baru, atau runtuh sekalian.
Tentunya, Hugo ragu. Luar biasa ragu. Ia menggeleng kuat-kuat, menolak saran Malik. Ia sudah sering ditolak Raib.
Tapi Malik memberinya satu saran lagi, Kau takut menyesal? Biar aku luruskan apa yang seharusnya kau takutkan, Hugo. Seseorang pernah berkata, dikatakan atau tak dikatakan, itu tetap cinta. Maka seharusnya kau pikir, mana yang lebih membuatmu menyesal? dikatakan atau tak dikatakan?
Dan tentunya, Hugo memilih untuk mengatakan.
Seseorang pernah berkata, Kadang lebih baik menyesal karena salah memilih jalan, dari pada menyesal karena tak mencoba jalan itu sama sekali.
Maka di sini lah Hugo. Memilih jalan yang tak ia ketahui ujungnya. Mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa.
Hugo menatap Raib yang mulai terlelap, “Sleep well.” Bisiknya pelan.
Entah karena bisikan dari Hugo atau sebenarnya pikiran Raib masih bekerja, mata lelaki mungil itu kembali terbuka, “Eh sorry,sorry. Lanjutin.” Ia mengerjap beberapa kali.
Tawa Hugo terdengar, ia menggeleng, “Udah selesai.”
“Udah selesai?” Mata Raib menjadi lebih terbuka, sedikit memerah karena rasa kantuk masih bergelayut.
Hugo mengangguk, “Tidur aja.” Ucapnya lembut.
“Kesimpulannya apa?” Tanya Raib, setengah dari dirinya sudah menyebrang ke alam mimpi.
Kedua alis Hugo bertaut, namun tak elak, seulas senyum muncul dari bibirnya, “Kesimpulannya... besok pas badan gue udah ketemu, lo mau nggak jadi pacar gue?”
Raib tertawa di antara matanya yang tertutup, “Gimana caranya? Kan lo ngelupain gue?”
Hugo menggeleng, “Kan udah gue bilang, lo tinggal tunggu aja. Biar gue yang cari cara.”
Sebuah anggukan samar terlihat dari Raib, “Kalau gue udah nunggu tapi lo nggak dateng, gimana?”
“Kalau kayak gitu, gue minta tolong.”
“Apa?” Mata Raib sedikit terbuka.
“Lo yang datengin gue, dengan cara apapun. Bisa, kan?”
Raib tertawa, kembali menutup mata, mengangguk ringan.
Tak lama, mata Raib sedikit terbuka, “Hugo.”
Hugo balas menatap Raib, siap siaga, “Kenapa? Kebangun?”
Raib menggeleng pelan, antara sadar dan tak sadar, tangannya diangkat, dijulurkan pada tangan Hugo yang beristirahat di depan wajahnya.
Tentunya, tembus. Namun jemari Raib sedikit dikepalkan, seolah ia sedang menggenggam sesuatu di sana.
Hugo tercekat, tak bergerak—tak berkutik—sama sekali.
Setelahnya, bibir Raib sedikit terbuka, dengan suara lirih, ia berucap,
“Tiga jam lagi, temuin gue di mimpi, ya?”