Yoshi

“Kenapa?” Menjadi kata pembuka dari Raden. Ia tak ingin repot-repot mengucap salam, ia tau Yoshi akan menyuarakan seluruh tanda tak terima dan menutut.

Nge-deact akun nggak nyelesaiin masalah.”

Raden menghela napas, “Iya.”

Masalah lo sama Helmi nggak akan selesai kalau lo terus-terusan pergi kayak gini.”

Posisi Raden masih sama, terbaring di ranjang menatap langit-langit kamar di antara remang cahaya, ponsel ia tempelkan di telinga, “Iya.”

Masalahnya cuma bakal ketunda, besok-besok bakal muncul masalah lain lagi.”

“Nggak akan.” Jawab Raden singkat.

Lo chat Helmi sekarang,” Terdengar suara Yoshi yang penuh penekanan, “Tanya apa maunya, selesaiin semua masalah kalian. Baru abis itu terserah lo mau pergi sejauh apa dari si bangsat itu.”

Ujung bibir Raden sedikit tertarik, “Lo udah jadi Ayah. Jangan ngomong kasar gitu.”

Anak gue udah tidur jam segini.” Yoshi mendengus kesal, “Jangan ngalihin topik.”

“Lo nggak tidur? Besok ngantor, 'kan?”

Tidur lah!”

Raden terkekeh, “Ya tidur sana.”

Lo—” Terdengar nada suara Yoshi yang makin jengkel, “Bener-bener ya!”

Tak ada jawaban dari Raden.

Sepuluh detik berikutnya, hening.

Udah mertimbangin saran gue buat cari pacar?” Ucap Yoshi setelah ia berusaha menenangkan diri sendiri.

“Gue nggak mau pacaran.”

Lo butuh pacar.” Yoshi menekan nada suara.

Lo ngejauh dari Helmi cuma setengah-setengah,” Lanjut Yoshi, “Lo harusnya bukan cuma jauhin diri, kasih Helmi alesan buat nggak ganggu lo lagi.”

“Dengan punya pacar?”

Iya.” Jawab Yoshi mantab.

“Gue nggak mau pacaran cuma karena gue keliatan butuh pacar.”

Helaan napas Yoshi terdengar hingga speaker ponsel Raden.

Kalau gitu, adepin dia.”

“Nggak bisa.” Jawab Raden cepat.

Bukan nggak bisa, lo nggak mau!”

“Gue bukan nggak mau, gue nggak bisa.”

Lo bisa. Dari dulu ada kesempatan buat lo ngadepin Helmi, buat nyelesaiin semuanya tapi nggak pernah lo ambil, apa namanya kalau bukan nggak mau?”

“Helmi cuma bakal jelasin hal-hal yang nggak masuk akal, Yosh. Buat apa gue dengerin?”

Ya udah biarin. Biarin dia ngoceh hal-hal nggak masuk akal, asal abis itu masalah kalian selesai.”

Raden menggigit bibir bawah, “Gue sama Helmi udah selesai dari lama.”

Hubungan lo sama Helmi emang udah selesai, perasaan kalian yang belum selesai.”

“Gue udah nggak sayang Helmi.”

Bukan perasaan itu, Raden.” Ucap Yoshi penuh gemas dan penekanan, “Perasaaan lain yang bikin kalian terus kejar-kejaran kayak gini.”

“Perasaan apa?”

Nggak tau?” Raden dapat membayangkan Yoshi tengah mengernyitkan dahi di ujung sana, “Cuma lo sama Helmi yang tau.”

“Gue nggak sanggup ngadepin Helmi.”

Lengang.

Raden,” Panggil Yoshi pelan, “Dengerin gue,” Terdapat jeda sebelum Yoshi melanjutkan, “Gue tau lo pernah disakitin Helmi, tapi dia nggak akan bisa nyakitin lo dua kali. Lo lebih kuat dari apa yang lo pikirin.”

“Yosh—”

Dengerin gu—”

“Gue—”

Raden—”

“Lo—”

Rad—”

“Lo nggak tau apa yang gue rasain tiap liat Helmi, Yosh!” Seru Raden dengan napas memburu, “Lo nggak tau apa yang udah gue lewatin sebelum gue ketemu lo!”

Tak ada jawaban dari Yoshi.

Raden mendudukkan diri, berusaha mengatur napas, “Gue selalu keinget semenyedihkan apa gue dul—” Ia tak mampu melanjutkan kalimat, tangan yang lain mengusap rambut frustasi.

Setelah menghela napas untuk kesekian kali, Raden melanjutkan, “Lo nggak akan ngerti.”

Hening.

Tak ada suara dari kamar.

Tak ada suara dari luar.

Raden.” Yoshi memanggil pelan dari ujung telpon.

Yang dipanggil hanya membalas dengan gumam pelan.

Gue emang nggak ngerti, tapi bukan berarti gue nggak peduli.”

Hening.